Opini

Menanam Pohon, Menanam Kebaikan: Jariyah yang Tak Terbatas

Senin, 14 Oktober 2024 | 13:15 WIB

Menanam Pohon, Menanam Kebaikan: Jariyah yang Tak Terbatas

Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, Agus Hermanto. (Foto: Istimewa)

Lingkungan yang nyaman akan senantiasa menjadikan seseorang hidup secara normal, namun sebaliknya bahwa lingkungan yang rusak juga akan dapat mempengaruhi pada pola pikir dan perilakunya. 

 

Maka dapat pula dikatakan bahwa sikap dan perilaku seseorang sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal, sehingga membangun sebuah lingkungan yang baik akan senantiasa bernilai ibadah jariyah yang bermanfaat pada generasi setelahnya.

 

Warisan lingkungan baik atau buruk dari nenek moyang kita sejatinya adalah barometer dari perilaku mereka. Sebagaimana pula keburukan yang kita ajarkan, suu’ul khulki yu’di artinya keburukan akhlak akan menular. 

 

Seorang guru yang mengajarkan ilmu yang salah akan senantiasa menjadi pedoman anak didiknya sehingga ilmu yang salah itu akan mengalir pada anak didiknya hingga keburukan itu berkelanjutan, begitu pula kebaikan yang diajarkan pun akan demikian.

 

Ternyata keburukan dan kebaikan yang diwariskan bukan hanya pada perilaku saja, melainkan juga pada sebuah lingkungan yang ditempati.

 

Seperti hal yang paling ringan adalah reboisasi, menanam pohon adalah upaya untuk berpikir kelanjutan, sehingga orang yang menam pohon lalu pohon tumbuh dan berkembang hingga besar dan berbuah. 

 

Ketika buah itu dimakan oleh orang, maka akan menjadi jariyah bagi penanamnya, bahkan jika dimakan hewan, burung atau dicuri oleh orang, maka akan menjadi jariyah bagi penanamnya. 

 

Maka penting kiranya kita berpikir pada sesuatu yang berkelanjutan agar kita senantiasa dapat nilai jariyah dari mata rantai yang kita lakukan. 

 

Sebagaimana dalam suatu kisah, seorang kakek yang menanam pohon, dan datang seorang laki-laki bertanya, “Wahai kakek, untuk apa kakek menanam pohon, padahal kakek sudah tua, mana mungkin seusia kakek yang sudah tua dapat menikmati hasil buah yang kakek tanam.”

 

Seraya menjawab sang kakek li ya’kula man ba’dana artinya bahwa kakek menanam pohon tersebut tidak untuk dimakan sendiri, melainkan sang kakek memikirkan pada generasi setelahnya dari anak, cucu yang kemudian dapat menikmati hasil tanaman kakek.

 

Selama ini kita kerap mendengar istilah jariyah hanya pada wilayah wakaf yang kita berikan pada suatu tempat umum yang bermasalah bagi orang banyak. Tapi ternyata menjaga dan merawat lingkungan dengan baik juga merupakan jariyah untuk masa depan anak cucu kita yang secara otomatis akan merasakan atas perilaku kita hari ini.

 

Agus Hermanto, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung