Pernik

Sikap Pemimpin yang Baik: Belajar dari Kasus Bupati Pati, Jawa Tengah

Selasa, 12 Agustus 2025 | 11:58 WIB

Sikap Pemimpin yang Baik: Belajar dari Kasus Bupati Pati, Jawa Tengah

Sikap Pemimpin yang Baik: Belajar dari Kasus Bupati Pati, Jawa Tengah (Ilustrasi: Istimewa)

Oleh: Kyai Ahmad Ishomuddin

 

Besok sudah tanggal 13 Agustus 2025, saatnya demo besar rakyat Pati "melawan" Bupati Pati, "pemimpin" yang kurang cakap berkomunikasi, bersikap semena-mena dan nekat "menantang rakyatnya" dan berambisi menaikkan pajak hingga 250%.

 

Meskipun sang Bupati sudah mengklarifikasi, sudah berulangkali minta maaf dan bahkan tidak jadi menaikkan pajak, tetapi rakyatnya sudah terlanjur tersulut amarah, kehendak rakyat sulit untuk dihalangi atau bahkan bakal sulit dikendalikan.

 

Namun, itu semua bisa menjadi pelajaran, khususnya bagi para pejabat pemerintahan, bahwa rakyat di mana saja tidak akan tinggal diam bila pejabatnya arogan/jumawa, tidak mampu memberikan keteladanan, gemar merugikan rakyat, suka ingkar janji dan tidak gigih berjuang untuk mensejahterakan rakyat atau justru menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan dirinya sendiri beserta kroni-kroninya.

 

Padahal, bila kita mau meneliti nilai-nilai kepemimpinan itu mungkin bisa didapati ada pada setiap suku di Indonesia, bukan saja pada suku Jawa. Namun budaya Jawa memiliki perhatian yang tinggi terhadap kepemimpinan. Suku Jawa atau lainnya dalam hal ini bisa saling mengambil pelajaran demi keharmonisan hidup bersama sebagai saudara sebangsa, bangsa yang satu, Indonesia.

 

Berikut ini beberapa peribahasa Jawa yang terkait dengan sikap pemimpin yang baik yang tentunya bernilai penting dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

 

1. Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah

Artinya bahwa rukun membuat hidup sentosa, sedangkan konflik mengakibatkan kerusakan/kehancuran. Peribahasa ini menggambarkan cita-cita dan arti penting meraih kehidupan yang rukun, aman dan damai. Sebaliknya konflik, perseteruan, saling bermusuhan menimbulkan banyak bahaya seperti perpecahan yang membawa kelemahan dan kehancuran hidup berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pemimpin berkewajiban memprioritaskan terwujudnya kehidupan yang rukun, berdamai dengan dirinya sendiri, dan rukun terhadap siapa saja.

 

2. Curiga manjing warangka, warangka manjing curiga 

Peribahasa ini menggambarkan sikap ideal pemimpin terhadap bawahannya (baca:rakyat), yakni gemar menyantuni rakyat. Sikap ideal ini ditandai dengan kesediaan pemimpin yang mau menerima aspirasi bawahan/rakyatnya dan melayani mereka sebaik-baiknya. Pemimpin yang memerhatikan nasib dan dekat dengan mereka biasanya sangat dicintai dan ditaati rakyat, sedangkan rakyatnya pun dengan sukarela turut serta membantu kesulitan-kesulitannya.

 

3. Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa 

Artinya seorang pemimpin itu tidak boleh jumawa dan merasa serba bisa, namun ia harus bisa merasakan. Merasa mampu melakukan sesuatu bukan berarti telah pasti bisa berbuat sesuatu hingga ia sukses membuktikannya. Jika ia telah berhasil dengan sukses berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk orang banyak yang dipimpinnya barulah ia boleh dan pantas menyatakan bahwa dirinya "bisa".

 

Saat ini banyak "calon" pemimpin yang sibuk mengumbar janji-janji karena merasa bisa, namun sungguh rakyat tidak butuh sekedar janji, melainkan bukti. Jangan sekali-kali bicara dengan banyak janji, karena nanti buktilah yang akan berbicara.

 

4. Aja waton ngomong, nanging ngomongo nanggo waton 

Maknanya, seorang pemimpin berkewajiban untuk menjaga setiap kata-katanya, jangan asal berbicara, tidak boleh asal bunyi "ngawur". Pembicaraan seorang pemimpin itu harus diiringi kehati-hatian, memiliki argumentasi, berdasarkan fakta-fakta dan landasan yang kokoh serta disampaikan dengan penuh rasa tanggung jawab.

 

Peribahasa ini biasanya ditujukan kepada orang yang suka menyampaikan berita penuh kebohongan, mudah menyalahkan orang lain atas dasar informasi yang masih samar, mudah berburuk sangka dan dengan entengnya melontarkan statemen yang merendahkan orang lain.