Opini

Kita Sedang Membangun Apa? Ini Renungan Mendalam dari QS At-Taubah: 109

Rabu, 16 Juli 2025 | 08:26 WIB

Kita Sedang Membangun Apa? Ini Renungan Mendalam dari QS At-Taubah: 109

Ketua PWNU Lampung, H Puji Raharjo. (Foto: Istimewa)

Di antara sekian banyak peringatan dalam Al-Qur’an, ada satu ayat yang terasa seperti tamparan halus bagi siapa pun yang merasa sudah “beramal” dalam hidup ini. QS At-Taubah ayat 109 bukan sekadar soal bangunan fisik, tapi tentang fondasi eksistensi kita sebagai manusia. 

 

Al-Qur’an menyingkapkan bahwa yang terpenting bukan seberapa besar amal yang kita bangun, tetapi di atas apa kita membangunnya. Apakah hidup ini disusun di atas fondasi takwa dan keridaan Allah, atau di atas niat rapuh yang mudah runtuh ketika diuji dunia?

 

Allah swt berfirman:

 

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

 

Artinya: Maka apakah orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-Nya itu lebih baik, ataukah orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu roboh bersama dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS At-Taubah: 109)

 

Ayat ini menyajikan dua tipe kehidupan, yaitu satu dibangun dengan ketulusan dan niat suci, serta satu lagi dibangun dengan niat tersembunyi, penuh tipu daya, dan kepentingan sesaat. Menurut tafsir Imam al-Ṭabarī, ayat ini menggambarkan kontras antara Masjid Quba dan Masjid Ḍirār.

 

Pertama, dibangun oleh para sahabat dengan semangat ukhuwah dan takwa, menjadikannya masjid yang dicintai Allah. Kedua, Masjid Ḍirār dibangun oleh kaum munafik, berpura-pura demi ibadah tapi sejatinya untuk memecah belah umat dan melindungi musuh Islam. 

 

Bangunan ini bukan hanya ditolak, tapi diperintahkan untuk dirobohkan. Sebab ia dibangun bukan di atas takwa, tapi di atas kemunafikan. Maka benar, tak semua rumah ibadah diridai Allah; yang menentukan adalah niat di baliknya.

 

Itulah mengapa Allah menggunakan metafora “tepi jurang yang runtuh (شفا جرف هار)” — sebuah gambaran menakutkan namun nyata. Amal yang dibangun tanpa fondasi yang benar, sehebat dan sebesar apa pun, tak hanya akan hancur, tapi juga bisa menyeret pelakunya ke dalam neraka. 

 

Sebab yang Allah nilai bukan kuantitas amal, melainkan kualitas niat. Sehebat apa pun amal yang kita bangun, jika niatnya rapuh, hasilnya bukan pahala tapi petaka.

 

Setiap dari kita sejatinya adalah arsitek dari hidup kita sendiri. Setiap keputusan, tindakan, dan niat kita adalah batu-batu yang menyusun bangunan hidup ini. 

 

Maka pertanyaannya: bangunan hidup kita berdiri di atas apa? Apakah ia dibangun di atas takwa dan keikhlasan, atau di atas popularitas, pencitraan, dan kepentingan sesaat? Jika datang badai ujian hidup, fitnah, kegagalan, musibah, bangunan manakah yang akan tetap berdiri?

 

Inilah saatnya kita menggali ulang fondasi hidup. Dalam ibadah, apakah benar karena Allah, bukan karena ingin dilihat? Dalam dakwah: apakah untuk menyebar cahaya, bukan sekadar viral? 

 

Dalam pekerjaan: apakah demi keberkahan, bukan semata penghasilan? Dalam pergaulan sosial: apakah untuk kemaslahatan, bukan sekadar pencitraan? Karena besar kecilnya amal bukanlah ukuran utama di sisi Allah, melainkan keikhlasan niatnya.

 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

 

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

 

Artinya: Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan (HR Bukhari dan Muslim).

 

Jika niat kita lurus karena Allah, maka meski amal itu kecil, ia akan menjadi besar di sisi-Nya. Namun bila niat kita bengkok, maka amal sebesar apa pun akan berubah menjadi debu yang tak bernilai, bahkan menjadi sebab kebinasaan. 

 

Maka mari kita bertanya pada diri kita masing-masing hari ini: di atas apa aku membangun hidupku? Semoga jawabannya di atas takwa dan keridaan Allah swt yang tidak pernah runtuh.

 

H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Lampung/ Deputi bidang Koordinasi Pelayanan Haji Dalam Negeri BP Haji