Muhammad Faizin
Penulis
Guru bukan hanya sosok pengajar yang mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi juga pendidik yang memiliki tanggung jawab membentuk karakter, etika, dan moral generasi penerus bangsa. Fungsi penting guru adalah mengajar untuk menjadikan anak didik pintar sekaligus mendidik untuk menjadikan mereka baik. Kedua peran ini sangat penting dan tidak bisa dipisahkan.
Namun, di tengah perkembangan zaman dan kompleksitas tantangan sosial saat ini, tidak sedikit guru yang mengalami penurunan motivasi. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya apresiasi, minimnya dukungan dari lingkungan sekitar, serta berbagai tekanan yang datang dari orang tua maupun sistem pendidikan itu sendiri.
Akibatnya, ada kekhawatiran bahwa guru hanya akan menjalankan perannya secara mekanis mengajar tanpa benar-benar mendidik.
Padahal, mendidik bukanlah pekerjaan ringan. Proses mendidik menuntut kesabaran, ketulusan, dan keikhlasan yang luar biasa. Guru juga manusia yang memiliki batas emosi dan kelelahan, dan dalam menjalankan tugasnya, ia kerap dihadapkan pada dinamika peserta didik yang berbeda-beda karakter dan latar belakangnya.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memahami bahwa guru tidak hanya menghadapi tantangan dari sisi akademik, tetapi juga psikologis dan sosial. Di sinilah pentingnya menyatukan ‘kacamata’ orang tua dan guru dalam proses pendidikan di ruang kelas agar visi dan misi yang dibawa bisa terealisasi dengan baik.
Di sisi lain, guru juga perlu terus meningkatkan kompetensi, termasuk dalam memahami psikologi peserta didik. Pendekatan yang tepat dan bijak dalam memahami siswa akan membantu menciptakan suasana belajar yang sehat, menyenangkan, dan penuh makna.
Dalam konteks ini, proses belajar-mengajar secara tatap muka langsung memiliki keberkahan tersendiri yang tidak bisa digantikan oleh teknologi atau kecanggihan internet.
Google dapat memberikan informasi, namun tidak bisa menanamkan nilai, membentuk akhlak, atau membimbing anak secara emosional dan spiritual. Di sinilah letak kemuliaan peran guru, sebagai pembimbing sejati dalam kehidupan nyata dan tak tergantikan oleh teknologi.
Oleh sebab itu, orang tua perlu melihat guru sebagai mitra utama dalam mendidik anak, bukan sekadar penyedia jasa pengajaran: mengajar selesai lalu dapat bayaran. Jangan!
Di sini juga muncul pentingnya berkah dalam Pendidikan. Sayangnya, dalam praktiknya, keberkahan dan nilai-nilai luhur dalam proses pendidikan seringkali tidak terukur dan tidak menjadi bagian dalam regulasi formal. Ketika muncul permasalahan kecil antara guru dan siswa, sering kali dibesar-besarkan hingga masuk ke ranah hukum atau media sosial.
Hal ini tidak hanya mencederai semangat guru, tetapi juga berdampak pada atmosfer pendidikan yang sehat. Dengan kurang pemahamannya elemen terkait pada tugas guru maka proses pendidikan yang dilakukan di Lembaga Pendidikan juga akan semakin mengarah kepada sebatas ‘menggugurkan kewajiban’ dan meminggirkan kualitas.
Contoh nyata seperti yang dialami oleh guru Madrasah Diniyah (Madin) di Demak, Jawa Tengah baru-baru ini atau kasus-kasus lain di mana guru harus berhadapan dengan tuntutan hukum, menunjukkan bagaimana persoalan kecil bisa berakibat besar ketika tidak disikapi dengan bijak oleh orang tua.
Pelaporan dan ancaman hukum atas tindakan mendidik yang sejatinya bertujuan baik bisa membuat guru kehilangan motivasi. Padahal, ketika anak selalu dibela tanpa melihat kesalahan yang dilakukan, maka anak akan kehilangan rasa hormat, menjadi sulit diatur, dan menjauh dari nilai-nilai kedisiplinan yang hendak ditanamkan.
Selain itu, saat ini juga tengah terjadi pergeseran nilai dalam dunia pendidikan, yang cenderung mengarah pada hal-hal yang bersifat materialistik. Semua hal kini diukur dari angka dan data formal, bukan dari nilai-nilai esensial.
Keberadaan guru yang awalnya dilandasi oleh niat mulia dan keikhlasan perlahan mulai bergeser ke arah orientasi pendapatan dan gaji. Kondisi ini diperparah dengan pola pikir sebagian orang tua yang kurang memperhatikan sisi keberkahan dalam proses belajar-mengajar.
Padahal, dalam referensi kitab-kitab klasik, proses pendidikan yang ideal harus bertumpu pada aspek batiniah, karena dari situlah muncul ketulusan niat belajar yang membuahkan hasil yang berkah.
Oleh karena itu, penting untuk menekankan kembali pendidikan afektif kepada para peserta didik, di samping aspek kognitif dan psikomotorik. Pendidikan bukan semata-mata persoalan kecerdasan otak, melainkan juga keseimbangan antara ilmu, kelembutan hati, sikap, dan adab. Semua itu seharusnya terintegrasi dalam satu sistem utuh yang menumbuhkan pribadi yang paripurna.
Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Pendidikan lebih mengarah pada penguatan aspek kognitif, ditandai dengan rapor yang hanya mencerminkan angka-angka, bukan kualitas moral dan akhlak siswa. Bahkan, telah terjadi inflasi nilai, di mana angka tinggi yang tercantum dalam rapor tidak lagi menjadi cerminan nyata dari kemampuan dan kepribadian siswa di kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini harus menjadi motivasi untuk membangun kesadaran bersama. Hormati dan apresiasi guru sebagaimana mestinya. Jangan biarkan para guru merasa sendiri dalam perjuangan mereka mendidik anak-anak kita. Jika keberkahan menjadi tolok ukur, maka serahkanlah dengan penuh kepercayaan anak-anak kepada guru, dan dukunglah mereka dalam membentuk generasi yang cerdas dan berakhlak mulia.
Karena pendidikan yang penuh keberkahan lahir dari sinergi antara guru, orang tua, dan lingkungan. Dan keberhasilan pendidikan sejati tidak hanya terletak pada nilai ujian, tetapi juga pada karakter dan moral anak-anak yang tumbuh menjadi pribadi yang baik, jujur, dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, penting membangun kesadaran bersama dengan menghormati dan mengapresiasi guru sebagaimana mestinya. Jangan biarkan para guru merasa sendiri dalam perjuangan mereka dalam mendidik generasi penerus bangsa. Jika keberkahan menjadi tolok ukur, maka serahkanlah dengan penuh kepercayaan anak-anak kepada guru, dan dukunglah mereka dalam membentuk generasi yang cerdas dan berakhlak mulia.
Karena pendidikan yang penuh keberkahan lahir dari sinergi antara guru, orang tua, dan lingkungan. Dan keberhasilan pendidikan sejati tidak hanya terletak pada nilai ujian, tetapi juga pada karakter dan moral anak-anak yang tumbuh menjadi pribadi yang baik, jujur, dan bertanggung jawab.
Padahal dalam menuntut ilmu, dibutuhkan syarat yang tidak sedikit yang harus diketahui oleh para murid dan juga orang tua. Dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim Tharîq at-Ta’allum karya Imam al-Zarnûji disebutkan bahwa ada enam syarat utama dalam mencari ilmu, sebagaimana terangkum dalam dua bait syair Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah:
أَلا لاَ تَناَلُ اْلعِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ - سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذكاَءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِباَرٍ وَبُلْغَةٍ - وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
Dalam bait tersebut, syarat pertama adalah kecerdasan (dzukā’), tidak hanya dalam hal intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual, di mana akhlak menjadi bagian utama dari kecerdasan sejati. Kedua adalah semangat dan kesungguhan (hirs), yakni tekad kuat untuk terus belajar dan tidak mudah menyerah. Ketiga, kesabaran (ṣabr) dalam menghadapi rintangan selama menuntut ilmu, karena jalan ilmu tidak selalu mulus.
Keempat, biaya dan bekal yang cukup (bulghah). Menuntut ilmu memerlukan pengorbanan, termasuk dalam hal materi. Tidak realistis berharap hasil maksimal dari proses belajar tanpa kesiapan berinvestasi untuk itu. Kelima, bimbingan guru (irsyād ustādz), karena ilmu yang benar harus dibimbing oleh mereka yang memiliki sanad keilmuan yang jelas. Belajar tanpa guru, apalagi dalam ilmu agama, bisa menyesatkan.
Dan terakhir, syarat keenam adalah waktu yang panjang (ṭūl zamān). Ilmu tidak bisa didapat secara instan. Dibutuhkan proses panjang, konsistensi, dan keberlanjutan agar ilmu benar-benar meresap dan berbuah hikmah.
Dengan memahami syarat-syarat ini, semua pihak, khususnya para orang tua dan siswa, dapat memandang proses pendidikan dengan lebih utuh dan mendalam, serta menaruh penghargaan tinggi kepada para guru yang telah dengan sabar menjalankan perannya di tengah tantangan zaman.
H Muhammad Faizin, Ketua PCNU Kabupaten Pringsewu
Terpopuler
1
Pelantikan IPNU-IPPNU, Ketua NU Pringsewu: Pelajar NU Harus Pinter, Seger, dan Bener
2
Mahasiswa KKN UIN Raden Intan Lampung Perbaiki Jalan Rusak Menuju Kawasan Agrowisata
3
Mahasiswa KKN UIN Raden Intan Lakukan Konservasi Air Melalui Pembuatan Lubang Resapan Biopori
4
Ngaji Tafsir Online: Sebab Diharamkannya Riba dan Ancaman bagi Pelakunya
5
Rektor UIN Raden Intan Kukuhkan 298 Guru Profesional PPG Pendidikan Agama Islam
6
Haul Ke-3 KH Mashari Fattah, Ustadz Mumuy Ajak Meneladani Sifat Rasulullah
Terkini
Lihat Semua