• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Tokoh

Strategi Perang Gerilya Pangeran Sambernyowo

Strategi Perang Gerilya Pangeran Sambernyowo
lukisan wajah Pengeran sambernyawa. (doc artikula.id)
lukisan wajah Pengeran sambernyawa. (doc artikula.id)

Kejayaan kerajaan nusantara dari mulai kerajaan Hindu-Budha hingga kerajaan Islam banyak mengisahkan cerita yang tersembunyi, baik kisah cinta, perebutan kekuasaan, maupun kisah perjuangan mempertahankan setiap jengkal tanah pertiwi. Salah satunya kisah Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said yang sangat menginspirasi dalam berjuang melawan penjajah.

 

Raden Mas Said lahir di Kartasura pada tanggal 7 April 1725 dari pasangan Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara dan Raden Ayu Wulan. Yang kelak akan memimpin perlawanan terhadap VOC dengan pasukan setianya yang berjumlah 40 Orang.

 

Nama Pangeran Sambernyawa sendiri merupakan julukan yang diberikan oleh Nicolaas Hartingh (Pihak Belanda) kepada Raden Mas Said putra Pangeran Arya Mangkunegara atas kehebatannya dalam mengalahkan pasuhan musuh. Ayahnya merupakan putra sulung Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726. Yang akhir hayatnya banyak menentang VOC dan harus terbuang ke Srilangka hingga wafat. Sehingga tahta Mataram selanjutnya jatuh kepada Pangeran Prabasuyasa atau Pakubuwana (PB) II. 

 

Saat Arya Mangkunegara dibuang ke Srilanka oleh VOC, Said baru berusia dua tahun. Atas dasar inilah, kelak Said mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, melanjutkan cita-cita ayahnya. Hingga akhirnya ia diberi tanah dan mendirikan keraton baru di Surakarta, dengan menyandang gelar Mangkunegara I, seperti nama ayahnya. 

 

Singkat cerita, Raden Mas Said kemudian meninggalkan keraton, hidup bersama rakyat. Beberapa tokoh pahlawan nasional memang memiliki semboyan yang mampu menyemangati dan menggetarkan jiwa pasukan atau rakyat yang dipimpinnya. Begitupun dengan Pangeran Sambernyawa, juga menyemangati pasukannya dengan semboyan Tiji Tibeh. Tiji Tibeh merupakan akronim dari mati siji mati kabeh-mukti siji mukti kabeh, artinya mati satu mati semua makmur satu makmur semua. 

 

Pangeran Jawa satu ini memang tidak mengenal takut. Sejak usia muda, ia sudah akrab dengan konflik. Pada satu titik dalam hidupnya ketika dewasa, ia harus melawan tiga musuh sekaligus: VOC (Belanda), Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Sepak-terjangnya susah dihentikan dan justru mengakibatkan banyak korban dari pihak lawan. 

 

Perjuangan Raden Mas Said dilakukan selama 16 tahun (1749-1757). Dari tahun 1741-1742, RM Said memimpin pasukan Tionghoa melawan VOC. Campur tangannya VOC (Belanda) pada pemerintahan Sultan Mataram dan keadaan huru hara di Pusat kota mengharuskan rakyat yang berada di wilayah Rembang, Brebes, Tegal, Lamongan, dan orang orang Cina di Batavia bersiap menghimpun kekuatan dibawah pimpinann Sunan Kuning, sisi lain sebagaian rakyat harus migrasi ke wilayah Cirebon dan Indramayu untuk mendapat perlindungan dari Sultan Cirebon. 

 

Kemudian pada kurun waktu 1743-1752 Raden Mas Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi melawan Mataram dan Belanda. Melalui Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian itu sangat ditentang oleh RM Said karena telah memecah belah rakyat Mataram. Selanjutnya, tahun 1752-1757 RM Said bersama pasukannya berjuang melawan Pakubuwana III (Surakarta) dan Hamengkubuwana I (Yogyakarta) serta pasukan kompeni.

 

Kehebatan strategi perang Raden Mas Said bukan hanya dipuji pengikutnya tetapi juga disegani lawan. Pujian datang dari Gubernur Jawa, Baron van Hohendorff. Selain itu, pemimpin VOC di Semarang, Nicolaas Hartingh juga memuji strategi perang RM Said. Ia menjuluki RM Said Pangeran Sambernyawa. Itu karena di mata musuh-musuhnya, RM Said adalah penyebar kematian. Sambernyawa sendiri adalah nama pedang pusaka Mangkunegaran yang sakti dan tajam.

 

Pada saat itu tidak ada yang berhasil menyentuh bahkan menangkap Raden Mas Said. Melihat kenyataan itu, Nicholas Hartingh mendesak Sunan Pakubuwana III untuk meminta Raden Mas Said ke meja perundingan. Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III yang dikenal dengan Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757.


Bagaimana Strategi Perang Gerilya Pangeran Sambernyowo?

 

Jauh sebelum perang gerilya dijalankan TNI melawan penjajajah, Pangeran Sambernyawa telah menjalankan strategi perang gerilya yang kemudian hari diikuti oleh para pejuang di Nusantara, seperti Jendral Soedirman. 

 

Ilmu perang Pangeran Sambernyawa itu adalah dhedemitan, weweludhan, dan jejemblungan. Dhedhemitan berasal dari akar kata dhemit yakni mahluk halus yang susah diraba, weweludan berasal dari akar kata welud artinya belut yang sangat licin untuk ditangkap sedangkan jejemblungan berasal dari kata jemblung artinya orang gila tidak punya rasa takut. Jadi, tidak menampakkan diri saat musuh terlihat kuat, menyerang ketika musuh lengah dan cepat dalam menyembunyikan diri. Strategi perang ini terbukti ampuh membuat pasukan VOC kocar-kacir.

 

Berkat strategi itu, Pangeran Sambernyawa selalu lolos dari kepungan pasukan VOC. Selain strategi perang yang brilian, Pangeran Sambernyawa juga menggunakan semboyan Tiji Tibeh untuk menyatukan dan membakar semangat pasukannya yang bergerilya dalam melawan dan mengusir kompeni. Intinya, Tiji Tibeh dapat dimaknai sebagai konsep kebersamaan antara seorang pemimpin dengan rakyat yang dipimpin maupun sesama rakyat. Sebuah konsep yang patut ditiru oleh pemimpin saat ini. Ilmu perang gerilya yang diterapkan Pangeran Sambernyawa dilanjutkan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman sewaktu beliau bergerilya saat melawan penjajah, hingga akhirnya Indonesia memperoleh kemerdekaan. 

 

Dalam Babad KKGPAA Mangkoenegoro 1 (Pangeran Sambernjowo) terbitan Yayasan Mangadeg Surakarta dan Yayasan Centhini Yogyakarta diceritakan, perang ini terjadi pada tahun 1756 saat RM Said berusia 30 tahun. Pasukan VOC pernah mengalami kekalahan besar dalam peperangan dahsyat di hutan Seto Kepyak, Rembang. Perang ini adalah perang melawan 2 detasemen VOC pimpinan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beimen di sebelah selatan Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak. Perang terjadi pada hari Senin Pahing 17 Sura tahun Wawu 1681 J/ 1756 M yang ditandai dengan sengkalan Rupa (1) Brahmana (8) Anggoyak (6) Wani (1).

 

Dalam “Babad Lelampahan” (BL), Durma 43, halaman 319, bahwa yang mengejar pasukan RM. Said adalah pasukan kumpeni beserta patih Mataram Danureja, Raden Ronggo, tentara mancanegara, pasukan kasultanan, prajurit Jawa Bugis dan Bali. Gabungan pasukan ini yang mengejar pasukan RM. Said sampai di hutan Seto Kepyak Rembang.

 

Raden Mas Said harus bertahan sekuat tenaga dari kejaran musuh-musuhnya, dan akhirnya perang pun tak terelakkan. Tentara yang mengepung RM. Said sekitar 1.000 pasukan gabungan, 200 orang tentara kompeni, 400 orang pasukan Bugis, sedangkan pasukan Jawa (Kasultanan) tak terhitung jumlahnya. Hal tersebut seperti dinyatakan dalam bait, "Kalihatus walandinipun kewala, dene wong bugis, kawanatus sedaya, wong Jawa datan winilis, wadya Mataram tinindhihan ngajurit."(BL, Durma 49;319).

 

Pada hari pertama peperangan yang terjadi sampai tujuh kali, pasukan RM. Said dibuat kocar kacir, diibaratkan seperti disapu air bah yang maha dahsyat, semangat pasukan perangnya telah hilang, hanya Raden Mas Said sendiri yang masih tegar. 

 

Pada hari berikutnya Raden Mas Said mampu membangkitkan semangat pasukannya. Ada sebuah kisah tentang perang ini. di sebuah gubuk di perkampungan kecil di daerah Rembang, Pangeran Sambernyawa singgah untuk istirahat. Kedekatannya dengan rakyat, membuat RM. Said tak segan makan bubur jenang katul yang dihidangkan Mbok Rondo, penghuni gubuk. Sementara, ratusan tentara kompeni mulai menyebar dan mengepung setiap sudut kampung.

 

Saat jenang katul masih panas, Pangeran Sambernyawa menyendoknya tepat di bagian tengah lalu memakannya. Tentu terasa sangat panas."Pangeran kalau makan jenang katul itu jangan langsung di tengah, tapi dari pinggir dulu terus muter, jadi pas sampai tengah, kan, sudah dingin," kata Mbok Rondo. Pangeran Sambernyawa tertegun, merenungi perkataan Mbok Rondo. 

 

Di luar pondok, tentara kompeni semakin banyak mengepung kampung itu. Pangeran lantas bergegas meninggalkan gubuk. Pangeran Sambernyawa bergerak keluar dari kampung itu. Tentara kompeni dibabatnya dengan arah menyisir melingkar dari tepi, seperti yang dianjurkan Mbok Rondo saat melahap bubur jenang katul.

 

Pangeran Sambernyowo mampu membunuh komandan pasukan perang Belanda yaitu Kapten Van der Pol dengan pedangnya. Kepala sang Kapten dipenggal dan dengan tangan kirinya diserahkan kepada Garwa Ampil tercinta sebagai pelunasan janjinya. 

 

Dalam perang itu, Pangeran Sambernyowo mampu menewaskan 600 orang musuh. Sementara korban di pihaknya hanya 3 orang. Hasil rampasan berupa sejumlah besar mesiu, 120 ekor kuda, 140 pedang, 160 karabin, 130 pistol dan perlengkapan militer lain dihibahkan kepada prajuritnya. Inilah kehebatan Raden Mas Said yang tercatat dalam sejarah perjuangan melawan penjajah.

 

Kemudian Raden Mas Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi (saudara kandung PB II) melawan PB II yang dibantu Belanda. Mangkubumi yang merasa berhak atas takhta Mataram sempat pergi ke Semarang untuk meminta kepada Belanda agar dirinya diangkat sebagai raja, namun ditolak. Penolakan tersebut membuat Mangkubumi kesal dan berniat meruntuhkan takhta Pakubuwana II. Kebetulan, Raden Mas Said juga punya tujuan yang sama, melawan Pakubuwana II dan VOC. 

 

Raden Said dan Mangkubumi kemudian menyingkir ke sebelah barat Surakarta, di kawasan pedalaman yang kini dikenal dengan nama Yogyakarta. Di tempat baru itu, mereka mengobarkan perlawanan terhadap Pakubuwana II dan VOC dengan cara gerilya. Untuk mempererat hubungan, Said dinikahkan dengan putri Mangkubumi, Raden Ayu Inten. Pasukan gabungan Said dan Mangkubumi benar-benar membuat Surakarta kewalahan. Hingga akhirnya, Pakubuwana II wafat pada 20 Desember 1749 karena sakit parah. Sebelum mangkat, Pakubuwana II dipaksa menyerahkan takhta Surakarta kepada VOC (Moertjipto & ‎Tirun Marwito, Upacara Tradisional Jumenengan, 1989: 12). 

 

Kabar Pakubuwana II sakit keras dimanfaatkan betul oleh Pangeran Mangkubumi. Pada 12 Desember 1749, hanya beberapa hari sebelum Pakubuwana II wafat, Mangkubumi mengklaim dirinya sebagai raja Mataram di Yogyakarta dengan gelar Pakubuwana III. Penobatan ini didukung penuh oleh Said, yang lantas diangkat sebagai panglima perang sekaligus mahapatih oleh Mangkubumi. Tapi, pemerintahan di Yogyakarta tidak diakui VOC. Mereka menunjuk putra Pakubuwana II, Raden Mas Suryadi, sebagai penerus takhta Mataram di Surakarta dengan gelar Pakubuwana III. 

 

PB III adalah penguasa Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda. Dengan demikian, ada dua Pakubuwana III pada saat itu, yakni Mangkubumi di Yogyakarta dan Raden Mas Suryadi di Surakarta. Mangkubumi nantinya mengubah gelarnya menjadi Hamengkubuwana (HB) I. 

 

Hamengkubuwono I dan Said terus melakukan perlawanan terhadap VOC dan Pakubuwono III selama beberapa tahun. Ribuan prajurit Belanda tewas akibat ulah pasukan dari Yogyakarta ini. VOC pun kemudian mencari cara agar kekuatan Mangkubumi dan Raden Mas Said bisa dipatahkan, dengan jalan devide et impera atau politik pecah-belah. VOC menyusupkan seorang kerabat keraton bernama Tumenggung Sujanapura ke kubu lawan. Sujanapura berkata kepada Raden Mas Said bahwa sebenarnya Mangkubumi tidak suka kepadanya dan khawatir dikhianati, Raden Said bimbang dan akhirnya memisahkan diri dari pasukan Mangkubumi (Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta, 2009: 93). 


Raden Mas Said merasa keputusannya tepat, terlebih ketika Mangkubumi menyepakati perundingan dengan VOC yang melahirkan Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Isinya adalah Mangkubumi memperoleh separuh wilayah kekuasaan Pakubuwono III dan diakui sebagai penguasa Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwana I. Sejak saat inilah, Kasultanan Yogyakarta resmi berdiri. 

 

Raden Said kemudian berjuang sendirian, dikeroyok tiga kekuatan besar: VOC, Pakubuwono III di Surakarta, serta mantan sekutu, paman, sekaligus mertuanya sendiri, Hamengkubuwono I di Yogyakarta. Said memang sangat menentang Perjanjian Giyanti yang dianggapnya telah memecah-belah kepemimpinan di Jawa. Namun, Raden Mas Said pantang menyerah dan terus-menerus melakukan perlawanan. Sepak-terjangnya yang mengerikan ini membuat Nicolaas Hartingh, Gubernur VOC wilayah pesisir utara Jawa, menjulukinya sebagai Pangeran Sambernyawa. 

 

Akhir Aksi Pangeran Sambernyawa Setidaknya ada beberapa pertempuran besar yang dilakoni Said dan pasukannya dalam periode itu. 

 

Pertama, di Desa Kasatriyan dekat Ponorogo pada 1752 menghadapi pasukan gabungan VOC, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Babad Lelampahan, seperti dikutip dari Sambernyawa Menggugat Indonesia (2011:12) yang disusun Soerjo Soedibjo Mangkoehadiningrat, menyebut, dari pihak Said hanya kehilangan nyawa 3 orang, sedangkan 29 orang lainnya luka-luka. Dari kubu musuh, sebanyak 600 orang tewas. 

 

Kedua, pasukan Said berhasil mengalahkan tentara VOC pimpinan Kapten van der Pol di hutan Sitakepyak, selatan Rembang, pada 1756. Ribuan prajurit bantuan yang dikirimkan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta juga dapat dipukul mundur. Kapten Pol bahkan tewas, kepalanya ditebas oleh Said. Pertempuran besar ketiga terjadi setahun kemudian. Said memimpin pasukannya menyerbu Benteng Vredeburg di Yogyakarta dan mengakibatkan kerugian besar bagi VOC dan Sultan Hamengkubuwono I. Akibat serangan itu, Hamengkubuwono I menjanjikan hadiah uang sebesar 500 real dan jabatan bupati kepada siapa saja yang berhasil menangkap Said. Dan VOC bahkan siap memberikan uang sebesar 1.000 real asal Said dapat dibunuh. 

 

Lantaran tidak ada seorang pun yang mampu menunaikan sayembara tersebut, VOC mendesak kepada Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I untuk membujuk Said melakukan perundingan. Said ternyata bersedia. Maka digelarlah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 (Denys Lombard, Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, 1996: 46).

 

Pakubuwono III memperlakukan Said dengan sangat baik dalam pertemuan itu, begitu pula utusan Hamengkubuwono I maupun VOC. Hasil Perjanjian Salatiga inilah yang mengakhiri pertikaian antar trah Mataram di tanah Jawa. Said mendapatkan konsesi berupa wilayah khusus yang akan dipimpinnya. Sejak saat itulah muncul kerajaan ke-3, yakni Kadipaten Mangkunegaran, yang hidup berdampingan dengan Kasunanan Surakarta serta Kesultanan Yogyakarta. 

 

Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, yang menggelari dirinya dengan Mangkunegara I, akhirnya bisa ditenangkan. Ia diakui Belanda sebagai salah satu dari tiga raja di jantung peradaban Jawa, meski sebenarnya posisi Mangkunegara berada di bawah dua raja lain. Mangkunegara tidak diperkenankan menyematkan gelar setingkat raja seperti sunan atau sultan, ia tetap bergelar pangeran. 

 

Wilayah kekuasaannya pun bukan kerajaan, tapi setingkat Kadipaten atau Keharyapatihan. Mangkunegara I meninggal dunia di Surakarta pada 23 Desember 1795, dalam usia 70 tahun. Pemerintah Republik Indonesia memberinya gelar Pahlawan Nasional dan menyematkan anugerah Bintang Mahaputra berdasarkan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 048/TK/tahun 1988 tertanggal 17 Agustus 1988.

 

Demikian sedikit kisah perjuangan Pangeran Sambernyowo semoga memberi hikmah dan ibroh kepada generasi penerus bangsa.

 

Wahyu IryanaKetua Prodi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab UIN Raden Intan Lampung


Tokoh Terbaru