Perdebatan antara Gus Ulil Abshar Abdalla dan aktivis Greenpeace dalam program ROSI Kompas TV menyulut respons luas, khususnya di media sosial. Gus Ulil dianggap membela tambang dan menyepelekan kerusakan lingkungan. Kritik datang bertubi-tubi, sebagian bersifat ideologis, sebagian lagi emosional. Tapi jika kita menyimak secara utuh jalannya diskusi, justru yang muncul adalah upaya menata ulang nalar publik dalam membaca isu lingkungan dan sumber daya alam.
Dalam forum itu, Gus Ulil dengan jelas menyatakan bahwa kerusakan lingkungan adalah problem moral dan kemanusiaan yang serius. Ia tidak membela kerusakan, tetapi mempertanyakan pendekatan yang menolak pertambangan secara mutlak, seolah-olah segala bentuk ekstraksi adalah bentuk kejahatan yang inheren.
Yang ditawarkan Gus Ulil adalah perspektif yang lebih realistis. Ia tidak menyangkal urgensi transisi energi, tetapi juga mengingatkan bahwa dunia, termasuk Indonesia, belum berada pada titik di mana tambang bisa ditinggalkan begitu saja. Ia bahkan mengajak publik untuk belajar dari pengalaman negara-negara Eropa yang kini mengalami kesulitan karena memaksakan peralihan ke energi hijau secara tergesa. Di sana, idealisme lingkungan berubah menjadi krisis energi yang nyata—harga listrik melonjak, pasokan terganggu, dan ketergantungan terhadap logam tanah dari negara-negara Selatan justru meningkat.
Narasi semacam ini memang tidak populis. Di tengah gelombang moralitas lingkungan yang kian keras, suara yang menawarkan keseimbangan mudah dianggap sebagai bentuk pembenaran terhadap eksploitasi. Padahal, jika kita ingin membangun kebijakan yang benar-benar adil dan berkelanjutan, kita harus sanggup duduk di tengah: mendengar argumen dari kedua sisi, mengakui kompleksitas, dan tidak buru-buru mengklaim posisi moral tertinggi.
Gus Ulil juga secara terbuka mengkritik klaim mutlak dari sebagian aktivis yang menempatkan dirinya sebagai satu-satunya representasi kepentingan rakyat dan alam. Ia mengingatkan bahwa setiap gerakan sosial, termasuk gerakan lingkungan, tidak imun dari bias, kepentingan, dan potensi penyimpangan. Ini bukan bentuk sinisme, melainkan ajakan untuk menjaga gerakan sosial tetap akuntabel—termasuk pada publik yang mereka bela.
Lebih dari substansi argumen, sikap Gus Ulil selama debat juga patut dicermati. Ia hadir dengan tenang, menghindari serangan personal, dan membingkai debat sebagai ajang bertukar pandangan, bukan adu teriakan. Sikap ini kontras dengan atmosfer debat publik hari ini yang cenderung memihak suara keras dan label-label ideologis.
Alih-alih memprovokasi, Gus Ulil justru mendorong publik berpikir lebih dalam: bagaimana menciptakan kebijakan sumber daya alam yang etis, ekologis, namun tetap menjawab kebutuhan riil masyarakat. Bagaimana menghindari kerusakan, tapi juga tidak menutup mata pada fakta bahwa jutaan warga Indonesia menggantungkan hidup dari sektor ini.
Tentu, argumen Gus Ulil tidak harus disetujui. Tapi mendebatnya dengan kutipan-kutipan sepotong dan kemarahan digital bukanlah cara yang sehat. Isu lingkungan terlalu penting untuk disederhanakan menjadi soal "siapa paling pro-rakyat" atau "siapa paling peduli bumi."
Karena menjaga lingkungan adalah keharusan, tetapi menjaga kewarasan berpikir dalam memperjuangkannya tak kalah penting.
Hariz A'rifa'i, S.Pd, M.I.Kom, Magister Komunikasi Politik
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pentingnya Merawat Hati
2
Anggota DPRD Lampung: Jalur Domisili SPMB Lampung Harus Berdasarkan Jarak, Bukan Nilai Rapor
3
Ini Khasiat Alysha, Sabun Herbal Produk UMKM Mitra Binaan LAZISNU Pringsewu
4
Khutbah Jumat: Menggunakan Waktu Hidup untuk Kebaikan dan Ibadah
5
Kesahihan Dalil Jual Beli Kepada Non-Muslim
6
Dorong UMKM dan Wisata Lokal, Sasa Chalim Hadiri Peresmian Pasar Tematik Jelajah Danau Ranau
Terkini
Lihat Semua