Tokoh

Berdialog dengan Ibnu Rusyd: Antara Filsafat dan Agama dalam Kehidupan Modern

Ahad, 2 Februari 2025 | 09:10 WIB

Dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, Ibn Rusyd (1126–1198) atau Averroes, dikenal sebagai salah satu filsuf besar yang menghubungkan rasionalisme dengan ajaran agama. Pemikirannya yang tajam tidak hanya mempengaruhi dunia Islam tetapi juga peradaban Barat, khususnya dalam tradisi filsafat skolastik Eropa. Gagasan-gagasannya tentang hubungan antara akal dan wahyu, serta pentingnya filsafat dalam memahami kebenaran, masih relevan hingga saat ini.

 

Dalam konteks modern, bagaimana kita bisa berdialog dengan pemikiran Ibnu Rusyd? Bagaimana gagasannya dapat membantu kita menghadapi tantangan zaman?

 

Ibnu Rusyd dan Rasionalisme Islam

Ibnu Rusyd hidup dalam masa kejayaan peradaban Islam di Andalusia. Ia merupakan seorang dokter, hakim, dan filsuf yang menulis banyak komentar terhadap karya Aristoteles. Dalam pandangannya, filsafat dan agama bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan memiliki tujuan yang sama: mencari kebenaran.

 

Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan), Ibnu Rusyd membela filsafat dari kritik Imam Al-Ghazali yang dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) menilai bahwa filsafat, khususnya filsafat Yunani, dapat menyesatkan keyakinan agama. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa akal adalah anugerah Tuhan yang harus digunakan untuk memahami wahyu. Dengan kata lain, agama dan filsafat tidak perlu dipertentangkan, karena keduanya dapat saling melengkapi.

 

Gagasan ini sangat penting dalam dunia modern, di mana sering terjadi pertentangan antara sains dan agama, antara nalar dan dogma. Ibnu Rusyd menawarkan perspektif bahwa pemikiran rasional tidak harus menggerus nilai-nilai keimanan, melainkan justru dapat memperkuatnya.

 

Relevansi Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Dunia Modern

Saat ini, kita menghadapi berbagai persoalan yang menuntut keseimbangan antara agama dan sains, tradisi dan modernitas, serta antara dogma dan kebebasan berpikir. Pemikiran Ibnu Rusyd dapat menjadi jembatan bagi berbagai pertentangan tersebut.

 

Pertama, sains dan agama dalam pendidikan.

Salah satu tantangan terbesar dunia modern adalah bagaimana mendamaikan antara ajaran agama dengan perkembangan sains. Di banyak negara, ada perdebatan tentang apakah teori ilmiah seperti evolusi harus diajarkan di sekolah-sekolah yang berbasis agama. Ibnu Rusyd, jika masih hidup, mungkin akan mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dipertentangkan. Baginya, ilmu pengetahuan adalah bagian dari pencarian manusia terhadap kebenaran, sama seperti agama. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya tidak menolak sains hanya karena dianggap bertentangan dengan doktrin keagamaan.

 

Kedua, peran akal dalam kehidupan beragama.

Banyak masyarakat masih terjebak dalam pemahaman agama yang dogmatis dan tekstualis tanpa mempertimbangkan konteks zaman. Ibnu Rusyd mengajarkan bahwa akal manusia memiliki peran penting dalam menafsirkan ajaran agama. Ini bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk lebih kritis dalam memahami teks-teks keagamaan, bukan sekadar mengikutinya secara literal tanpa pemikiran mendalam.

 

Ketiga, kebebasan berpikir dan demokrasi.

Ibnu Rusyd hidup dalam suasana politik yang berubah-ubah, di mana pemikiran rasionalnya sering kali berhadapan dengan tekanan konservatif. Di dunia modern, kebebasan berpikir masih menjadi isu penting, terutama di negara-negara yang membatasi kebebasan akademik dan kebebasan berbicara atas nama agama atau ideologi tertentu. Jika Ibnu Rusyd masih hidup, ia mungkin akan mendukung kebebasan intelektual sebagai bagian dari kemajuan peradaban.

 

Kritik terhadap Pemikiran Ibnu Rusyd

Meskipun gagasan Ibnu Rusyd tentang hubungan antara filsafat dan agama sangat berpengaruh, tidak semua pihak sepakat dengannya. Salah satu kritik terbesar datang dari kalangan yang lebih konservatif, yang menganggap bahwa filsafat bisa membawa manusia keluar dari jalur agama. Hal ini juga terjadi di dunia Islam setelah kematiannya, di mana pemikirannya kurang mendapatkan tempat di dunia Islam, tetapi justru berkembang di Eropa.

 

Selain itu, ada juga kritik bahwa pemikirannya terlalu optimis terhadap kemampuan akal manusia. Dalam banyak kasus, akal saja tidak selalu cukup untuk menjawab pertanyaan mendalam tentang kehidupan dan spiritualitas. Meskipun begitu, Ibnu Rusyd tetap menekankan bahwa wahyu adalah sumber kebenaran tertinggi, sedangkan akal membantu manusia untuk memahami wahyu dengan lebih baik.

 

Upaya Membumikan Pemikiran Ibnu Rusyd

Berdialog dengan pemikiran Ibnu Rusyd berarti membuka ruang bagi rasionalitas dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dunia modern membutuhkan keseimbangan antara akal dan wahyu, antara tradisi dan inovasi, serta antara kebebasan berpikir dan nilai-nilai moral.

 

Dalam menghadapi tantangan zaman—dari radikalisme agama hingga tantangan sains dan teknologi—pemikiran Ibnu Rusyd menawarkan jalan tengah yang bisa kita pelajari. Dengan memadukan pemikiran rasional dan nilai-nilai agama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih terbuka, toleran, dan beradab.

 

Seperti yang diyakini Ibnu Rusyd, kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran. Oleh karena itu, tugas kita adalah terus mencari kebenaran dengan akal dan hati yang terbuka.

 

H Wahyu Iryana, Sejarawan Muslim UIN Raden Intan Lampung