Shalat dan Kurban, Jalan Menuju Kesalehan Spiritual dan Sosial: Refleksi Tafsir Al-Qurtubi Terhadap QS Al-Kautsar: 2
Jumat, 6 Juni 2025 | 13:11 WIB
H Puji Raharjo
Penulis
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, ibadah sering kali menjadi rutinitas simbolik. Shalat dilakukan sekadar menggugurkan kewajiban, dan kurban sekadar tradisi tahunan. Namun dalam QS Al-Kautsar ayat 2, Allah memberi dua perintah penting setelah anugerah agung:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Artinya: Maka shalatlah hanya untuk Tuhanmu, dan berkurbanlah
Menurut Imam Al-Qurtubi, perintah ini sarat dengan makna yang jauh lebih dalam dari sekadar ritual formal. Ia adalah panggilan untuk menyatukan ibadah individual dan kepedulian sosial dalam satu kesalehan yang hidup.
Imam Al-Qurtubi menyebut bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata فَصَلِّ. Ibnu Abbas (diriwayatkan oleh al-Ḍaḥḥāk) menafsirkan bahwa maksudnya adalah shalat lima waktu, karena shalat adalah:
Baca Juga
Merayakan Kemenangan
ركن العبادات، وقاعدة الإسلام
Artinya: Rukun ibadah dan fondasi Islam.
Qatadah, ‘Aṭā’, dan ‘Ikrimah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah shalat Idul Adha, karena berkaitan langsung dengan ibadah kurban. Said bin Jubair menyatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Subuh di Muzdalifah pada hari Nahr, karena hanya shalat itu yang dilakukan sebelum kurban.
Al-Qurṭubī mengatakan pula bahwa sebagian ulama menafsirkan "فَصَلِّ" sebagai makna simbolik dari sikap berdiri dalam shalat, yakni mengarahkan tubuh ke arah kiblat dengan posisi leher (النحر) menghadap kiblat, sebagaimana disebut oleh Ibnu Abbas, Ali, dan Al-Farrā’.
Intinya, apapun makna spesifik yang dimaksud, semua tafsir tersebut menekankan pentingnya shalat sebagai bentuk ibadah vertikal murni kepada Allah swt—sebagai dasar dan sumber kekuatan moral untuk setiap bentuk pengorbanan yang mengikuti.
Menurut Al-Qurṭubī, makna “وَانْحَرْ” juga memiliki banyak dimensi: Tafsir yang paling populer adalah perintah untuk menyembelih hewan kurban setelah shalat, sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah saw.
Namun beberapa ulama seperti Ali dan Ja‘far bin Muhammad menafsirkannya secara simbolik, yakni mengangkat tangan sejajar dengan leher saat takbir sebagai bentuk ketundukan dan kepasrahan total.
Ada juga yang menafsirkan "wanhar" sebagai menghadap kiblat dengan dada terbuka penuh dalam shalat, atau bahkan mengangkat tangan saat berdoa ke arah dada, sebagaimana disebut oleh Sulaiman al-Taymī.
Namun Al-Qurṭubī menegaskan bahwa inti dari perintah ini adalah agar seluruh bentuk penyembelihan—sebagai ibadah maupun aksi sosial—hanya ditujukan kepada Allah, tidak seperti kaum musyrikin yang menyembelih untuk berhala.
Sebagaimana ditulis beliau:
إن ناسا يصلون لغير الله، وينحرون لغير الله، وقد أعطيناك الكوثر، فلا تكن صلاتك ولا نحرك إلا لله
Artinya: Ada orang-orang yang shalat dan menyembelih bukan untuk Allah, maka engkau, wahai Nabi, jangan sampai ibadahmu selain untuk-Nya semata.
Imam Al-Qurṭubī mengkritisi mereka yang memaknai ayat ini secara parsial. Ia menulis:
وبالحري أن يكون جميع العمل يوازي هذه الخصوصية من الكوثر
Artinya: Sudah sepantasnya seluruh amal ibadah kita sepadan dengan kemuliaan "al-Kautsar" yang Allah berikan.
Maka bukan hanya shalat dan sembelihan biasa, tapi keseluruhan hidup harus menjadi wujud syukur atas nikmat itu.
Dari tafsir ini, kita belajar bahwa ayat pendek ini mengandung dua poros kesalehan: Kesalehan spiritual yang diwujudkan dalam shalat: hubungan dengan Allah yang memperkuat hati dan membentuk akhlak.
Kesalehan sosial yang diwujudkan dalam qurban: pengorbanan untuk memberi manfaat kepada sesama.Di zaman ketika religiusitas sering kali hanya tampak di permukaan—sebatas simbol, ritual, dan seremonial—perintah "فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ" datang sebagai pengingat.
Ia mengajak kita untuk menghidupkan kembali ruh ibadah yang sesungguhnya: menyambung hubungan dengan Allah lewat shalat yang khusyuk, dan menebar manfaat lewat qurban yang ikhlas.
Ibadah bukan hanya soal bentuk, tapi tentang makna dan dampak—baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Karena itu, shalat yang benar akan melahirkan empati, dan kurban yang sejati hanya akan muncul dari hati yang bersujud.
Inilah jalan menuju manusia yang utuh: yang tunduk sepenuhnya di hadapan Tuhannya, dan peduli sepenuh hati kepada makhluk-Nya. Di sanalah letak kesalehan yang hidup—kesalehan yang mengubah bukan hanya cara kita berdoa, tapi juga cara kita hadir untuk sesama.
H Puji Raharjo Soekarno, Ketua PWNU Lampung/ Deputi bidang Koordinasi Pelayanan Haji Dalam Negeri BP Haji
Terpopuler
1
Tata Cara dan Doa Lengkap Menyembelih Hewan Kurban
2
Bacaan Doa Wukuf di Arafah dari Rasulullah Saw
3
Lafal Takbiran Idul Adha dan Waktu Membacanya
4
Khutbah Idul Adha: Meneladani Kisah Nabi Ibrahim dan Ketauhidan yang Totalitas
5
Ini 6 Amalan Sunnah pada Hari Raya Idul Adha, 6 Juni 2025
6
Khutbah Jumat: Semua Manusia Sederajat di Hari Raya Kurban
Terkini
Lihat Semua