Kegigihan Ibnu Sina dan Pengaruhnya Bagi Kedokteran Modern Saat Ini
Sabtu, 1 Februari 2025 | 20:00 WIB
Wahyu Iryana
Penulis
Ibnu Sina, atau dikenal di dunia Barat sebagai Avicenna, adalah seorang polymath Muslim yang kontribusinya dalam ilmu kedokteran, filsafat, dan sains masih menjadi warisan berharga hingga saat ini. Ia lahir pada tahun 980 M di Afshana, dekat Bukhara (kini Uzbekistan), yang pada masa itu merupakan bagian dari Kekhalifahan Samaniyah.
Ibnu Sina dikenal sebagai "Bapak Kedokteran Modern" berkat karya monumentalnya, Al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine), yang menjadi rujukan utama bagi dunia medis selama berabad-abad. Namun, perjuangan intelektualnya tidaklah mudah. Ia hidup di tengah ketidakstabilan politik, menghadapi tantangan dari kalangan konservatif, dan harus berjuang untuk mempertahankan kebebasan intelektualnya.
Tulisan ini akan mengulas bagaimana Ibnu Sina berjuang dalam bidang kedokteran dan sains, tantangan yang dihadapinya, serta dampaknya terhadap Dunia Islam dan dunia secara universal.
Perjalanan Hidup dan Pendidikan Ibnu Sina
Sejak kecil, Ibnu Sina menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia menghafal Al-Qur’an pada usia 10 tahun dan mulai belajar ilmu-ilmu lain seperti logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Guru-gurunya mencakup para ilmuwan terkemuka pada masanya, namun ia juga banyak belajar secara otodidak.
Pada usia 16 tahun, Ibnu Sina sudah mendalami ilmu kedokteran dan mulai mengobati pasien. Kejeniusannya diakui ketika ia berhasil menyembuhkan Sultan Nuh bin Mansur dari Dinasti Samaniyah, yang membuatnya mendapat akses ke perpustakaan kerajaan.
Namun, ketika Kekhalifahan Samaniyah runtuh akibat serangan dari Mahmud dari Ghazni, Ibnu Sina kehilangan perlindungan politik. Ia mengembara dari satu kota ke kota lain, mencari suaka di berbagai kerajaan. Meskipun menghadapi berbagai kesulitan, ia terus menulis dan mengajar.
Kontribusi Ibnu Sina dalam Ilmu Kedokteran
Karya terbesar Ibnu Sina dalam kedokteran adalah Al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine), yang berisi ringkasan sistematis tentang teori dan praktik medis. Karya ini terdiri dari lima volume yang mencakup: Pertama, Konsep dasar kesehatan dan penyakit. Kedua, Bahan-bahan farmasi dan obat-obatan. Ketiga, Penyakit organ-organ tubuh. Keempat, Penyakit yang mempengaruhi seluruh tubuh. Kelima, Farmakologi dan terapi.
Salah satu warisan terpenting dari Al-Qanun adalah konsep bahwa penyakit bisa menular melalui air dan tanah, serta pentingnya eksperimentasi dalam pengobatan. Ibnu Sina juga menggagas metode diagnosis dengan mengamati denyut nadi, pernapasan, dan warna urine pasien—suatu pendekatan yang sangat maju untuk zamannya.
Selain itu, ia memberikan kontribusi besar dalam bidang farmasi, dengan merinci berbagai obat herbal dan penggunaannya. Beberapa konsep yang ia gagas, seperti penggunaan anestesi sebelum operasi, masih relevan hingga saat ini.
Tantangan dan Perjuangan Intelektual
Sebagai seorang ilmuwan di abad ke-10 dan 11, Ibnu Sina menghadapi berbagai tantangan. Pertama, ia hidup di tengah ketidakstabilan politik, yang membuatnya sering berpindah tempat untuk mencari perlindungan.
Kedua, gagasannya sering kali mendapat tentangan dari kalangan konservatif. Pada masa itu, pemikiran ilmiah sering dianggap bertentangan dengan pemahaman agama yang literal. Ibnu Sina, yang juga seorang filsuf, sering dituduh menyebarkan ajaran yang menyimpang. Bahkan, di beberapa wilayah, karyanya sempat dilarang.
Namun, Ibnu Sina tetap teguh dalam prinsipnya bahwa ilmu dan agama tidak harus bertentangan. Ia percaya bahwa ilmu adalah sarana untuk memahami ciptaan Tuhan, dan oleh karena itu harus terus dikembangkan.
Dampak terhadap Dunia Islam dan Dunia Barat
Kontribusi Ibnu Sina tidak hanya berpengaruh di Dunia Islam, tetapi juga di Eropa. Al-Qanun fi al-Tibb diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12, dan menjadi buku standar di universitas-universitas Eropa hingga abad ke-17.
Di dunia Islam, pemikiran Ibnu Sina menginspirasi banyak ilmuwan setelahnya, seperti Ibnu Nafis yang menemukan sirkulasi paru-paru. Sekolah-sekolah kedokteran di Baghdad, Kairo, dan Cordoba yang menggunakan karya Ibnu Sina sebagai rujukan utama selama berabad-abad.
Selain kedokteran, pemikiran filsafatnya juga memberikan pengaruh besar dalam teologi Islam, khususnya dalam tradisi pemikiran Peripatetik (Mashsha’iyah) yang kemudian dikembangkan oleh Al-Farabi dan diteruskan oleh Ibnu Rushd.
Sejatinya Ibnu Sina adalah contoh nyata bagaimana kegigihan dalam mencari ilmu bisa mengubah peradaban. Ia tidak hanya mengembangkan ilmu kedokteran, tetapi juga membangun jembatan antara sains dan filsafat dalam dunia Islam.
Meskipun menghadapi banyak tantangan, pemikirannya tetap bertahan dan menjadi dasar bagi kemajuan ilmu medis dan sains di dunia. Dalam konteks saat ini, semangat Ibnu Sina dalam mencari kebenaran ilmiah tetap relevan, mengingat pentingnya penelitian dan inovasi dalam menghadapi tantangan kesehatan global.
Perjuangannya mengajarkan kita bahwa ilmu pengetahuan harus terus berkembang dan tidak boleh dibatasi oleh batasan politik atau dogma yang menghambat. Dunia modern berutang banyak kepada Ibnu Sina, dan warisannya yang akan terus menginspirasi generasi mendatang.
H Wahyu Iryana, Sejarawan Muslim UIN Raden Intan Lampung
Terpopuler
1
Berangkat 8 Mei 2025, Ini Pesan-pesan untuk 352 Calon Jamaah Haji Pringsewu
2
Khutbah Jumat: Bulan Syawal, saatnya Mengenang Sejarah Perjuangan Umat Islam
3
Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam
4
Optimalisasi Zakat Digital, LAZISNU PWNU Lampung Gelar Bimtek Pengelolaan ZIS Berbasis Web
5
Ketua PWNU Lampung Dorong ISNU Perkuat Peran Strategis Tangani Masalah Generasi Muda
6
Talkshow Indonesia Gelap, Fatikhatul Khoiriyah: Ruang Berekspresi Mahasiswa, Indikator Utama Sehatnya Demokrasi
Terkini
Lihat Semua