Yudi Prayoga
Penulis
Saat ini kita telah berada di bulan Safar 1447 H, bulan kedua dari kalender Hijriah. Dalam kepercayaan masyarakat Arab kuno, bulan Safar sering dikaitkan dengan berbagai hal mitos. Dan hal ini sudah dihapuskan oleh ajaran Islam.
Dalam bahasa Arab, nama Safar memiliki arti “sepi” atau “sunyi”, karena pada saat itu masyarakat Arab kuno selalu meninggalkan rumah dan kota pada bulan tersebut, untuk berperang atau berniaga, sehingga menjadi kosong.
Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) menjelaskan:
صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ
Artinya: Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian (Tafsîr ibnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).
Sementara Ibnu Manzhur (wafat 771 H), menyampaikan alasan yang lebih lengkap, beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, di antaranya:
1. Sama seperti penjelasan Ibnu Katsir, yaitu sepinya rumah-rumah orang Arab.
2. Oang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanamanan pada bulan Safar.
3. Pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab.
Mitos kesialan di bulan Safar
Sebagaimana banyak diketahui dan banyak yang meyakini, pada bulan safar akan terjadi musibah yang luar biasa dan akan terjadi cobaan melebihi bulan-bulan lainnya. Dalam hal ini Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) mengatakan, bulan Safar dan bulan lainnya tidak memiliki perbedaan sama sekali.
Menurutnya sebagaimana dalam bulan lain, dalam bulan Safar dapat terjadi keburukan dan kebaikan. Dengan kata lain, tidak boleh menganggap bulan Safar diyakini sebagai bulan yang dipenuhi dengan kejelekan dan musibah. Beliau menegaskan:
وَأَمَّا تَخْصِيْصُ الشُّؤْمِ بِزَمَانٍ دُوْنَ زَمَانٍ كَشَهْرِ صَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ
Artinya: Adapun mengkhususkan kesialan dengan suatu zaman tertentu bukan zaman yang lain, seperti (mengkhususkan) bulan Safar atau bulan lainnya, maka hal ini tidak benar.
Ibnu Rajab tidak membenarkan keyakinan seperti itu sebab semua bulan, zaman, dan tahun merupakan makhluk Allah swt, yang di dalamnya bisa saja terjadi suatu kesialan, bencana, dan musibah. Maka sangat tidak logis jika musibah hanya dikhususkan pada bulan Safar dan meniadakannya pada bulan-bulan lainnya.
Lebih tegas Ibnu Rajab menyatakan, barometer dari baik dan tidaknya suatu zaman tidak dilihat dari kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya. Menurutnya, semua zaman yang di dalamnya semua seorang mukmin menyibukkan diri dengan kebaikan, maka zaman tersebut adalah zaman yang diberkahi. Demikian pula sebaliknya. Ibnu Rajab berkata:
فَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ المُؤْمِنُ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ زَمَانٌ مُبَارَكٌ عَلَيْهِ، وَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ العَبْدُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَهُوَ مَشْؤُمٌ عَلَيْهِ
Artinya: Setiap zaman yang orang mukmin menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah, maka merupakan zaman yang diberkahi; dan setiap zaman orang mukmin menyibukkannya dengan bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan (tidak diberkahi) (Zainuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Baghdadi ad-Dimisyqi, Lathâ-iful Ma’ârif, [Dar Ibn Hazm, cetakan pertama: 2004], halaman 81).
Rasulullah saw pun menolak tentang mitos kesialan tersebut. Rasulullah saw bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
Artinya: Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa. (HR al-Bukhari).
Syekh Abu Bakar Syata ad-Dimyathi (wafat 1302) mengatakan, hadits di atas ditujukan untuk menolak keyakinan dan anggapan orang-orang jahiliah yang mempercayai setiap sesuatu dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya, baik keburukan maupun kebaikan. Selain itu juga menolak setiap penisbatan suatu kejadian kepada selain Allah. Artinya, semua kejadian yang terjadi murni karena kehendak Allah yang sudah tercatat sejak zaman azali, bukan disebabkan waktu, zaman, dan anggapan salah lainnya.
Demikianlah penjelasan mengenai asal usul bulan Safar dan menyangkal kesialan di dalamnya. Dalam ajaran Islam, kita dilarang mengkhususkan suatu peristiwa buruk pada waktu tertentu tanpa kehendak Allah swt. Karena sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi di alam semesta hanya Allah yang tahu, dan hanya Allah yang berhak menghendakinya.
Terpopuler
1
Doa Awal Bulan Safar yang Dapat Diamalkan
2
Asal Usul Nama Safar dan Mitos Sial di Dalamnya
3
Ibarat Masuk Rumah Lewat Pintu, Ini Pentingnya Ngaji dengan Kiai yang Ilmunya Bersanad
4
Bacaan Shalawat Badar, Arab, Latin, dan Artinya
5
Tanam 80 Lubang Biopori, Program Eko Mahad Mahasiswa UIN RIL di Kecamatan Sukarame
6
Guru Perlu Miliki Literasi untuk Mewujudkan Pendidikan Ramah Anak dan Humanis
Terkini
Lihat Semua