Kitab Dalā’il al-Nubuwwah dan Akar Tradisi Ilmu di Pesantren Nusantara
Rabu, 9 April 2025 | 13:00 WIB
Wahyu Iryana
Penulis
Di antara kabut waktu yang menyelimuti awal abad ke-10 Masehi, adalah sebuah kitab bernama Dalā’il al-Nubuwwah karya Imam al-Bayhaqī (w. 1066 M). Kitab ini bukan hanya biografi Nabi Muhammad saw. dengan pendekatan hadits dan riwayat, melainkan juga menjadi prasasti awal dalam membangun tradisi otoritas kenabian dan keilmuan Islam. Yang tidak banyak disadari, Dalā’il al-Nubuwwah ternyata menancapkan akar kokohnya di tanah Nusantara, menjadi salah satu fondasi tradisi pesantren yang terus menghidupkan warisan sanad keilmuan Islam klasik.
Baca Juga
Kitab Kuning Adalah Ruh Untuk Pesantren
Tradisi keilmuan pesantren di Nusantara tidak tumbuh dari ruang hampa. Ia tumbuh dari jaringan ulama yang belajar ke Makkah, Madinah, Baghdad, dan Kairo, lalu membawa pulang warisan-warisan kitab kuning yang kaya. Di antara kitab-kitab itu, Dalā’il al-Nubuwwah menempati posisi istimewa karena bukan hanya membahas sejarah Nabi secara naratif, tetapi juga membuktikan kebenaran kenabian melalui dalil-dalil rasional dan mukjizat yang bersumber dari hadits-hadits sahih.
Kitab ini menjadi referensi penting dalam pengajaran di beberapa pesantren tua di Nusantara, seperti Pesantren Termas, Tebuireng, Buntet, hingga di beberapa pesantren klasik di Lampung, Palembang, dan Banten. Bahkan di Pesantren Sabilussalam di Kalianda, Lampung Selatan, kitab ini dahulu digunakan dalam halaqah Ramadan untuk menguatkan kesadaran keimanan para santri terhadap sirah nabawiyah yang ilmiah dan mendalam.
Apa keistimewaan Dalā’il al-Nubuwwah hingga begitu penting dalam membentuk tradisi keilmuan Islam di pesantren?
Pertama, ia meneguhkan bahwa sejarah Nabi bukan sekadar kisah, melainkan epistemologi. Imam al-Bayhaqī menuliskannya dengan struktur ilmiah: mulai dari nasab Nabi, tanda-tanda kenabian sebelum lahir, mukjizat, hingga akhlak dan keagungan pribadi beliau. Kitab ini menjadikan Nabi sebagai subjek ilmiah yang dapat didekati secara tekstual dan spiritual.
Kedua, kitab ini mempertemukan disiplin hadis, fiqih, dan teologi (akidah) dalam satu bingkai. Al-Bayhaqī yang juga dikenal lewat Sunan al-Kubra dan al-Asma’ wa al-Shifat—mengintegrasikan nalar Asy‘ariyah dalam menafsirkan mukjizat Nabi. Maka tidak heran bila para kiai pesantren tradisional di Nusantara yang berpaham Asy‘ariyah dan Syafi‘iyah menjadikan kitab ini sebagai referensi utama dalam menjelaskan aspek rasional mukjizat dan kemuliaan Nabi kepada santri-santri mereka.
Ketiga, Dalā’il al-Nubuwwah mendorong tradisi pengajaran naratif yang hidup. Banyak kiai menggunakan kutipan dari kitab ini dalam majelis-majelis Maulid, manaqiban, hingga pengajian kitab kuning. Dari sini lahirlah model narasi keilmuan yang berpadu dengan rasa cinta (mahabbah) kepada Nabi.
Pengaruh kitab ini juga dapat ditelusuri dalam karya-karya ulama Nusantara seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916). Bahkan dalam Sirāj al-Talibīn karya Syekh Nawawi al-Bantani, ditemukan kutipan metodologis yang selaras dengan pendekatan Dalā’il al-Nubuwwah. Dalam Nashā’ih al-‘Ibād pun, keagungan Nabi selalu dikaitkan dengan dalil-dalil rasional ala al-Bayhaqī.
Lebih menarik lagi, dalam manuskrip pesantren tua di Sumatera Selatan, seperti Kitab Dalā’il al-Mahabbah yang tersimpan di Pesantren al-Falahiyah, Tulung Bawang, terdapat banyak kutipan tak langsung yang bergema dari struktur naratif Dalā’il al-Nubuwwah. Artinya, kitab ini tidak hanya dibaca, tetapi juga menjadi ilham dalam penulisan dan pengajaran lokal.
Sumber kitab lain yang menguatkan pentingnya Dalā’il al-Nubuwwah dalam tradisi keilmuan Islam antara lain:
1. al-Shifāʾ bi Taʿrīf Ḥuqūq al-Muṣṭafā karya Qādī ‘Iyāḍ, yang juga mengagungkan Nabi melalui pendekatan argumentatif dan naratif.
2. al-Khaṣāʾiṣ al-Kubrā karya Imam al-Suyūṭī, yang sering merujuk pendapat al-Bayhaqī dalam menjelaskan keistimewaan Nabi.
3. al-Bidāyah wa al-Nihāyah karya Ibn Katsīr, yang menukil pandangan al-Bayhaqī dalam pembahasan tentang sirah dan mukjizat Nabi.
Di pesantren-pesantren kontemporer, mungkin Dalā’il al-Nubuwwah tidak lagi menjadi teks utama, tetapi semangat dan pendekatannya hidup dalam bentuk-bentuk lain: dari Maulid Simthud Durar, Barzanji, hingga pembacaan Qashidah Burdah yang mengandung elemen dalil kenabian dan rasa cinta kepada Rasul.
Kita menyaksikan bahwa pesantren adalah taman ilmu yang merawat memori kenabian dengan tekun. Tradisi keilmuan Islam di Nusantara bukan hanya belajar kitab secara tekstual, tetapi juga menanamkan afeksi terhadap Nabi Muhammad saw. Kitab Dalā’il al-Nubuwwah adalah pengikat dua dunia itu: ilmu dan cinta.
Saat dunia semakin digital dan kering makna, pesantren terus mengajarkan bahwa menjadi murid Nabi bukan hanya soal membaca kitab, tetapi juga menyerap cahaya kenabiannya dalam kehidupan. Inilah warisan besar Dalā’il al-Nubuwwah yang tak lekang dimakan zaman.
Daftar Bacaan
al-Bayhaqī, Dalā’il al-Nubuwwah, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Qādī ‘Iyāḍ, al-Shifāʾ bi Taʿrīf Ḥuqūq al-Muṣṭafā.
Imam al-Suyūṭī, al-Khaṣāʾiṣ al-Kubrā.
Ibn Katsīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah.
Nawawi al-Bantani, Nashā’ih al-‘Ibād.
H. Wahyu Iryana, Penulis Merupakan Sejarawan UIN Raden Intan Lampung
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Bulan Syawal, saatnya Mengenang Sejarah Perjuangan Umat Islam
2
Mulai 1 Mei 2025, Pemprov Lampung Lakukan Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor
3
Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam
4
Talkshow Indonesia Gelap, Fatikhatul Khoiriyah: Ruang Berekspresi Mahasiswa, Indikator Utama Sehatnya Demokrasi
5
Optimalisasi Zakat Digital, LAZISNU PWNU Lampung Gelar Bimtek Pengelolaan ZIS Berbasis Web
6
PMII Lampung Timur Gelar PKL Perdana, Siapkan Kader Pelopor Perubahan Sosial
Terkini
Lihat Semua