Opini

Aplikasi Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

Selasa, 11 Maret 2025 | 07:15 WIB

Aplikasi Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, Agus Hermanto. (Foto: Istimewa)

Teori pembanding adalah salah satu teori yang digagas untuk mengukur nalar Al-Narajil, karena sebuah nalar yang merupakan pemikiran secara logis dan ilmiah serta masuk akal tidak akan mudah diukur tanpa adanya teori yang mendukungnya. Maka daripada itu, penulis menawarkan sebuah teori yang bernama “pembanding”.


Sesungguhnya teori ini akan membantu untuk membandingkan lapisan-lapisan yang ada pada nalar Al-Narajil. Pada lapisan pertama, penulis ingin menelusuri pada setiap kajian yang ingin diteliti, misalnya hukum childfree, sebelum membahas hukum childfree harus dikembalikan dahulu pada hukum komprehensifnya, bahwa childfree adalah bagian dari fenomena yang terjadi dalam pernikahan. Hukum pernikahan berlaku komprehensif, artinya utuh dan menyeluruh dari taaruf, akad nikah, hak dan kewajiban suami istri, hingga kewarisan, dikaji secara utuh dan menyeluruh.


Kemudian pada lapisan kedua, kita harus pahami hukum perkawinan Islam dapatlah dikaji dengan beragam pendekatan dan teori, begitu juga childfree. Maka dari itu ketika ada suatu putusan hukum tentang childfree, harus dikembalikan pada prinsip-prinsip yang ada pada hukum Islam, seperti memudahkan (taisir), berkeadilan (al-adl), demokrasi (al-syura), dan berkesetaraan (musawah).


Jika kita ingin melihat pada hukum childfree yang sebenarnya, haruskah kita bandingkan antara pendapat satu dengan pendapat lainnya, dan membandingkan pula pendekatan satu dengan pendekatan lainnya hingga kita tidak salah memilah dan memilih teori dan pendekatan yang akan kita gunakan sebagai analisis hukum childfree.


Pada lapisan ketiga, kita harus pastikan tujuan hukum childfree, apakah telah sesuai dengan prinsip maqashid syariah atau justru bertentangan. Adapun tujuan syara adalah mengambil kemaslahatan dan menolah segala bentuk kemudharatan, baik bersifat primer (dharuriyat), skunder (hajjiyat), dan tersier (tahsiniyat).


Adapun kebutuhan primer mencakup pada unsur menjaga agama (hifdzu al-din), menjaga jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga akal (hifdzu al-aql), menjaga keturunan (hifdzu al-nasl), dan menjaga harta (hifdzu al-mal). Hal ini juga perlu untuk dibandingkan pada tujuan antara primer, sekunder dan tersier, karena bisa jadi hal yang kita anggap primer ternyata bagi masyarakat tertentu sekunder dan seterusnya.


Kemudian pada lapisan keempat juga menilik dan membandingkan pada kapasitas mujtahid, apakah kapasitas mujtahid layak untuk dianggap sebagai mujtahid hakiki atau tidak, hal ini tentunya merujuk pada syarat dan rukun mujtahid secara benar. Jika ada beberapa hasil ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid, maka patokan utamanya adalah akar keimanan, pastikan bahwa mujtahid yang dimaksud benar keimanannya.


Lalu pada lapisan kelima adalah sumber, sumber hukum ada dua yaitu Al-Qur’an sebagai sumber utama dan al-Sunnah sebagai sumber kedua yang berfungsi sebagai penjelas (bayan al-tafsir), penguat (bayan al-takqid), dan syariat baru yang tidak ter-cover dalam Al-Qur’an (bayan al-tasyri’).


Selain sumber hukum yang dipahami secara bayan, jika tidak lupa menilik pada al-ra’yu (dengan melihat konteks) yaitu pendekatan burhani, hingga menilik pada keimanan yang juga dimaksud pada lapisan keempat yaitu tauhid.


Teori pembanding ini penting agar kita dapat melihat suatu hukum yang lebih kuat, logis, dan solutif, sebagaimana dijelaskan dalam suatu kaidah (al-hukmu yatba’u al-mashlahah al-rajihah) hukum akan mengikuti kemashlahatan yang paling rajih. Dari titik inilah penulis menawarkan sebuah gagasan teori yang penulis sebut sebagai teori pembanding.


Agus Hermanto, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung