Wahyu Iryana
Penulis
Banyak yang berpikir bahwa kesalehan selalu berwajah serius. Padahal, iman juga bisa hadir dalam bentuk tawa, kelakar, dan kejailan yang tetap berakar pada keimanan. Ada sahabat Rasulullah yang dikenal jenaka, ada penyair yang nakal tapi dekat dengan Tuhan, dan ada sufi yang mengajarkan hikmah lewat humor. Mereka adalah Nuaiman bin Amr, Abu Nuwas, dan Nasruddin Hoja.
Ketiganya hidup di zaman yang berbeda, tetapi memiliki satu kesamaan: mereka mengingat Allah dengan cara yang ringan, tetapi dalam.
Nuaiman: Kejenakaan yang Dirindukan di Surga
Jika ada gelar "sahabat paling jahil" dalam Islam, Nuaiman pasti pemenangnya. Ia adalah sahabat Rasulullah yang sering membuat para sahabat terpingkal-pingkal. Suatu hari, ia menjual dirinya sendiri kepada seorang pedagang Badui, mengaku sebagai budak. Saat sang pedagang hendak membawanya pergi, Nuaiman berteriak, "Aku bukan budak!"
Rasulullah hanya tertawa dan menjelaskan bahwa itu memang ulah Nuaiman.
Namun, di balik kelakarnya, Nuaiman adalah seorang pejuang. Ia ikut serta dalam Perang Badar, Uhud, dan pertempuran besar lainnya. Dan yang paling mengesankan, adalah cara ia menghadap kematian.
Ketika ajal menjemput, wajahnya berseri-seri. Ia tertawa, membuat para sahabat bingung. “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Nuaiman?” tanya mereka.
“Aku melihat tempatku di surga," jawabnya, "dan aku melihat orang-orang yang dulu aku jaili sedang menungguku sambil tersenyum.” Lalu ia pergi dengan tawa.
Begitupun ketika sudah di alam kubur ketika malaikat Munkar Nakir bertanya man Robbuka?. Nuaiman lantang menjawab Allah Tuhanku. Namun ketika ia ditanya Siapa Nabimu? Nuaiman terdiam. Malaikat Munkar Nakir sampai tiga kali bertanya dengan nada kenceng, akhirnya Nuaiman berbisik jangan keras keras Nabiku masih mengintip di atas kuburan ini. Itulah Nuaiman yang masuk surga dengan tertawa karena mencintai Allah dan Rasullullah.
Kisah kejenakaan Nuaiman bin Amr banyak ditemukan dalam kitab-kitab sejarah dan hadits. Beberapa sumber utama yang mencatat kisahnya antara lain: Pertama kitab "Al-Isti‘āb fī Ma‘rifat al-Ashhāb" Karya Ibnu Abdil Barr, kitab ini berisi biografi para sahabat Nabi, termasuk kisah-kisah unik dan jenaka tentang Nuaiman. Kedua kitab "Usud al-Ghābah fī Ma‘rifat al-Ṣaḥābah" – Karya Ibnu al-Athir, yang juga mencatat kejenakaan Nuaiman di berbagai peristiwa. Ketiga kitab "Al-Isābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah" – Karya Ibnu Hajar al-Asqalani, yang mengulas banyak kisah sahabat, termasuk anekdot lucu tentang Nuaiman.
Keempat kitab hadits "Musnad Ahmad bin Hanbal" – Beberapa riwayat dalam kitab ini menyebutkan kejenakaan para sahabat, termasuk kisah Nuaiman yang menjual dirinya sendiri kepada pedagang Badui sebagai lelucon. Kelima kitab "Dalā’il al-Nubuwwah" Karya Imam al-Bayhaqi, yang berisi tanda-tanda kenabian Muhammad dan juga mencatat kisah-kisah lucu di kalangan sahabat.
Selain itu, berbagai kitab adab dan tarikh (sejarah Islam) juga sering mengutip kisah-kisahnya sebagai contoh bahwa Islam adalah agama yang memberi ruang bagi humor dan kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Abu Nuwas: Si Pendosa yang Mengandalkan Rahmat Allah
Jika Nuaiman adalah sahabat Nabi yang jenaka, maka Abu Nuwas adalah penyair yang cerdas sekaligus nyentrik. Di masa Abasiyah, ia dikenal sebagai penyair yang suka bersenang-senang. Tapi di balik gaya hidupnya yang bebas, hatinya selalu rindu kepada Allah.
Kisah Islam menjelaskan bahwa Imam Syafi'i yang akan menshalati Abu Nuwas mendapatkan secarik kertas yang berisi syair yang ditulis Abu Nuwas ketika masih hidup. Ia pernah menulis syair yang begitu menyentuh:
إِلٰهِي لَئِنْ كَثُرَتْ ذُنُوبِي فِي الوَرَى
فَإِنِّي عَلِمْتُ بِأَنَّ عَفْوَكَ أَعْظَمُ
"Wahai Tuhanku, jika dosaku banyak di hadapan manusia,
Aku tahu bahwa ampunan-Mu jauh lebih besar"
Dalam bait lainnya, ia bertanya kepada Allah:
إِذَا كَانَ لاَ يَرْجُوكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ
فَبِمَنْ يَلُوذُ وَيَسْتَغِيثُ المُجْرِمُ
"Jika hanya orang baik yang berharap kepada-Mu,
Lalu kepada siapa para pendosa akan berlindung?"
Lalu, ia menutup dengan bait yang paling menyentuh:
أَأَدْعُوكَ رَبِّي كَمَا أَمَرْتَ تَضَرُّعًا
فَإِنْ رَدَدْتَ يَدِي فَمَنْ ذَا يَرْحَمُ
"Haruskah aku memanggil-Mu sebagaimana Engkau perintahkan,
Namun jika Engkau menolakku, lalu siapa yang akan mengasihiku?"
Dan akhirnya, ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah:
مَالِي إِلَيْكَ وَسِيلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا
وَجَمِيلُ عَفْوِكَ ثُمَّ أَنِّي مُسْلِمُ
"Tiada perantara bagiku kepada-Mu kecuali harapan,
Dan indahnya ampunan-Mu, serta bahwa aku adalah seorang Muslim".
Syair ini menunjukkan betapa besar harapan seorang hamba terhadap rahmat Allah, meskipun penuh dosa. Abu Nuwas, dengan kebijaksanaannya, mengajarkan bahwa pengampunan Allah selalu lebih luas daripada kesalahan manusia.
Nasruddin Hoja: Mengajarkan Hikmah Lewat Humor
Nasruddin Hoja adalah seorang sufi dari Asia Tengah yang mengajarkan agama dengan cara yang jenaka.
Suatu hari, ia pergi ke pasar dan berkata kepada seorang penjual daging, “Aku ingin membeli satu kilo daging”. Penjual itu berkata, “Ini daging terbaik! Jika kau memasaknya dengan baik, rasanya akan luar biasa”. Hoja tersenyum, “Kalau begitu, berikan saja aku satu kilo garam. Karena kalau garamnya baik, masakan apa pun pasti enak”. Orang-orang di pasar tertawa. Tapi di balik leluconnya, Hoja ingin mengajarkan bahwa sesuatu yang sederhana bisa jauh lebih berharga jika digunakan dengan bijak.
Pernah pula seseorang bertanya kepadanya, “Kenapa engkau selalu tertawa?”. Ia menjawab, “Karena aku melihat dunia ini terlalu singkat untuk ditangisi”.
Kebijaksanaan Nasruddin Hoja mengajarkan bahwa agama tidak harus selalu kaku dan tegang. Ada cara lain untuk menyentuh hati manusia: dengan tawa dan kelakar.
Tertawa sebagai Ibadah
Baik Nuaiman, Abu Nuwas, maupun Nasruddin Hoja, mereka semua menunjukkan bahwa Islam bukan hanya tentang air mata dan ketegasan. Islam juga memberi ruang bagi senyum, tawa, dan kegembiraan. Rasulullah sendiri adalah orang yang ramah dan suka tersenyum.
Dunia sering terasa berat, tetapi kita bisa belajar dari mereka bertiga. Dari Nuaiman, kita belajar bahwa kejenakaan bisa membawa kebahagiaan, bahkan sampai ke surga. Dari Abu Nuwas, kita belajar bahwa harapan pada Allah tak boleh padam, sebesar apa pun dosa kita. Dari Nasruddin Hoja, kita belajar bahwa humor bisa menjadi jalan menuju kebijaksanaan. Karena siapa tahu, jalan ke surga justru lebih ringan jika dilalui dengan senyum.
Penulis mencoba membuat Syair tentang para jenaka yang menghamba Rabb-Nya
Nuaiman tertawa di pintu surga,
Abu Nuwas menggoda malaikat penjaga,
Nasruddin Hoja duduk, menunggu giliran.
Mereka tidak takut, mereka tidak ragu,
karena iman bukan hanya air mata.
Tuhan sudah menyiapkan tempatnya,
bahkan bagi mereka yang pernah tersesat.
Mereka pun berjalan, menuju cahaya,
dengan tawa yang tak lagi berdosa.
Wahyu Iryana, Penulis Merupakan Sejarawan dan Penyair UIN Raden Intan Lampung.
Terpopuler
1
Berangkat 8 Mei 2025, Ini Pesan-pesan untuk 352 Calon Jamaah Haji Pringsewu
2
Khutbah Jumat: Bulan Syawal, saatnya Mengenang Sejarah Perjuangan Umat Islam
3
Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam
4
Optimalisasi Zakat Digital, LAZISNU PWNU Lampung Gelar Bimtek Pengelolaan ZIS Berbasis Web
5
Ketua PWNU Lampung Dorong ISNU Perkuat Peran Strategis Tangani Masalah Generasi Muda
6
Talkshow Indonesia Gelap, Fatikhatul Khoiriyah: Ruang Berekspresi Mahasiswa, Indikator Utama Sehatnya Demokrasi
Terkini
Lihat Semua