• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Menag, Pengeras Suara, dan Toleransi

Menag, Pengeras Suara, dan Toleransi
Rektor UIN Raden Intan Lampung, Prof Wan Jamaluddin
Rektor UIN Raden Intan Lampung, Prof Wan Jamaluddin

Maraknya pemberitaan miring yang beredar di masyarakat tentang pengaturan pemakaian pengeras suara di masjid oleh Menteri Agama perlu kiranya disikapi dengan bijak, pasalnya dasar dari semuanya adalah menjunjung tinggi sikap tenggang rasa, menjaga toleransi umat beragama terhadap seluruh anak bangsa.


Pengaturan pengeras suara sesungguhnya tidak hanya di negara Indonesia, namun negara-negara muslim lain seperti di Malaysia maupun di Arab Saudi sendiri pengaturan tentang pengeras suara di masjid termasuk ketika adzan itu diatur dengan tepat dan tertib. 


Maka dalam hal pemberitaan miring  yang menukil video Gus Menteri sapaan akrab H Yaqut Cholil Qoumas, yang diwawancara para awak wartawan, Menteri Agama sama sekali tidak membandingkan suara adzan dengan suara anjing, tetapi sedang mencontohkan tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara agar semangat toleransi beragama tetap terjaga.


Ketika melihat video wawancara Gus Menteri secara utuh saya sama sekali tidak menangkap pesan dan kesan bahwa Menag “membandingkan” antara suara adzan dengan suara anjing. Gus Menteri ialah santri dan dari keluarga pesantren. 


Inilah pentingnya mengedukasi masyarakat agar tidak terpengaruh berita-berita yang tidak jelas rimbanya. Sebetulnya tidak susah membedakan antara mencontohkan dan membandingkan, kenapa anjing yang dicontohkan? Itu yang paling mudah dan banyak ditemukan dan dikeluhkan di lingkungan perumahan.


Tetapi kalau dasarnya sudah tidak suka, butiran nasi juga yang dibayangkan belatung, namun kalau dasarnya cinta nalar positiflah pasti yang bekerja. Dengan kata lain dari rentetan kalimat yang digunakan Gus Menteri tidak terdapat kecenderungan dan maksud merendahkan, bahkan terlihat ingin menunjukkan kemuliaan Islam, dan dengan demikian juga sebagai pengayoman terhadap yang lain. 


Memang, upaya-upaya memunculkan kesadaran baru yang kerap dikedepankan Gus Menteri sering menyentakkan kita akan sesuatu yang menjadi kebiasaan, sehingga kita sering lupa mengevaluasinya. Sebagai pengayoman terhadap umat beragama di negeri besar ini, akan sangat indah bila kita menghargai upaya-upaya Gus Menteri dalam memajukan negeri ini dari sudut kehidupan beragama.


Hal tersebut menjadi sesuatu yang kita hargai dan apresiasi karena seringkali kita mengurus kemajuan agama ini tidak selalu total karena faktor-faktor kehidupan domestik kita. Tapi Gus Menteri, telah mendedikasikan segala kemampuan beliau untuk memajukan Indonesia dari sudut keberagamaan sesuai amanat yang diembannya.


Semoga Allah terus menjaga Indonesia dan memurahkan rezeki penduduknya. Salah satu fokus perhatian Menteri Agama RI (Gus Menteri) adalah menjaga kemuliaan umat dalam posisinya yang mayoritas di negeri ini. 


Disinilah pentingnya menjaga kemuliaan umat tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari dedikasi dan perjuangan keumatan yang beliau tekuni sejak aktif sebagai agamawan dan cendekiawan Muslim. Salah satu cobaan bagi kemuliaan umat yang mayoritas ini adalah, apakah mereka dapat menegakkan sikap adil dan mengayomi bagi semua umat di negeri yang pluralis bernama Indonesia.


Wilayah yang sering menjadi ujian adalah bagaimana umat bersifat elegan, mulia, dan mengayomi dalam pelaksanaan ibadah. Sebab sejatinya ibadah adalah memuliakan Tuhan, dan memuliakan Tuhan memiliki konsekuensi memuliakan ciptaan-Nya, terutama manusia, apa pun bentuk agama dan kepercayaannya. Sebagaimana ayat Al-Quran di bawah ini sebagai penguat:


 

وَٱقْصِدْ فِى مَشْيِكَ وَٱغْضُضْ مِن صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلْأَصْوَٰتِ لَصَوْتُ ٱلْحَمِيرِ 

 

Artinya, “Dan biasalah dalam berjalanmu (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dan kurangilah volume suaramu (tidak memaksakan diri untuk terlalu keras, namun sesuai kebutuhannya). Sungguh suara yang paling diingkari (paling jelek) adalah suara keledai (yang terlalu keras),” [QS. Luqman (31): 19].


Saat menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi menafsirkan bahwa:


 

 لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ يُؤْذ  


Artinya, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.”


Masih dalam Tafsir al-Qurthubi, dikisahkan, Khalifah Umar bin Khattab ra, pernah menegur Muazin kala itu, yaitu Abu Mahdzurah Samurah bin Mi'yar ra, yang adzan dengan memaksakan suara sekeras-kerasnya. (Lihat Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, (Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1384 H/1964 M], juz XIV, halaman 71).


Maka dalam hal ini menurut hemat saya yang menjadi nilai penting semangat berbangsa, sesungguhnya sesama anak bangsa agar lebih mengedepankan narasi-narasi positif dalam pemberitaan aturan pengeras suara, menjaga hidup rukun damai, menjunjung tinggi kebhinekaan yang sudah sejak dulu kala diamanahkan oleh para pendiri bangsa. Wallahu a’lam 


Prof Wan Jamaluddin, Rektor Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
 


Opini Terbaru