Opini

Dunia Itu Manis dan Memikat, Tapi Penuh Ujian: Renungan dari Surat Al-Kahfi

Rabu, 30 Juli 2025 | 11:37 WIB

Dunia Itu Manis dan Memikat, Tapi Penuh Ujian: Renungan dari Surat Al-Kahfi

Ketua PWNU Lampung, H Puji Raharjo. (Foto' Istimewa)

Setiap Jumat kita dianjurkan membaca Surah Al-Kahfi, namun pernahkah kita benar-benar menyelami pesan mendalam yang terkandung dalam ayat-ayatnya? Tahukah kita bahwa di balik bacaan yang rutin itu tersimpan peringatan keras tentang duniayang tampak manis dan memesona, namun sejatinya hanyalah jebakan ujian bagi manusia? 

 

Rasulullah saw telah memberikan peringatan yang sangat jelas bahwa dunia itu manis dan menggoda, dan justru karena daya tarik itulah dunia menjadi ladang fitnah yang amat berbahaya jika tidak disikapi dengan hati-hati dan iman yang kuat. 

 

Lebih dari itu, Allah swt sendiri menyatakan bahwa Dia menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi dan akan melihat apa yang mereka perbuat di atasnya, mengisyaratkan bahwa seluruh aktivitas kita di dunia tidak luput dari pengawasan-Nya. 

 

Maka, sangat penting bagi kita untuk memahami bagaimana Al-Qur’an dan Hadits menggambarkan hakikat dunia, agar kita tidak terjebak dalam gemerlap fatamorgana yang menyesatkan, dan mampu bersikap waspada serta proporsional dalam menyikapinya.

 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah saw bersabda:

 

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

 

Artinya: Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (menyenangkan). Dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian beramal. Maka berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama Bani Israil adalah dari wanita (HR Muslim No 2742).

 

Hadits ini sejatinya tidak bermaksud menyalahkan atau mendiskreditkan perempuan, melainkan memberikan peringatan kepada manusia, khususnya laki-laki agar waspada terhadap dorongan syahwat yang sering kali menjadi celah utama godaan dunia. 

 

Ketika Rasulullah saw menyebut wanita sebagai fitnah bagi Bani Israil, yang dimaksud bukanlah perempuan sebagai makhluk yang tercela, tetapi lebih kepada bagaimana dorongan syahwat terhadap perempuan yang jika tidak dikendalikan dapat menjerumuskan seseorang pada kehancuran moral dan spiritual. 

 

Dalam konteks ini, perempuan dibaca sebagai simbol dari nafsu dan kenikmatan duniawi yang paling kuat pengaruhnya, sebagaimana harta, kekuasaan, dan jabatan juga bisa menjadi sumber fitnah. 

 

Maka, hadits ini perlu dipahami dalam kerangka pengendalian diri dan tanggung jawab moral, bukan sebagai justifikasi untuk menyalahkan atau merendahkan posisi perempuan. 

 

Justru sebaliknya, ini adalah peringatan bagi manusia agar tidak mudah terperdaya oleh keindahan dunia yang tampak menggoda, termasuk di dalamnya hubungan antarjenis yang didorong oleh nafsu semata. 

 

Allah telah menempatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi, pemegang amanah ilahi, dan setiap godaan duniawi, termasuk syahwat terhadap lawan jenis, menjadi ujian untuk melihat siapa yang benar-benar mampu menjalankan peran kepemimpinan itu dengan amanah, integritas, dan ketakwaan.

 

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Al-Kahfi ayat 7:

 

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

 

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapa di antara mereka yang terbaik amalnya (QS Al-Kahfi: 7).

 

Perhiasan dunia, entah itu harta, jabatan, atau kecantikan, semuanya adalah alat ujian. Bukan untuk disembah atau dijadikan tujuan akhir. Dunia adalah panggung sandiwara yang akan dibongkar, dan amal adalah naskah yang dibaca oleh Allah dan dicatat oleh malaikat.

 

Bahkan di ayat sebelumnya (QS Al-Kahfi: 6), Allah menegur Rasulullah saw karena terlalu bersedih atas mereka yang berpaling dari kebenaran:

 

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا

 

Artinya: Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an) (QS Al-Kahfi: 6).

 

Ini menunjukkan bahwa manusia bisa begitu terikat dengan dunia, hingga menolak kebenaran sekalipun telah datang dari Allah. Ayat dan hadits ini saling menguatkan bahwa dunia bukanlah rumah akhir, melainkan ladang ujian yang tak boleh membuat kita lalai.

 

Mari kita berhenti sejenak dan merenung: di manakah posisi kita dalam perjalanan hidup ini? Apakah kita tengah terbuai oleh gemerlap dunia yang memesona, ataukah kita masih mampu menempatkan dunia pada porsinya sebagai tempat ujian semata? 

 

Rasulullah saw telah mengingatkan dengan jelas bahwa dunia itu ḥulwah khaḍirah, manis dan menghijau, menyenangkan secara lahir dan menggoda secara batin. Sesungguhnya yang dinilai bukanlah seberapa banyak kita memiliki dunia, tetapi bagaimana kita memperlakukan dunia: apakah sebagai ladang amal atau jebakan nafsu. 

 

Dunia bisa menjadi kendaraan menuju ridha Allah, tapi juga bisa menjadi rantai yang menyeret ke dalam kelalaian dan kesesatan, tergantung bagaimana kita bersikap terhadapnya.

 

Karena itulah, para ulama menekankan pentingnya berdoa dan terus menyadarkan diri agar dunia tidak menguasai hati. 

 

اللهم لا تجعل الدنيا أكبر همنا، ولا مبلغ علمنا، ولا غاية رغبتنا، واجعلنا ممن يحسنون العمل فيما استخلفتهم فيه

 

Artinya: Ya Allah, jangan jadikan dunia sebagai cita-cita terbesar kami, atau batas ilmu kami, atau puncak harapan kami. Jadikan kami orang-orang yang memperbaiki amal dalam setiap amanah yang Engkau titipkan.” 

 

Doa ini menggambarkan betapa pentingnya menjaga hati agar tidak dikuasai dunia, dan terus menyadari bahwa kehidupan ini adalah titipan, bukan milik sejati. 

 

Maka jangan tunggu esok. Dunia sedang menguji Anda hari ini, di setiap langkah, niat, pilihan, dan amal. Jangan sampai kita tergolong orang yang tertipu oleh pancaran palsu dunia, sementara akhirat tak lagi menjadi tujuan utama.

 

H Puji Raharjo Soekarno, Ketua PWNU Lampung