Literasi

Pembenaran Sejarah, Kemenangan Sultan Agung Atas VOC

Ahad, 13 April 2025 | 13:00 WIB

Pembenaran Sejarah, Kemenangan Sultan Agung Atas VOC

Sultan Agung Mataram dalam ekspedisi penyerangan ke Batavia (Ilustrasi: Yudi Prayoga)

Sejarah ditulis oleh yang berkuasa. Namun, di tanah air kita, justru penjajah yang dulu menulis sejarah, membingkai narasi sesuai kepentingan mereka, dan menyembunyikan kebenaran di bawah debu arsip kolonial. Salah satu kisah yang layak diluruskan adalah peristiwa perang Mataram melawan VOC di Batavia pada 1628–1629.

 

Selama ini kita diajarkan bahwa Sultan Agung gagal merebut Batavia. Bahwa Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang brutal itu, tetap kokoh hingga akhir hayat. Padahal fakta sejarah lokal berkata lain. Coen mati bukan karena sakit, melainkan dibunuh dalam operasi rahasia oleh dua teliksandi Mataram: Dewi Utari dan suaminya Teuku Umarudin dari Aceh. Dan Sultan Agung? Ia memang tak menaklukkan tembok Batavia, tapi ia menang dalam strategi, harga diri, dan kehancuran moral musuh.

 

Operasi Diam-Diam dari Tanah Mataram

Penyerangan Mataram ke Batavia bukanlah amukan spontan. Ini operasi militer terpadu dengan pendekatan sabotase logistik, infiltrasi politik, dan penguasaan psikologis. Mataram bukan hanya ingin menguasai kota, tapi juga merobohkan simbol dominasi dagang asing.

 

Dewi Utari dan suaminya menyusup ke Batavia dengan menyamar sebagai budak dan pelayan. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menembus dapur istana VOC. Utari, perempuan cerdas dan tabah, memetakan kebiasaan Coen, jalur logistik air, serta peta emosi para pejabat kolonial. Dalam satu malam yang gelap, pasangan ini meracik racun dari rempah lokal yang tak dikenal Eropa—dan mengirim Coen ke alam baka.

 

Sultan Agung dan Pengkhianat Pesisir

Keberhasilan ini tidak datang tanpa pengorbanan. Mataram kala itu juga dikhianati oleh sejumlah bangsawan pesisir yang lebih suka berdagang dengan VOC ketimbang melawan. Sultan Agung tak memberi ampun. Dalam sidang militer yang berlangsung di istana, lebih dari seribu orang pro-VOC dieksekusi dalam waktu satu tahun.

 

Mereka bukan korban politik, tapi contoh tentang betapa seriusnya Mataram menjaga kedaulatan. Sultan Agung sadar, penjajahan bukan hanya oleh musuh dari luar, tapi juga dari dalam: kolaborator, pengkhianat, dan pecundang moral yang menyembah komoditas.

 

Sejarah yang Dihapus Mesin Cetak

Sayangnya, kemenangan Mataram ini tidak ditulis dalam buku sejarah sekolah. Mengapa? Karena setelah kematian Coen, VOC bangkit dengan mesin cetak dan kekuasaan diplomasi. Mereka memalsukan sejarah. Coen digambarkan sebagai syuhada kolonial, bukan korban teliksandi Jawa. Sultan Agung digambarkan gagal, padahal ia membuat VOC panik selama satu dekade penuh.

 

Kita terlambat meluruskan sejarah. Tapi tak pernah ada kata terlalu lambat untuk kebenaran. Sultan Agung adalah bapak strategi nasionalisme. Dewi Utari adalah pahlawan teliksandi pertama Nusantara. Keduanya layak ada di buku teks, di benak murid-murid sekolah dasar, bukan sekadar bab yang lewat dalam ujian.

 

Menggugat dan Merawat Ingatan

Meluruskan sejarah bukan sekadar urusan akademik. Ini soal membangun identitas. Bangsa yang tak tahu siapa pahlawannya, akan dengan mudah menyembah tokoh fiktif yang disodorkan iklan atau algoritma. Kita perlu menulis ulang sejarah dengan hati-hati, dengan sumber yang sahih, dan dengan keberanian yang tak kalah dari Dewi Utari.

 

Dan pada akhirnya, sejarah juga butuh seni untuk mengalir di benak rakyat. Maka izinkan puisi ini menutup opini dengan suara dari zaman yang nyaris dilupakan:

 

Untuk Utari dan Kanjeng Sultan Agung

 

Di malam sunyi, Batavia gemetar,
oleh bisik teliksandi yang tak terbaca.
Coen tumbang bukan oleh meriam,
tapi oleh racun cinta dari Jawa.

 

Utari menyulam sejarah dengan senyap,
suaminya mengalirkan air penuh makna.
Dalam gerak kecil, Mataram menjelma badai,
dan para pengkhianat dikirim ke neraka.

 

Seribu pancung bukan dendam,
tapi penegakan harga diri bangsa.
Sultan Agung, kau bukan mitos,
kau adalah kita—yang tak ingin dijajah lagi.

 

 

Wahyu IryanaSejarawan dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Sejarah Islam Lampung.