• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Selasa, 30 April 2024

Literasi

Membumikan Moderasi Beragama di Indonesia 

Membumikan Moderasi Beragama di Indonesia 
Membumikan Moderasi Beragama di Indonesia 
Membumikan Moderasi Beragama di Indonesia 

Sejatinya moderasi beragama bukanlah barang baru sama sekali. Ia telah lama diperbincangkan dan bahkan diamalkan. Namun sebagai sebuah terma, memang baru belakangan mengemuka. Sejatinya moderasi  beragama amat sangat diperlukan dalam kehidupan keagamaan kita ini. Saat ini, agama, beragama dan umat beragama seolah-olah berdiri sendiri dan saling memunggungi. Padahal agama diciptakan agar umat beragama dapat beragama sesuai esensi ajaran agamanya. 

 

Agama dan beragama merupakan dua terma yang berbeda. Agama adalah ajaran Tuhan, sementara beragama adalah cara memahami dan mengamalkan ajaran itu. Namun, meskipun berbeda makna, keduanya saling bertautan. Disinilah tantangan bagi umat beragama. Ada beragam perbedaan dalam memaknai ajaran agama, sebagaimana ada ragam agama dan keyakinan. Konflik antar penganut agama muncul ketika beragama dimaknai  secara mutlak sebagai agama, lalu saling memaksakan klaim kebenaran atas cara beragama yang beragam itu kepada pihak lain dengan tindak kekerasan. 

 

Moderasi beragama adalah penawar bagi konflik semacam itu. Juga merupakan solusi untuk mengatasi problematika kehidupan antar umat beragama. Hasil yang diharapkan bagi pengejawantahan moderasi beragama adalah kehidupan masyarakat beragama yang damai dan harmonis, (halaman 3). 

 

Buku ini adalah karya akademik Menteri Agama Republik Indonesia, periode 2014 - 2019, H. Lukman Hakim Saifuddin, yang hadir jelang penganugerahan doktor kehormatan (doctor honoris causa) dalam bidang kajian Islam peminatan moderasi beragama pada akhir Mei 2022 lalu. 

 

Buku ini sebagai refleksi sekaligus evaluasi atas proses mensosialisasikan gagasan mengenai moderasi beragama, pengalaman berinteraksi dengan pimpinan dan pengurus organisasi keagamaan serta pejabat pemerintahan di bidang keagamaan dari lintas agama. 

 

Buku yang ditulis oleh Mustasyar (penasehat) Pondok Pesantren Al Hamidiyah, Depok, Jawa Barat ini terdiri dari lima bagian utama, yakni; 

 

Bagian pertama, urgensi moderasi  beragama.

Bagian ini terdiri dari sub bagian, yakni keberagaman dan keberagamaan di Indonesia, relasi agama dan budaya, relasi agama dan negara, kehadiran agama dalam negara, relasi agama dan konstitusi, serta menjelaskan pentingkah moderasi beragama?. 

 

Moderasi beragama sesungguhnya merupakan esensi agama. Ia menjadi sebuah keniscayaan bagi individu yang ingin beragama secara damai dan mencerahkan. Ia juga sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia. Dalam konteks Indonesia, agama dan negara saling terhubung secara unik dan menarik yang di dalamnya terdapat jalinan agama dan budaya. 

 

Keberagaman bangsa Indonesia adalah takdir. Sebuah pemberian Sang Pencipta untuk diterima dan tak perlu ditawar (taken for granted). Sepaket anugerah bagi negeri yang keindahan alamnya luar biasa. Syekh Mahmud Syaltut, Rektor Universitas Al Azhar Mesir pada tahun 1958-1963, saat mengunjungi Indonesia spontan berucap, "Indonesia adalah serpihan potongan surga yang diturunkan di bumi”, (halaman 9-62). 

 

Bagian kedua, menguraikan tentang pokok-pokok moderasi  beragama. 

 Mantan Kepala Program Kajian dan Ketua PP Lakpesdam NU, masa khidmat 1989 - 1994 ini menjelaskan, bahwa setiap agama mengandung tiga hal pokok, yaitu; aspek keyakinan, aspek ritual, dan aspek perilaku.  Aspek keyakinan merupakan hal fundamental dalam agama yang disebut dengan keimanan atau akidah. Aspek ritual diartikan sebagai sistem aktivitas atau rangkai tindakan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut agama, seperti ibadah dan perayaan keagamaan yang menyimbolkan komunikasi antara pemeluk agama dan Tuhannya. Sedangkan aspek perilaku pemeluk agama bermakna tindakan individu maupun entitas keagamaan dalam pola hubungan interaksi dengan diri sendiri dan lingkungannya. 

 

Seseorang hendaknya tidak mengklaim dan memutlakkan diri bahwa pendapatnya sendiri sajalah yang paling benar dan yang lain berbeda dengannya adalah salah. Disinilah moderasi beragama hadir sebagai wujud sikap tengah, yang dirumuskan dalam satu kalimat berikut, "cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, yakni dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama, yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa”, (halaman 63-109).

 
Bagian ketiga, menjabarkan tentang solusi Mlmoderasi  beragama. 

Moderasi beragama tentu bukan segala-galanya. Bukan obat untuk segala penyakit. Maka, jangan sekali-kali berharap bahwa apapun masalahnya moderasi beragama solusinya. Apa lagi tidak semua kasus dan konflik agama bermuasal dari urusan agama. Tidak sedikit konflik agama yang akar masalahnya justru tidak ada kaitan dengan agama, seperti; pertarungan politik, perebutan ekonomi, rivalitas pengaruh identitas, bahkan pertikaian asmara.   

 

Moderasi beragama memiliki beberapa dimensi. Pertama, ia berlaku pada wilayah eksternum yang meliputi kehidupan bersama umat beragama bukan wilayah internum yang bersifat personal. Kedua, ia memberikan hasil yang signifikan ketika dipraktikkan atau konflik gagal diselesaikan jika tak menggunakan pendekatan moderasi beragama. Ketiga, ia dapat dijadikan instrumen yang memiliki kekuatan hukum atas penyelesaian konflik. Keempat, ia dapat direplikasi untuk menyelesaikan kasus serupa. 

 

Wakil Sekretaris PP LKKNU masa khidmat 1985-1988 ini menjelaskan, pendekatan moderasi beragama mampu memberikan sumbangsih dalam beberapa penanganan konflik di Indonesia, seperti; kasus agama Baha’i, gerakan ISIS, peristiwa Tolikara, pembakaran gereja di Aceh Singkil, muatan ekstrem buku ajar, penyelewengan siaran agama dan ujaran kebencian, dan lain sebagainya, (halaman 111- 154). 


Bagian keempat, berisikan tentang menyuarakan moderasi  beragama. 

Gerakan beragama yang moderat dalam perbincangan publik para kaum intelektual di Indonesia marak terjadi di era 1970-an dan 1980-an. Seperti para pemikir dan tokoh agama terkemuka, yakni; Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Gedong Bagus Oka, Eka Darmaputera, Th Sumartana, Franz Magnis Suseno, Munawir Sadzali, Dawam Rahardjo, lalu diikuti tokoh-tokoh lain seperti; M. Quraish Shihab, Sri Pannyavaro Mahathera, Moeslim Abdurrahman, Syu’bah Asa, Masdar Farid Mas’udi, dan lain-lain.  

 

Saat itu mereka mengajak masyarakat untuk beragama secara kontekstual. Beberapa pokok pikiran yang mereka suarakan senada dengan pesan-pesan moderasi beragama.   

 

Semua elemen bangsa dan lapisan masyarakat, dari tingkat paling atas hingga paling bawah, seyogyanya tidak perlu merisaukan genderang moderasi beragama. Sebab, bersikap moderat tidak berarti menjalankan agama secara santai dan serampangan, tidak pula sebaliknya, menghalangi kebebasan beragama bagi setiap individu atau kelompok. Moderasi beragama mengajak umat beragama untuk menginternalisasikan nilai luhur agama agar dapat menjadi landasan spiritual, moral, dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (halaman 155-182).    

 

Bagian kelima, ragam perspektif moderasi  beragama. 

Gagasan gerakan moderasi beragama sudah lama digaungkan oleh penerima tokoh Moderasi Nasional FKUB Papua pada tahun 2018 ini. Bahkan sejak 2016 silam, ia menyampaikan perspektif moderasi beragama kala menghadapi isu-isu keagamaan yang berkembang di masyarakat. Perspektif moderasi beragama dijadikan sebagai pendekatan unit kerja kementerian dalam memberikan layanan publik bagi umat beragama. 

 

Konseptualisasi moderasi beragama juga telah terdokumentasikan dalam bentuk buku "Moderasi Beragama" dan buku "Tanya Jawab Moderasi Beragama" yang diluncurkankan pada 8 Oktober 2019. Selain itu juga terbit buku berjudul "Mozaik Moderasi Beragama; Dalam Perspektif Kristen", diterbitkan oleh Kemenag RI Dirjen Bimas Kristen, pada tahun 2018. Ada pula buku berjudul, "Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam", yang disusun oleh Tim Pokja Moderasi Beragama Ditjen Pendis, tahun 2019.

 

Dalam tema lain, ada pula buku; "Moderasi Beragama; Dari Indonesia Untuk Dunia", diterbitkan oleh LKiS, Jogjakarta, pada tahun 2019, yang berisi kumpulan tulisan hasil riset para pimpinan PTKIN tentang moderasi beragama. Selain itu, Menteri Agama RI era tahun 1998, M. Quraish Shihab, menerbitkan buku berjudul "Wasathiyah; Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama", yang diterbitkan oleh Lentera Hati, Jakarta, pada tahun 2019. Pada Juli 2022 Bimas Islam Kemenag RI secara terbatas juga telah menerbitkan buku berjudul "Moderasi Beragama Perspektif  Bimas Islam", (halaman 183-203). 

 

Bagian keenam, kekeliruan memahami moderasi  beragama. 

Pada bagian ini menjelaskan tentang banyak perbedaan ungkapan ketika moderasi beragama mengemuka di ruang publik. Mereka yang baru mendengar kata ini, bisa-bisa bingung sendiri ketika ingin memahami moderasi beragama. 

 

Wakil Ketua MPR RI periode 2009- 2014 ini menjelaskan, kesalahpahaman masih dapat dimengerti karena boleh jadi disebabkan kurang pasokan informasi secara utuh dan terburu-buru memberikan respons. Maklum, referensi yang tepat tentang moderasi beragama masih berkutat di kalangan akademik dengan segmentasi terbatas. 

 

Moderasi beragama tak pernah menggunakan istilah ‘musuh’, ‘lawan’, ‘perangi’ atau ‘singkirkan’ terhadap mereka yang dinilai berlebihan atau melampaui batas dalam beragama. Sebab, tujuan moderasi beragama adalah mengajak, merangkul, dan membawa mereka yang dianggap berlebihan dan melampaui batas, agar bersedia ke tengah untuk lebih adil dan berimbang dalam beragama. Selain itu, dalam beragama tidak mengenal seteru dan permusuhan, melainkan bimbingan dan pengayoman terhadap mereka yang ekstrem sekalipun. 

 

Semua elemen tokoh masyarakat lintas iman, lintas generasi di Nusantara ini, jangan bosan-bosan mendengungkan moderasi beragama. Karena moderasi beragama merupakan proses menginternalisasikan nilai-nilai agama yang menjadi landasan spiritual, moral, dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang dimaksud adalah norma-norma agama yang substantif, esensial dan bermuara pada misi mengutamakan kemanusiaan, (halaman 205-232). 

 

Kehadiran buku ini bisa ikut berkontribusi menjaga dan memelihara kedamaian kehidupan keberagamaan di tanah air tercinta, sekaligus merawat keberagaman dan keberagaman bangsa Indonesia. 

 

Buku ini juga sangat berguna bagi pegiat akademik kajian moderasi beragama baik di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) atau di pondok pesantren, sebagai referensi santri, akademisi lintas disiplin ilmu, peneliti kerukunan umat beragama, aktivis dialog lintas iman, dan lain-lain. Mari, kita membumikan moderasi beragama di Indonesia. Selamat membaca.   

 

IDENTITAS BUKU    : 

Judul               : Moderasi Beragama Tanggapan Atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan Yang Dihadapinya   
Penulis            : Lukman Hakim Saifuddin 
Penerbit          : Yayasan Saifuddin Zuhri, Jakarta 
Tahun Terbit    : Cetakan ke – 3, Desember, 2022. 
Tebal            : xii + 236 Halaman 
Nomor ISBN    : 978-623-09-0778-4
PERESENSI    : Akhmad Syarief Kurniawan, Peneliti LTN NU Kabupaten 
Lampung Tengah, Provinsi Lampung.


Literasi Terbaru