Fiqih Sosial dalam Tafsir Keadilan Pendidikan: Menyambut Putusan MK
Selasa, 3 Juni 2025 | 20:36 WIB
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 merupakan tonggak penting dalam pembaruan kebijakan pendidikan nasional. MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), khususnya terkait kewajiban negara dalam pembiayaan pendidikan dasar.
Dalam sidang yang digelar Selasa, 27 Mei 2025 lalu di Gedung MK, Jakarta, Mahkamah menyatakan bahwa frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” berpotensi menimbulkan multitafsir dan praktik diskriminatif, karena selama ini cenderung hanya diterapkan pada sekolah negeri.
Permohonan ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga warga negara, yakni Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Mereka menyuarakan kegelisahan sebagian masyarakat yang mengalami kesenjangan akses pendidikan, terutama ketika keterbatasan daya tampung sekolah negeri mendorong peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah swasta.
Dalam amar putusannya, Mahkamah menegaskan bahwa prinsip wajib belajar tanpa biaya harus berlaku setara, baik di sekolah negeri maupun swasta, sepanjang lembaga pendidikan swasta tersebut memenuhi kualifikasi sebagai penyelenggara pendidikan dasar yang diakui negara.
Mahkamah Konstitusi dengan terang menyatakan bahwa pemaknaan yang eksklusif terhadap pembebasan biaya pendidikan hanya pada sekolah negeri adalah bentuk ketimpangan perlakuan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam konstitusi.
Norma yang multitafsir itu tidak sekadar menciptakan ketidakadilan, tetapi juga menggandakan beban mereka yang justru paling membutuhkan negara: rakyat kecil di pinggiran kota dan desa.
Di sinilah kita menyaksikan keberanian hukum bertemu dengan empati sosial. Mahkamah menegaskan bahwa amanat konstitusi melalui Pasal 31 ayat (2) dan (4) UUD 1945 mengenai wajib belajar dan alokasi 20 persen anggaran pendidikan dari APBN dan APBD, semestinya menyentuh seluruh sistem pendidikan nasional, termasuk sekolah swasta.
Negara tak boleh membiarkan kesenjangan menjadi dalih untuk pembiaran, apalagi menganggap lembaga pendidikan swasta sebagai entitas pinggiran yang tidak pantas dijangkau oleh keadilan fiskal.
Kita menyadari bahwa konstitusi bukan hanya kitab hukum, melainkan juga kitab moral. Ia tidak berhenti pada legalitas, tapi menjangkau legitimasi sosial. Oleh karena itu, makna “gratis” dalam konteks pendidikan dasar bukan sekadar bebas pungutan, melainkan jaminan negara bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang setara untuk belajar, berkembang, dan bermimpi.
Secara sosiologis, putusan MK ini mengafirmasi kenyataan yang selama ini tidak banyak mendapat perhatian: masih banyak masyarakat yang menjatuhkan pilihan pada sekolah swasta karena faktor ketersediaan dan keterjangkauan, bukan semata preferensi.
Dalam konteks ini, lembaga pendidikan swasta, termasuk yang berbasis keagamaan seperti madrasah dan sekolah Islam, telah berperan penting sebagai mitra strategis dalam memperluas akses pendidikan, khususnya di wilayah yang belum sepenuhnya terjangkau layanan pendidikan negeri.
Namun, di sisi lain, posisi sekolah swasta pun berada dalam dilema: harus melayani, tapi dibatasi kemampuan. Harus menghidupi operasional, namun tanpa kejelasan dukungan fiskal negara.
Maka keputusan ini, apabila diresapi, bukan hanya membuka jalan kebijakan baru, melainkan juga memulihkan martabat lembaga-lembaga pendidikan swasta yang selama ini menjalankan fungsi negara tanpa pengakuan penuh dari negara itu sendiri.
Dari perspektif agama, khususnya dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan salah satu dari lima maqashid al-syari'ah (tujuan utama diturunkannya syariat) yakni menjaga akal (hifzh al-‘aql). Islam tidak sekadar mendorong pencarian ilmu, tetapi mewajibkannya.
Dalam konteks ini, negara sebagai entitas yang mengelola urusan publik (siyasah syar’iyyah), berkewajiban memastikan bahwa akses terhadap ilmu pengetahuan tidak menjadi hak istimewa, melainkan hak dasar seluruh umat.
Prinsip keadilan (al-‘adl) dan penghapusan kesulitan (raf‘ al-haraj) dalam syariat memberi landasan bahwa membiarkan kesenjangan akses pendidikan merupakan bentuk ketidakadilan struktural.
Maka jika negara masih memilah siapa yang pantas dibantu berdasarkan status lembaga, bukan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, di situlah subtansi keislaman dalam pendidikan mengalami keretakan nilai.
Putusan MK ini, apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip fiqih sosial, adalah bentuk taqnin (pengundangan) yang seharusnya membuka ruang baru untuk ta’awun (kerja sama) antara negara dan masyarakat sipil, antara kebijakan publik dan nilai-nilai etik.
Sebagaimana halnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang baik, putusan ini tidak selesai di ruang sidang. Ia baru akan menemukan makna ketika diterjemahkan dalam kebijakan nyata.
Tentu akan ada pertanyaan teknis dan perdebatan fiskal, akan ada tarik ulur antara idealisme hukum dan realitas anggaran. Tetapi bukankah itulah fungsi negara? Mengubah yang ideal menjadi konkret, menjahit prinsip dalam undang-undang ke dalam struktur belanja dan distribusi layanan.
Jika negara sungguh-sungguh menjalankan isi putusan ini, maka kita sedang menuju satu lompatan penting dalam sejarah pendidikan nasional—di mana negara tidak hanya hadir untuk yang terdata, tetapi juga menjangkau yang tercecer.
Di mana keadilan bukan hanya jargon, tapi menjadi roh dari kebijakan. Dan jika itu terjadi, maka kita tidak hanya mendengar gema palu Mahkamah, tetapi juga gema kemanusiaan.
Ahmad Musthafa Azhom, Pengurus PW GP Ansor Lampung dan Wakil Koordinator Wilayah AIS Lampung
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha: Kurban sebagai Aspek Spiritual dan Kepedulian Sosial
2
Bacaan Doa Wukuf di Arafah dari Rasulullah Saw
3
Bacaan Doa dan Dzikir saat Wukuf di Arafah
4
Bacaan Niat Puasa Arafah 5 Juni 2025, Menghapus Dosa 2 Tahun
5
Khutbah Idul Adha: Meneladani Kisah Nabi Ibrahim dan Ketauhidan yang Totalitas
6
Khutbah Idul Adha: Hikmah Ibadah Kurban
Terkini
Lihat Semua