Opini

Kisah Nabi Muhammad Saw sebagai Juru Damai dalam Kitab Barzanji

Kamis, 4 September 2025 | 08:27 WIB

Kisah Nabi Muhammad Saw sebagai Juru Damai dalam Kitab Barzanji

Ketua PWNU Lampung, H Puji Raharjo. (Foto: Istimewa)

Nabi Muhammad saw bukan hanya dikenal sebagai Rasulullah dan pembawa risalah Islam, tetapi juga sebagai sosok yang menebarkan kedamaian dan menyatukan hati manusia. Akhlak beliau yang agung membuat masyarakat Quraisy menjulukinya al-Amin, orang yang terpercaya. 

 

Kisah-kisah kehidupan beliau yang penuh hikmah terekam indah dalam Kitab Barzanji, sebuah karya klasik yang sejak berabad-abad dibacakan dalam majelis maulid. Kitab ini tidak hanya menjadi lantunan syair, tetapi juga pengingat akan teladan Rasulullah saw dalam membangun peradaban kasih sayang.

 

Di zaman kita hari ini, ketika perbedaan seringkali menjadi sumber perselisihan, kisah Rasulullah saw sebagai juru damai menghadirkan inspirasi yang amat relevan. Ia mengajarkan bahwa kedamaian, musyawarah, dan kebersamaan lebih utama daripada kemenangan segolongan saja.

 

Pada usia 35 tahun, Rasulullah saw terlibat dalam peristiwa penting yang hampir saja menimbulkan peperangan di Makkah. Ketika Ka‘bah rusak karena banjir, kaum Quraisy berinisiatif membangunnya kembali. 

 

Namun, saat tiba pada bagian Hajar Aswad, muncul sengketa besar: setiap kabilah ingin memperoleh kehormatan meletakkannya di tempat asalnya. Fanatisme suku semakin memanas hingga hampir menumpahkan darah.

 

Akhirnya, mereka sepakat untuk menyerahkan keputusan kepada orang pertama yang masuk dari pintu Ka‘bah. Dan atas takdir Allah, orang itu adalah Muhammad saw. Seketika mereka berseru, “Inilah al-Amin, kami semua ridha kepadanya!”

 

Beliau lalu mengambil kain, meletakkan Hajar Aswad di tengahnya, dan mengajak setiap kepala kabilah memegang ujung kain itu. Mereka bersama-sama mengangkatnya hingga ke sudut Ka‘bah. Setelah itu, Rasulullah saw sendiri dengan tangan mulia beliau meletakkan batu itu pada tempatnya.

 

Kitab Barzanji mengisahkan:

 

فَوَضَعَ الْحَجَرَ فِي ثَوْبٍ ثُمَّ أَمَرَ أَنْ تَرْفَعَهُ الْقَبَائِلُ جَمِيعًا إِلَى مُرْتَقَاهُ. فَرَفَعُوهُ إِلَى مَقَرِّهِ مِنْ رُكْنِ هَاتِيكَ الْبَنِيَّةِ. وَوَضَعَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ الشَّرِيفَةِ فِي مَوْضِعِهِ الْآنَ وَبَنَاهُ.

 

Artinya: Maka beliau meletakkan Hajar Aswad di atas sehelai kain, lalu memerintahkan agar semua kabilah bersama-sama mengangkatnya hingga mencapai tempatnya. Mereka pun mengangkatnya hingga sampai ke sudut bangunan itu. Kemudian beliau saw dengan tangan mulianya sendiri meletakkannya pada posisinya yang sekarang.

 

Sebuah keputusan yang sederhana, namun menyelamatkan masyarakat Makkah dari perpecahan yang hampir berujung pada peperangan. Rasulullah saw tidak mengambil kehormatan itu untuk dirinya sendiri, tetapi membaginya dengan semua pihak.

 

Kisah ini adalah cermin kebijaksanaan Nabi saw dalam meredam konflik. Beliau menunjukkan bahwa jalan keluar terbaik dari perselisihan adalah mencari solusi yang adil, yang menjaga marwah setiap pihak, dan yang menumbuhkan rasa kebersamaan. 

 

Inilah hakikat kepemimpinan: bukan memenangkan golongan, tetapi menghadirkan kedamaian untuk semua. Di tengah realitas sosial kita hari ini, di mana perbedaan sering disulut menjadi pertikaian, kisah Rasulullah saw menjadi lentera. Dari beliau kita belajar: jangan biarkan fanatisme sempit meruntuhkan persaudaraan. 

 

Marilah kita teladani beliau dengan membangun musyawarah, merawat persatuan, dan menegakkan keadilan. Sebab, hanya dengan persaudaraan yang kokoh, bangsa ini bisa terus melangkah menuju masa depan yang penuh berkah.

 

H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung