Pernik

Pondok Pesantren Al Hikmah Lampung: Tempat Ngaji, Ngopi, dan Mengasah Mimpi

Senin, 10 Maret 2025 | 09:46 WIB

Pondok Pesantren Al Hikmah Lampung: Tempat Ngaji, Ngopi, dan Mengasah Mimpi

pondok pesantren Al Hikmah Kedaon Bandar Lampung, Cahaya dari ujung pulau Sumatera (Foto: Istimewa)

Di tengah hiruk-pikuk modernitas yang kian menyesakkan, Pondok Pesantren Al Hikmah Lampung berdiri tenang di tengah Kota Bandar Lampung, seperti seorang kiai sepuh yang memandang dunia dengan mata teduh. Pesantren yang kini diasuh oleh KH Basyaruddin Maisir ini tetap menjadi tempat di mana kitab kuning dibaca dengan khidmat, santri menghafal Jurumiyyahnadzam Imrithi dan Alfiah di serambi masjid, dan di bangku-bangku sekolah.

 

Al Hikmah bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga ruang kehidupan. Di sini, kopi hitam minuman favorit menemani diskusi, bahtsul kutub dan kitab kuning lebih dihormati sebagai referensi daripada internet. Jangan salah, para santri tetap melek dunia. Hanya saja, mereka lebih percaya bahwa solusi hidup tidak selalu ada di Google, tetapi di dalam kitab, baik itu Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, atau setidaknya Yasin dan Tahlil, ditambah Dzikir Hadiyyu yang rutin.

 

Santri dan Kopi: Dua Kawan Sejati

Di majelis yang tersedia kopi, perdebatan besar sering terjadi. Bukan hanya soal agama, tetapi bisa merambah ekonomi, politik global, dongeng-dongeng, ghozoban sendal. Selain itu, diselingi dengan dialektika perbedaan antara kopi robusta dan kopi arabika, antara kopi dicampur gula dan kopi pahit, antara kopi gajah, hadiah wali santri dan point coffe. Perbedaan ini hampir seperti perdebatan qunut dan tidak qunut—sama-sama serius, tapi tetap selesai dengan tawa.

 

“Robusta itu santri, kuat begadang,” kata seorang santri sambil menyeruput kopinya.

 

“Arabika itu kiai, punya cita rasa tinggi,” balas temannya.

 

Diskusi ini bisa berlangsung lama, hampir sebanding dengan lamanya sorogan kitab-kitab madrasah diniyyah. Tapi inilah cara santri belajar: serius tapi santai, mendalam tapi tetap bisa bercanda.

 

Halaqah dan WiFi: Keseimbangan Baru

Santri di Al Hikmah adalah makhluk multitasking. Mereka bisa ngaji Ihya Ulumiddin di pagi hari, bisa sambil sekolah umum sampai siang hari, malamnya sekolah diniyyah dan setoran Al-Qur'an, lalu sisanya diisi diskusi kitab kuning, diskusi ala maiyyah dan ada juga yang mengetik ilmu dan progam-progam organisasi di komputer kantor pondok atau laptop pinjaman. Jangan salah, mereka juga melek teknologi. 



Di sela-sela hafalan nadzam dan halaqah, mereka tetap update berita, mencari beasiswa, kemudian diprint dan ditempel di majalah dinding (mading), bahkan ada yang membantu mengelola media sosial pondok. Keseimbangan ini yang menjadikan mereka santri zaman now yang tetap berpegang teguh pada tradisi.

 

Pesantren dan Zaman yang Berubah

Dahulu, lulusan santri banyak yang menjadi dua  kategori; jadi penceramah atau guru madrasah. Sekarang, opsinya lebih banyak—ada yang jadi dosen, jurnalis, pengusaha, bahkan influencer islami.

 

Al Hikmah juga beradaptasi. Kurikulum pesantren tetap kuat dengan kitab-kitab klasik, tapi santri juga diajarkan menulis artikel, public speaking, dan kewirausahaan. Seorang santri yang dulu hanya paham ba’da dzuhur jangan tidur, kini paham cara menulis proposal bisnis dan membangun usaha-usaha.

 

Namun, yang tidak berubah adalah akhlak. Mereka tetap mencium tangan kiai dengan takzim, tetap hormat kepada orang tua, dan tetap mengirim Fatihah untuk guru-guru mereka, termasuk Almaghfurlah Abah KH Muhammad Sobari, yang telah meletakkan dasar kuat bagi pesantren ini.

 

Menjaga Tradisi, Menatap Masa Depan

Di era digital ini, banyak yang skeptis terhadap pesantren. Ada yang bilang pesantren terlalu tradisional, ada pula yang menganggapnya ketinggalan zaman. Tapi Al Hikmah membuktikan bahwa pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan juga laboratorium kehidupan.

 

Dari pesantren ini, lahir generasi yang tidak hanya bisa membaca kitab kuning, tapi juga memahami dunia. Mereka tetap santri—dengan sarung, kopi, dan kitabnya—tapi juga siap menghadapi masa depan dengan percaya diri.

 

Di bawah langit Lampung yang teduh, mereka tetap melantunkan doa-doa, berharap ilmu yang mereka pelajari bukan sekadar teori, tapi menjadi cahaya bagi kehidupan.

 

Penulis mencoba membuat Syair Tentang di Bawah Langit Pondok Al Hikmah



Di bawah langit pondok yang biru
santri-santri menulis doa di udara
huruf-huruf arab melayang pelan
jatuh di halaman kitab yang terbuka.

 

Di serambi, Kiai Basyaruddin tersenyum
melihat muridnya menghafal nadzam
dengan suara yang hampir seperti angin
mengalun pelan, tapi tak pernah hilang.

 

Di sudut Makbaroh pesantren Al Hikmah, sejuk doa mengalir
nama KH. Muhammad Sobari dikenang
seperti jejak kaki di tanah basah
tak hilang meski zaman berganti.

 

Malam di pesantren tak pernah sepi
ada tasbih yang berdetak di dada
ada lembaran kitab yang berbisik
tentang dunia yang tak hanya fana.

 

Di bawah langit pondok yang biru
santri-santri tetap setia
menjaga doa, menjaga ilmu
menjaga negeri dengan cinta.

 

Wahyu Iryana, Santri Babakan Ciwaringin Cirebon