Wahyu Iryana
Penulis
Di tengah konflik bersenjata terbaru antara Iran dan Israel pada Juni 2025, dunia kembali diguncang kecemasan atas potensi meluasnya perang regional di Timur Tengah. Saling serang udara antara Pasdaran Iran dan militer Israel, seruan balas dendam, hingga intervensi terselubung Amerika Serikat menjadi catatan suram bagi harapan perdamaian global. Namun lebih dari sekadar letupan geopolitik, perang ini menyimpan percikan ideologi yang menyebar melintasi batas geografis, hingga ke tanah air: Indonesia.
Penting bagi kita menyadari bahwa konflik Iran–Israel bukanlah sekadar urusan dua negara atau tiga aktor, tetapi mencerminkan konfrontasi lama antara dua poros kekuatan dalam Islam: Sunni dan Syiah. Meskipun politik dan ekonomi jadi panggung utama, agama sering menjadi tameng, justifikasi, dan bahan bakar. Di titik inilah buku saya, Gerakan Syiah di Nusantara, menjadi penting untuk memahami bahwa Syiah bukan hanya isu luar negeri, melainkan juga bagian dari sejarah, keragaman, dan sekaligus tantangan internal bangsa ini.
Jejak Syiah di Nusantara: sejarah bukan isu impor
Sejarah mencatat bahwa Syiah bukanlah “barang baru” atau “paham impor” yang belakangan mencemari kemurnian Islam Indonesia. Sejak awal abad ke-13, pengaruh Syiah telah menjejak di pelabuhan-pelabuhan besar seperti Pasai, Barus, Aceh, hingga Gresik. Bukti-bukti arkeologis dan epigrafis menunjukkan keberadaan tradisi-tradisi keagamaan bercorak Syiah dalam ritual, seni sastra, hingga struktur sosial kerajaan Islam awal. Bahkan, sebagian makam ulama tua menunjukkan simbol-simbol khas Syiah seperti panji Ahlulbait, angka dua belas, dan syair ratapan atas tragedi Karbala.
Namun demikian, sejak masuknya Islam ortodoks dari Yaman dan Gujarat, dan apalagi setelah ekspansi Turki Utsmani pada abad ke-16, pengaruh Syiah berangsur tersingkir ke pinggiran, ditenggelamkan dalam wacana besar Sunni yang dominan. Gerakan Wahabi di abad ke-18 turut menyumbang delegitimasi terhadap eksistensi Syiah di wilayah-wilayah seperti Mandar, Tidore, atau bahkan Cirebon. Narasi sejarah kemudian dibersihkan dari unsur-unsur Syiah.
Namun sejarah tak pernah benar-benar mati. Gerakan Syiah kembali merekah, terutama pasca Revolusi Iran 1979, ketika Ayatollah Khomeini membuktikan bahwa agama dan negara bisa berpadu dalam satu kekuasaan teokratis. Semangat revolusioner ini menginspirasi segelintir intelektual Muslim Indonesia untuk menggali kembali warisan Syiah. Di sinilah benih-benih gerakan Syiah kontemporer di Nusantara tumbuh.
Syiah dan Iran: simbolisme global yang menjalar ke lokal
Syiah di Indonesia bukanlah representasi langsung Iran. Namun, dalam konteks geopolitik global, Iran telah menjadi episentrum simbolis gerakan Syiah modern. Negara ini bukan sekadar menjadi kiblat spiritual, tetapi juga pusat produksi wacana, beasiswa, buku, dan pengaruh kultural. Lewat diplomasi budaya dan dakwah, pengaruh Iran menjalar ke beberapa organisasi, yayasan, hingga jejaring pendidikan keislaman di Indonesia. Ada yang bersifat ilmiah dan moderat, ada pula yang bersifat ideologis dan militan.
Dalam buku saya, saya menyoroti bagaimana strategi “kebudayaan Syiah” diekspor melalui penerjemahan buku-buku tokoh Iran, pembentukan jaringan alumni universitas di Qom, hingga pembentukan majelis taklim yang mengadopsi ritus-ritus khas seperti Asyura dan Maulid Ahlulbait. Pengaruh ini tidak selalu negatif. Di beberapa titik, ia justru memperkaya diskursus Islam Indonesia. Namun di sisi lain, ia juga memicu kecurigaan dan ketegangan sektarian.
Perang Iran–Israel saat ini memperbesar lensa publik terhadap gerakan Syiah. Jika sebelumnya hanya dilihat sebagai komunitas kecil yang eksklusif, maka kini ia dibaca dalam kacamata internasional: apakah ini kelanjutan dari proyek politik luar negeri Iran? Apakah mereka memiliki agenda negara?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, meski tidak semuanya berdasar, menciptakan polarisasi di tengah masyarakat. Apalagi di media sosial, narasi-narasi anti-Syiah, bahkan disertai ujaran kebencian, dengan cepat menyebar. Yang menyedihkan, banyak dari narasi tersebut tidak lahir dari pemahaman, melainkan ketakutan dan sentimen.
Moderasi dan tantangan merawat keberagaman mazhab
Dalam kondisi seperti ini, moderasi beragama menjadi satu-satunya jalan. Kita tidak sedang bicara tentang membela atau menyerang Syiah, tetapi tentang merawat kesatuan bangsa yang majemuk. Indonesia bukan negara mazhab. Kita bukan Iran. Bukan pula Arab Saudi. Negara ini dibangun dengan semangat “Islam Nusantara” yang berakar pada toleransi, akulturasi, dan penghormatan terhadap perbedaan tafsir.
Konflik Iran–Israel tidak boleh menjadi alasan untuk menstigma sesama anak bangsa. Sebab banyak penganut Syiah di Indonesia yang tetap cinta tanah air, berperan dalam pendidikan dan sosial, dan menolak ekstremisme. Di sisi lain, tentu kita harus waspada terhadap infiltrasi ideologi transnasional dari manapun yang membawa agenda politik kekerasan, baik itu dari kubu Syiah militan maupun ekstremis Sunni.
Maka negara harus hadir dengan pendekatan yang adil. Jangan biarkan isu ini hanya jadi urusan ormas, buzzer, atau ceramah viral. Negara harus memetakan, membina, dan berdialog secara proporsional dengan seluruh unsur keagamaan, termasuk komunitas Syiah. Bukan untuk mengakomodasi ideologi luar, tetapi untuk memastikan tidak ada warga negara yang teralienasi karena keyakinannya.
Ketegangan Timur Tengah, kemungkinan ekstremisme lokal
Perang Iran–Israel tidak hanya perang senjata, tetapi juga perang pengaruh dan narasi. Dampaknya bisa merambat hingga ke forum masjid, diskusi daring, hingga obrolan warung kopi. Jika tidak diantisipasi, perang ini bisa menyulut ekstremisme baru: baik dari kelompok yang merasa “berjihad membela Iran dan Ahlulbait”, maupun dari kelompok yang merasa harus “membersihkan negeri dari Syiah”.
Kita harus belajar dari Suriah, Irak, dan Yaman. Di sana, perang sektarian dimulai dari wacana, berlanjut ke demonisasi, hingga akhirnya berujung pada pembantaian. Jangan biarkan Indonesia mengalami hal serupa. Kita punya Pancasila, punya tradisi musyawarah, dan punya sejarah Islam yang ramah.
Sebagai penulis Gerakan Syiah di Nusantara, saya percaya bahwa memahami sejarah adalah vaksin bagi fanatisme. Ketika kita tahu bahwa Syiah pernah hidup berdampingan, bahkan berperan dalam sejarah Islam Indonesia, maka kita tak akan mudah terprovokasi oleh narasi yang menyederhanakan konflik Timur Tengah ke dalam logika hitam-putih.
Negara-negara Islam harus bersatu
Ketika konflik sektarian dan geopolitik seperti perang Iran–Israel terus bergulir, pertanyaan besar pun muncul: sampai kapan dunia Islam akan terpecah karena mazhab? Sampai kapan umat Islam membiarkan persatuan mereka digerogoti oleh konflik yang justru menguntungkan kekuatan luar?
Sudah saatnya negara-negara Islam menanggalkan ego mazhab dan membangun solidaritas atas dasar ukhuwah Islamiyah. Dunia Islam yang terbagi dalam kutub Syiah dan Sunni selama berabad-abad seharusnya mampu menemukan titik temu dalam hal yang lebih besar: keadilan, kemanusiaan, dan pembelaan terhadap rakyat tertindas.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Liga Muslim Dunia, dan MUI bersama lembaga-lembaga ulama internasional, harus mengambil peran strategis dalam membangun jembatan dialog yang nyata. Bukan hanya pertemuan seremonial, tetapi agenda konkret untuk melindungi umat dari konflik internal yang dimanfaatkan pihak asing.
Persatuan negara-negara Islam bukan berarti penyeragaman. Justru dari keragaman mazhab, budaya, dan pengalaman sejarah, dunia Islam bisa menghadirkan solusi damai global. Jika Islam adalah rahmat bagi semesta, maka persatuan negara Islam adalah prasyarat utamanya.
Masa depan: mengedepankan dialog dan literasi
Pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan lembaga pendidikan, perlu memperkuat literasi keagamaan yang adil dan inklusif. Modul-modul tentang mazhab Islam harus diajarkan secara historis dan objektif. Buku-buku seperti Gerakan Syiah di Nusantara perlu dibaca sebagai upaya memahami, bukan menghakimi.
Kita juga butuh ruang dialog antarmazhab yang sejati, bukan debat kusir penuh stigma. Forum-forum akademik, ulama, dan pemuda lintas kelompok harus diperkuat. Sebab jika generasi muda hanya dibesarkan oleh potongan video TikTok penuh provokasi, maka masa depan kita akan dipenuhi kebencian dan kekerasan.
Indonesia bukan medan perang Timur Tengah
Indonesia bukan Iran, bukan pula Israel. Kita tidak terlibat langsung dalam perang tersebut. Tapi sebagai bangsa besar yang mayoritas Muslim, kita punya peran moral: menunjukkan bahwa Islam bisa hidup damai, meski berbeda mazhab. Kita bisa menjadi contoh bagaimana perbedaan pandangan tidak perlu berakhir pada perpecahan.
Konflik Iran-Israel, bisa menjadi pelajaran pahit, atau bisa pula menjadi momen refleksi. Mari kita pilih yang kedua. Dengan sejarah, moderasi, dan dialog, kita bisa memastikan bahwa tanah air ini tetap damai, tanpa kecuali.
H. Wahyu Iryana, Penulis buku “Gerakan Syiah di Nusantara"
Terpopuler
1
KH Saifuddin Zuhri dan KH Muhtar Ghozali Terpilih Jadi Rais dan Mudir JATMAN Lampung pada Muswil 2025
2
Bacaan Doa Akhir dan Awal Tahun dari KH Soleh Darat
3
Ketua PWNU Lampung: Santri Harus Siap Menanggung Pahitnya Belajar Demi Terangnya Masa Depan
4
GP Ansor Way Kanan Gelar PKD, Tingkatkan Kapasitas dan Kualitas Kader
5
Sosialisasi PIP dan Wawasan Kebangsaan, Fauzi Heri Ajak Masyarakat Amalkan Nilai Pancasila
6
Ketua PWNU Lampung: Thariqah Jadi Penyejuk dan Penuntun Umat dalam Menjawab Keresahan Zaman
Terkini
Lihat Semua