Opini

Irisan-Irisan Nalar Al-Narajil pada Hukum Poligami

Senin, 10 Maret 2025 | 08:44 WIB

Irisan-Irisan Nalar Al-Narajil pada Hukum Poligami

Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, Agus Hermanto. (Foto: Istimewa)

Nalar yang berati berpikir logis, ilmiah dan dapat diterima oleh pikiran, sedangkan Al-Narajil adalah berasal dari bahasa Arab yang berarti buah kelapa. Penulis dalam hal ini menawarkan irisan demi irisan yang ada pada buah kelapa, irisan itu ada lima dan masing-masing dari irisan itu terdapat kriteria khusus yang penulis lakukan untuk menganalisis suatu perkara atau bahkan putusan hukum, seperti tentang poligami.


Pada lapisan pertama, pastikan perkara itu tentang apa? Jika berbincang soal poligami, maka tentunya tentang hukum keluarga atau hukum perkawinan. Maka dalam lapisan ini, berbicara tentang konsep perkawinan secara utuh adalah sifat komprehensif dari suatu keutuhan hukum, mulai taaruf (perkenalan), hingga akad nikah, hak dan kewajiban suami istri, perceraian, dan pembagian waris.


Pada lapisan kedua penelitian menawarkan sebuah inklusif dari suatu kajian yang dalam hal ini adalah perkawinan yang dapat ditinjau dengan beragam teori atau pendekatan, jika temanya adalah poligami yang merupakan salah satu kajian tentang hukum pernikahan. Maka poligami itu dapat dinilai dengan banyaknya pendekatan, dan tidak hanya pada satu pendekatan secara mutlak. Sehingga, timbullah hukum boleh dan tidaknya hukum poligami sesuai teori dan pendekatan yang digunakan.


Pada lapisan ketiga, penulis menawarkan penelusuran pada mujtahid (orang yang berijtihad) hingga menemukan hukum boleh dan tidaknya poligami. Apakah kapasitas seorang mujtahid dalam hal ini kredibel atau tidak, juga melihat pada tujuan hukum, apakah tujuan hukum dan ratio legis (‘illat) hukum yang digunakan sesuai atau tidak juga perlu untuk dipertimbangkan.


Pada lapisan keempat dan kelima, penulis menawarkan pokok, sumber atau katakan Nash yaitu Al-Qur’an dan Sunnah dan atau problematika yang sedang dihadapi oleh masyarakat, karena suatu persoalan akan melihat pada kajian tekstual artinya aplikasi dari Nash atau kontekstual yaitu datangnya sebagai upaya untuk menghadirkan hukum yang inheren.


Sedangkan dalam tiap lapisan yang ada, penulis melihat pada buah Al-Narajil terdapat sebuah sumbu atau pusat pada tangkainya yang mampu menembus dari lapisan pertama hingga lapisan terakhir yang mengisyaratkan bahwa kajian hukum harus dikembalikan pada nilai Ilahiyah yaitu tauhid.  


Hal tersebut baik kedudukan hukum itu sendiri yang bertujuan untuk menerapkan syara’ aturan Tuhan, dan atau kompetensi seorang mujtahid harus beriman, dan jika mujtahid bukan orang beriman akan cacat hukum seperti halnya tangkai pada buah Al-Narajil, jika cacat pada tangkainya maka akan cacat pada dalam buah Narajil yaitu busuk atau rusak.


Begitu juga dalam hal poligami, penulis berpandangan bahwa persoalan ikhtilaf pada hukum poligami dari tiap-tiap mujtahid akan sangat tergantung pada lapisan kedua yaitu pendekatan apa yang digunakan, dan lapisan ketiga apakah tujuan hukum (maqashid al-syariah) yang diinginkan sudah benar hingga apakah mujtahid yang berpendapat sudah benar kompeten, dan yang terakhir adalah dalil yang digunakan pada lapisan setelahnya. Komprehensif suatu hukum Islam atau hukum perkawinan yang tidak bisa mengambil satu dalil dan menafikan dalil lainnya atau mengambil satu pendekatan dengan mengabaikan pendekatan lainnya.


Seperti contoh adalah berargumen bahwa poligami adalah qath’i, bersumber pada satu atau dua ayat yang menegaskannya, harus dipastikan apakah ayat tersebut asbab al-nuzulnya sudah layak, sesuai dengan tujuan syara’ juga melihat pada ayat lain misalnya ayat keadilan, apakah poligami sudah sesuai pada prinsip-prinsip keadilan, hal ini menjadi penting untuk meninjaunya.


Dalam pendekatan lain, misalnya meninjau poligami dengan pendekatan klasik hingga dilihat dengan pendekatan kontemporer, atau bisa jadi meninjau poligami dengan pendekatan normatif-psikologis, namun juga tidak dapat menafikan pada pendekatan lainnya misalnya sosio-antropoligis atau bahkan ekonomis dan lainnya.


Di sinilah pentingnya nalar Al-Narajil dalam menguak sebuah putusan hukum atau fatwa tentang suatu perkara dengan melihat lapisan-lapisan yang ditawarkan oleh penulis.


Agus Hermanto, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung