Yudi Prayoga
Penulis
Bulan Sya'ban tidak saja menjadi momen paling tepat untuk mempersiapkan diri menyambut Ramadhan, tetapi juga harus menjadi momentum penguat kesadaran akademik di kalangan umat Muslim. Sebab, pada bulan ini lahir seorang ulama dengan penguasaan multidisplin keilmuan cukup mapan. Dia adalah Al-Qadhi 'Iyadh.
Namanya menjadi harum karena kontribusinya yang monumental terhadap khazanah ilmu Islam, khususnya melalui mahakaryanya, yang berjudul as-Syifa bi Ta'rifi Huquqil Musthafa. Dalam kitab ini, ia tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga mengungkapkan cinta, pengabdian, dan penghormatan yang mendalam kepada Nabi Muhammad saw.
Biografi (Kelahirannya)
Sebagaimana dicatat oleh Syekh Abduh Ali Kaushik, tentang biografi singkat Imam al-Qadhi Iyadh dalam kitab as-Syifa bi Ta'rifi Huquqil Musthafa, ia adalah seorang ulama besar dalam sejarah Islam, yang memiliki nama lengkap Abu al-Fadl Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahshubi as-Sabti al-Maliki.
Lahir pada tahun 476 H/1083 M, di Kota Sabtah, sekarang Ceuta, yaitu sebuah kota terletak di sepanjang Selat Gibraltar, dan menjadi pemisah antara benua Eropa dan Afrika. Kota ini memiliki status sebagai wilayah otonom Spanyol dan berbatasan langsung dengan Maroko. Meskipun berada di Afrika, Ceuta secara administratif merupakan bagian dari Eropa.
Di kota tersebut ia tumbuh di dalam asuhan keluarga Arab yang dikenal dengan kemuliaan dan keilmuan. Terlahir dalam lingkup nilai-nilai yang luhur, cinta pada agama, kesalehan, kejujuran, dan ketakwaan. Sejak usia muda, ia sudah memalingkan diri dari gemerlap dunia dan memilih untuk mengisi hari-harinya dengan ketekunan dalam ibadah serta memperdalam ilmu pengetahuan. (Imam al-Qadhi Iyadh, as-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthafa, [Dubai: Wahdatul Buhuts wad Dirasat, tahqiq: Abduh Ali Kaushik], halaman 33).
Kematiannya
Dilansir dari NU Online, menurut Al-Qadhi Ibnu Khalkan, Qadhi ‘Iyadh wafat pada bulan Ramadhan tahun 544 H. Ada pula yang mengatakan ia wafat di Marrakech pada bulan Jumadil Akhir. Sementara menurut putranya, Al-Qadhi Muhammad, Qadhi ‘Iyadh wafat pada tengah malam Jumat 9 Jumadil Akhir tahun 4 H. Beliau wafat karena diracun.
Menurut adz-Dzahabi, Qadhi ‘Iyadh wafat karena ditusuk tombak oleh seseorang sebab mengingkari kemaksuman Ibnu Tumart, pendiri gerakan reformasi Al-Muwahhidin yang mengaku sebagai Imam Mahdi.
وَتُوَفِّي بِمَرَاكِشَ، مغْرِبًا عَنْ وَطْنِهِ وَسْطَ سَنَةَ أَرْبَعَ وَأَرْبَعِيْنَ وَخَمْس مائَةٍ
Artinya: Dan ia wafat di Marrakesh, jauh dari tanah kelahirannya pada pertengahan tahun 544 Hijriah (Azharur Riyadh fi Akhbaril Qadhi Iyadh, [Kairo: Lajnatut Ta’lif wan Nasyr, 1358 H], halaman 240).
Ia menghadap kepada Allah dengan hati yang tulus, penuh rasa syukur atas segala rahmat yang telah diberikan selama hidupnya. Marrakesh Maroko, yang telah menyaksikan derap langkahnya, kini menjadi saksi bisu perpisahannya dengan dunia ini. Meskipun jasadnya terbaring jauh dari tanah kelahirannya, namun warisan ilmunya tetap mengalir di setiap pembelajaran yang diteruskan oleh para muridnya.
Sepertinya masa Qadhi ‘Iyadh merupakan tahun duka, karena di masanya sejumlah ulama wafat, seperti ulama ahli syair terkemuka di zamannya Al-Qadhi Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Husein, Al-Allamah al-Mushannif Abu Ja’far al-Baihaqi, ulama pakar sanad Abul Mahasin As’ad bin Ali bin Muqafiq, dan ulama pakar hadits Halb Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Muradi al-Qurthubi.
Pendidikannya
Qadhi ‘Iyadh merupakan ulama yang memiliki semangat menuntut ilmu sangat besar. Pada saat masih belia kira-kira baru usia 13 tahun, beliau berangkat dari kota Sabtah di Maghrib menuju Cordoba di Andalus untuk belajar ilmu agama pada tahun 509 H. Sesampainya di sana, beliau berguru kepada hampir 100 ulama dengan beragam disiplin keilmuan.
Imam al-Qadhi Iyadh sangat dikenal karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dalam menilai dan mengolahnya. Beliau tidak hanya mencatat apa yang diajarkan oleh guru-gurunya, tetapi juga memperhatikan setiap detail ajaran tersebut dengan penuh perhatian.
Beliau menghabiskan banyak waktu untuk menghafal, mengkaji, dan merenung tentang ilmu yang diperolehnya, yang membuatnya dikenal sebagai seorang ulama yang cerdas dan penuh dedikasi.
قَدِمَ الْأَنْدَلُسَ طَالِبًا لِلْعِلْمِ، وَأَخَذَ بِقُرْطُبَةَ عَنِ الْقَاضِي أَبِي عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِي وَغَيْرِهِمْ، وَأَجَازَ لَهُ أَبُو عَلِي الْغَسَّانِي مَا رَوَاهُ، وَأَخَذَ بِالْمَشْرِقِ عَنِ الْقَاضِي عَلِي حُسَيْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الصَّدَفَرِ كَثِيْرًا
Artinya: al-Qadhi Iyadh datang ke Andalusia untuk menuntut ilmu, dan belajar di Cordoba kepada al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Ali dan lainnya. Abu Ali al-Ghassani memberikan izin kepadanya atas riwayat-riwayat (Hadits) yang ia sampaikan, dan ia belajar di Timur dari al-Qadhi Ali Husain bin Muhammad as-Sadfar dalam banyak hal (Azharur Riyadh fi Akhbaril Qadhi Iyadh, [Kairo: Lajnatut Ta’lif wan Nasyr, 1358 H], halaman 240).
Guru-gurunya
Di antara guru-gurunya adalah Abul Hasan bin Siraj, Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Hamdain, Abu Muhammad bin Attab, Abu Abdillah al-Mazini, Al-Qadhi Abi Ali Husain bin Muhammad ash-Shadafi, Abu Bakr at-Thurthusy, Al-Qadhi Abu Bakr ibn al-Arabi, Abu Ali al-Ghasani, Abu at-Thahir Ahmad ibn Muhammad as-Salafi, Ahmad bin Baqi, Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Makhul, Al-Hasan bin Muhammad bin Sakrah, dan Al-Qadhi Abi al-Walid bin Rusyd, dan lain-lain.
Kegigihannya menuntut ilmu itu membuahkan hasil. Beliau mampu menguasai lintas disiplin ilmu agama secara mendalam, mulai dari nahwu, fiqih, Hadits, bahasa, sastra, ilmu nasab, dan lain sebagainya. Bahkan ia menguasai fiqih lintas mazhab.
Memasuki usia 30 tahun, beliau kembali lagi ke Maghrib dan berguru dengan banyak ulama di sana. Di Maghrib beliau sangat dihormati, bahkan dipercayai untuk menjadi qadhi (hakim) dalam waktu yang cukup lama. Pada 531 H beliau pindah dan berdomisili di kota Granada, Spanyol dan menjadi hakim di sana pada tahun 532 H.
Murid-muridnya
Dari didikan Qadhi ‘Iyadh lahir banyak ulama, seperti Imam Abdullah bin Muhammad al-Asyiri, Abu Ja’far al-Qashir al-Gharnati, Al-Hafidz Khalaf bin Basykuwal, Abu Muhammad bin Ubaidillah al-Hijri, Muhammad bin Hasan al-Jabiri, dan anaknya, Al-Qadhi Muhammad bin ‘Iyadh.
Karya-karyanya
Di antara karya-karya beliau yang populer adalah:
1. Tafsir Gharibul Hadis al-Muwatha’ wal Bukhari wa Muslim,
2. Daqa`iq al-akhbar fi dhikr al-janna wa-l-nar, "buku petunjuk eskatologis" yang menggambarkan kegembiraan jannah (surga) dan kengerian jahannam (neraka),
3. At-Tanbihatul Mustanbathah fi Syarhi Musykilatul Mudawwanah,
4. Al-Maqashidul Hisan fi Ma Yalzamul Insan,
5. Al-I’lam bi Hudud Qawa’dihil Islam, berfokus pada kajian terhadap lima rukun Islam,
6. Al-Ilma` ila Ma`rifa Usul al-Riwaya wa Taqyid al-Sama`, sebuah karya rinci tentang ilmu Hadis,
7. Sirrus Surrah fi Adabil Qudhat,
8. Bughyatur Ra’id lima Tadhammanahu Hadis Ummu Zar’ minal Fawa’id, diterbitkan bersama Tafsir Nafs al-Hadits oleh as-Suyuti.
9. Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik li Ma’rifah A’lami Mazhab Malik,
10. Ikmalul Mu’allim fi Syarh Shahih Muslim, sebuah komentar terkenal tentang Sahih Muslim yang menyampaikan dan mengembangkan komentar al-Maziri sendiri, al-Mu`lim bi-fawa'id Muslim. Komentar Qadhi `Iyadh sendiri digunakan dan dijelaskan secara mendalam oleh an-Nawawi dalam komentarnya sendiri tentang Sahih Muslim.
11. Jami’ut Tarikh, As-Saiful aMaslul ‘ala Man Sabba Ashabar Rasul,
12. Mashariq al-Anwar `ala Sahih al-Athar, berdasarkan al-Muwatta karya Malik bin Anas, Sahih al-Bukhari dari al-Bukhari dan Sahih Muslim karya Muslim bin al-Hajjaj, dan lain-lain.
Komentar ulama
Kebesaran Qadhi ‘Iyadh mendapat pengakuan sejumlah ulama, baik dari keluasan ilmu, keluhuran moral, ketaatan beragama, produktifitas, dan lain sebagainya. Berikut adalah beberapa komentar ulama tentangnya.
Ibnu Khalkian berkata, “Al-Qadhi ‘Iyadh merupakan ulama yang luas ilmunya, taat beragama, lemah lembut sifatnya, dan sangat menguasai qira’ah sab’ah. Ia juga menguasai multidisplin ilmu, mulai dari ilmu hadits, ushul fiqih, hafal nama-nama rijalul Hadits, pakar ilmu nahwu, fiqih lintas mazhab, dan penguasaan sastra bahasa Arab".
Al-Faqih Muhammad bin Hamaduh as-Sabti berkata, “Di daerah Ceuta belum ada ulama yang menandingi karya Al-Qadhi ‘Iyadh dalam segi kuantitasnya.” Al-Faqih Muhammad bin Hamaduh as-Sabti juga berkata, “Qadhi ‘Iyadh sudah ikut berdiskusi sementara usianya baru 28 tahun dan ia sudah menjadi hakim dalam usia 35 tahun".
Al-Qadhi Syamsuddin berkata dalam Wafiyatul A’yan, “Qadhi ‘Iyadh adalah imam ahli hadits pada zamannya dan ulama yang paling dalam penguasaan ilmunya, baik dalam bidang nahwu, bahasa, dialek bangsa Arab, serta ilmu hari dan nasab".
Demikianlah biografi singkat Al-Qadhi ‘Iyadh. Dari beberapa literatur, kita ketahui bahwa beliau merupakan ulama kharismatik yang memiliki beragam karya tulis dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Selain itu juga, beliu banyak mencetak murid-murid hebat dan berkontribusi besar bagi dunia Islam.
Sumber rujukan: Adz-Dzahabi, Siyaru A’lâmin Nubalâ’, (Kairo: Mu’assasah ar-Risalah, 1985), juz XX, halaman 212-218. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Mishri, Nasîmur Riyâdh fi Syarḫi Syifâ’il Qâdhî ‘Iyâdh, (Beirut: Darul Kutub al’Ilmiyah, tanpa tahun), juz I, halaman 7-9.
Terpopuler
1
Berangkat 8 Mei 2025, Ini Pesan-pesan untuk 352 Calon Jamaah Haji Pringsewu
2
Khutbah Jumat: Bulan Syawal, saatnya Mengenang Sejarah Perjuangan Umat Islam
3
Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam
4
Optimalisasi Zakat Digital, LAZISNU PWNU Lampung Gelar Bimtek Pengelolaan ZIS Berbasis Web
5
Ketua PWNU Lampung Dorong ISNU Perkuat Peran Strategis Tangani Masalah Generasi Muda
6
Talkshow Indonesia Gelap, Fatikhatul Khoiriyah: Ruang Berekspresi Mahasiswa, Indikator Utama Sehatnya Demokrasi
Terkini
Lihat Semua