Literasi

Pemimpin Negara Harus Utamakan Kemaslahatan Umat

Sabtu, 15 Maret 2025 | 04:03 WIB

Pemimpin Negara Harus Utamakan Kemaslahatan Umat

Buku fiqh Tata Negara merupakan buku yang mengedepankan kemaslahatn umat (Foto: Istimewa)

Islam secara konseptual sesunguhnya tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara seperti konsep negara sekuler. Dengan watak holistik yang melekat padanya, Islam menganggap bahwa negara pada hakikatnya merupakan bagian integral atau perluasan dari Islam itu sendiri. Dari pandangan seperti ini lalu muncul adagium, al islamud diin wa dawlah (Islam adalah agama sekaligus negara).

 

Sebagaimana diketahui, kehadiran negara dalam pandangan Islam bukanlah tujuan (ghayah), melainkan sebagai sarana (wasilah) untuk mencapai tujuan. Tujuan berdirinya sebuah negara ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia secara lahir batin, baik di dunia maupun di akhirat. Kehadiran negara harus mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan dan berketuhanan.

 

Dengan hadirnya buku yang diterbitkan oleh IRCISOD Diva Press Group, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini akan memberikan pemahaman, pencerahan yang mudah dicerna bagi seluruh lapisan pembaca, bagaimana mendialogkan fiqih tata negara dengan sistem ketatanegaraan Islam sesuai dengan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tanpa mencabut akar budaya, atau kearifan lokal Nusantara yang sudah ada.

 

Terkait negara Pancasila dalam perspektif fiqih Tata Negara, KH Afifuddin Muhajir ini menguraikan bahwa dalam pandangan Islam, pemimpin negara merupakan penerus kenabian, yaitu menjaga agama (hiraasatud diin) dan mengatur dunia (siyasah dunya). Setiap Negara yang berperan menjalankan dua tugas tersebut berhak disebut negara Islam, baik dinyatakan demikian ataupun tidak. Maksud siyasah (politik) disini tentu bukan politik mekafilis yang menghalalkan segala cara, melainkan siyasah syar’iyyah yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat.

 

Pancasila merupakan dasar negara, bukan syariat. Namun, sila demi sila di dalamnya tidaklah bertentangan dengan ajaran syariat, bahkan sejalan dengan syariat itu sendiri. Sila pertama yang menjiwai sila – sila yang lain mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman yang mengacu kepada Al-Qur'an surat Al-Ikhlas. Sebagai ideologi negara Pancasila dapat mempersatukan beragam etnis, suku, golongan, dan agama yang ada di seluruh wilayah Indonesia.

 

Pancasila merupakan hasil ijtihad para pendiri republik ini yang sebagian besar ialah tokoh-tokoh Muslim. Sangat dimungkinkan bahwa anggota tim perumus teks Pancasila yang beragama Islam, tidak semata mendasarkan rumusannya pada pertimbangan akal sehat semata, tetapi juga pada prinsip-prinsip ajaran dan kaidah-kaidah Islam. Hal ini semakin menguatkan pandangan dan pikiran bahwa Pancasila itu sangat Islami.

 

Sedangkan untuk kemaslahatan rakyat, bagi Kiai Afifuddin, jika kebijakan berimplikasi pada kemaslahatan rakyat maka dianggap benar oleh syariat. Sebaliknya, jika kebijakan tersebut berdampak mafsadat pada rakyat maka dianggap menyalahi syariat. Sebuah kebijakan harus membuahkan kemaslahatan, karena seorang pemimpin bekerja tidak untuk dirinya, melainkan sebagai wakil dari rakyat yang dipimpinnya.

 

Kemaslahatan harus bernaung pada lima prinsip pokok (al kulliyat al khams), yaitu; hifzh ad diin (perlindungan terhadap agama), hifzh al ‘aql (perlindungan terhadap akal), hifzh an nafs (perlindungan terhadap jiwa), hifzh al maal (perlindungan terhadap harta benda), dan hifzh ‘irdh (perlindungan terhadap harga diri).

 

Kemaslahatan dalam bahasa Indonesia searti dengan kebaikan, kemanfaatan, dan kepentingan. Ulama ushul fiqih membagi kemaslahatan menjadi tiga bagian sebagaimana berikut, yakni; maslahah mu’tabarah, maslahah mulghah, dan maslahah mursalah.

 

Maslahah mu’tabarah adalah kemaslahatan yang diapresiasi dan diperhatikan oleh syar’i (pembuat syariat, Allah swt), ketentuan hukum syar’i dalam Al-Qur'an dan sunnah yang hendak mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat. Maslahah mulghah adalah kemaslahatan yang diabaikan dan tidak dipergunakan oleh syar’i, dengan ungkapan lain adalah kemaslahatan yang bertentangan dengan syariat. Dan terakhir, maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang lepas dari sorotan dalil, tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar bahwa maslahah tersebut diperhatikan atau diabaikan oleh syar’i, baik secara langsung atau spesifik.

 

Dalam konteks Islam Nusantara dan pola penerapan syariat, Kiai menyampaikan bahwa, Islam bukanlah budaya karena Islam berdimensi ketuhanan, sementara budaya berdimensi kemanusiaan. Meskipun demikian, berhubung Islam juga dipraktikkan oleh umat manusia maka selain berdimensi ketuhanan, ia sekaligus berdimensi kemanusiaan. Atas dasar ini, Islam tidak mengancam eksistensi kebudayaan.

 

Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara dan para Walisongo sejauh ini telah memberikan kesan yang baik dan efektif, yaitu Islam yang tampil dengan wajah santun, toleran, damai dan tidak pongah. Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah sedang dibakar oleh api kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam acap kali digunakan sebagai justifikasi bagi kehancuran tersebut. Maka, cara ber-Islam penuh damai sebagaimana tercermin di kawasan Nusantara ini dapat diafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.


Bagi Menteri Pertahanan Era Presiden RI ke-4, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD, dalam epilognya buku KH. Afifuddin Muhajir ini, menyampaikan bahwa, kalau berbicara tentang sistem dan hukum tata negara Islam, sebenarnya sudah jelas bahwa menurut sumber primer ajaran Islam, yakni menurut kitab suci Al-Qur'an dan sunnah Nabi, tidak ada sistem dan hukum tata negara Islam yang baku. Tidak ada juga sistem khilafah atau sistem pemerintahan yang baku di dalam sumber primer ajaran Islam tersebut.

 

Islam memang mengajarkan atau meniscayakan adanya negara dan pemerintahan sebagai fitrah atau keharusan karena kedudukannya sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi seperti apa sistem bertatanegara dan berpemerintahan itu diserahkan kepada umat Islam sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan zaman, tempat, dan budayanya.

 

Buku ini isinya sangat relevan dengan konteks kebangsaan Indonesia saat ini, buku ini sangat penting untuk bahan literasi semua lapisan sosial masyarakat, baik untuk santri Ma’had Aly, alumni pondok pesantren, mahasiswa, peminat kajian pemerintahan, hukum keluarga Islam, dan hukum tata negara, dan lain-lain.

 

IDENTITAS BUKU:

Judul                : Fiqh Tata Negara Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam
Penulis             : KH. Afifuddin Muhajir
Penerbit            : IRCISOD Diva Press Group, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun Terbit      : November, 2017
Nomor ISBN      : 978-602-7696-32-7
Tebal                  : 254 Halaman
Peresensi           : Akhmad Syarief Kurniawan, penikmat kopi dan buku, sekarang tinggal di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.