
Berikut sampul kitab Sirrur Dahr karya KH Ahmad Hanafiah Sukadana Lampung Timur (Foto: NU Online Lampung)
Wahyu Iryana
Penulis
Di sebuah kampung kecil di Lampung Timur, tepatnya di Sukadana, tersimpan sebuah kitab yang konon lebih misterius daripada lirik lagu dangdut yang maknanya bisa berlapis-lapis. Kitab itu bernama Sirrur Dahr, karya KH Ahmad Hanafiah, seorang ulama yang namanya mungkin tak sefamiliar bintang sinetron, tapi ajarannya tetap bersinar seperti lampu LED di tengah mati listrik.
Bagi yang belum pernah mendengar nama KH Ahmad Hanafiah, beliau bukan sekadar ulama biasa. Kalau di dunia akademik ada profesor emeritus, maka di dunia pesantren, beliau ini semacam "guru besar spiritual" yang tak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga filsafat hidup yang dalam. Dan kalau bicara Sirrur Dahr, ini bukan sembarang kitab. Ini adalah karya yang membahas rahasia zaman—sesuatu yang kalau ditulis ulang dalam versi anak muda sekarang, mungkin bisa jadi podcast filsafat dengan rating tinggi.
Dari Sukadana ke Dunia
Sukadana memang bukan kota megapolitan, tapi jangan salah. Pada masanya, tempat ini adalah pusat peradaban. Sebelum Jakarta macet, sebelum Bandung jadi lautan kafe, sebelum influencer sibuk membahas skincare, Sukadana sudah menjadi titik penting dalam sejarah Lampung. Dan di sanalah, KH Ahmad Hanafiah menulis Sirrur Dahr, kitab yang membahas hakikat waktu, kehidupan, dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Ada yang bilang bahwa kitab ini mengandung ajaran tasawuf tinggi, ada pula yang menyebutnya sebagai warisan intelektual yang sayangnya lebih sulit dicari daripada sinyal internet di pedalaman. Namun, satu hal yang pasti: Sirrur Dahr adalah refleksi mendalam tentang kehidupan, sebuah meditasi tertulis yang mungkin bisa membuat kita berpikir ulang tentang makna kesuksesan di era yang serba digital ini.
Mengupas Makna Rahasia Zaman
Kalau kita membaca Sirrur Dahr, kita akan menemukan bahwa KH Ahmad Hanafiah menulis dengan gaya yang mirip para sufi besar. Ini bukan kitab yang bisa dibaca santai seperti chat WhatsApp, melainkan butuh perenungan mendalam. Ada konsep waktu yang tidak linier, ada pembahasan tentang hakikat manusia, dan ada pesan tersirat bahwa hidup ini sejatinya hanyalah perjalanan menuju sesuatu yang lebih abadi.
Bagi orang awam, membaca kitab ini mungkin seperti menonton film Christopher Nolan—harus fokus, jangan sampai terlewat satu baris pun, atau nanti malah kebingungan sendiri. Tapi bagi mereka yang terbiasa dengan literatur tasawuf, kitab ini adalah sebuah mahakarya yang menunjukkan bahwa pemikiran ulama Nusantara tak kalah dengan filsuf besar dunia.
Mengapa Kitab Ini Harus Dikenal Lagi?
Zaman sekarang, orang lebih suka membaca thread Twitter daripada kitab klasik. Padahal, kalau kita telaah lebih dalam, konsep yang ada di Sirrur Dahr bisa jadi lebih relevan daripada motivasi ala influencer. Misalnya, kitab ini mengajarkan tentang keseimbangan antara dunia dan akhirat, sesuatu yang sering kita lupakan dalam hiruk-pikuk kehidupan modern.
Selain itu, di tengah zaman yang serba instan, Sirrur Dahr mengingatkan kita bahwa pemahaman mendalam tidak bisa didapat dalam semalam. Seperti kopi yang enak, maka butuh proses penyeduhan. Tidak cukup hanya dengan membaca sekilas, tapi harus direnungkan, didiskusikan, dan diamalkan.
KH Ahmad Hanafiah juga mengingatkan bahwa manusia sering terjebak dalam ilusi waktu—terlalu sibuk mengejar masa depan sampai lupa menikmati momen sekarang. Ini mirip dengan kebiasaan kita yang sering menunda kebahagiaan: “Nanti bahagia kalau sudah kaya,” atau “Nanti tenang kalau sudah pensiun.” Padahal, kebahagiaan dan ketenangan itu bisa ditemukan di sini dan sekarang, jika kita mau memahami hakikat hidup.
Membaca Ulang Warisan Bangsa
Mungkin sudah saatnya kita kembali membaca kitab-kitab klasik seperti Sirrur Dahr. Jika dulu KH Ahmad Hanafiah menulisnya di tengah kesunyian Sukadana, hari ini kita bisa membacanya di mana saja—di perpustakaan, di kafe, bahkan di sela-sela perjalanan pulang kerja.
Dan siapa tahu, di antara baris-baris kitab itu, kita menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar kata-kata: sebuah pemahaman baru tentang hidup, waktu, dan diri kita sendiri.
Penulis mencoba melukiskan penghormatan kepada KH Hanafiah dan karya kitab Sirrur Dahr yang super keren ini dalam syair:
Rahasia Zaman
Di antara lembaran tua yang lusuh,
kutemukan kata-kata yang tak lekang,
seperti angin di antara pepohonan,
membisikkan rahasia waktu.
Kau menulis tanpa tergesa,
seolah masa hanyalah ilusi,
sedang kami, manusia abad ini,
berlari mengejar bayangan sendiri.
Di malam sunyi Sukadana,
pena menari di atas kertas,
dan dalam diam yang panjang,
kau titipkan hikmah tanpa batas.
Tak perlu tergesa, wahai jiwa,
zaman bukan untuk dikejar, tapi direnungi.
Wahyu Iryana, Penulis merupakan Sejarawan dan Penyair dari UIN Raden Intan Lampung.
Terpopuler
1
Berangkat 8 Mei 2025, Ini Pesan-pesan untuk 352 Calon Jamaah Haji Pringsewu
2
Khutbah Jumat: Bulan Syawal, saatnya Mengenang Sejarah Perjuangan Umat Islam
3
Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam
4
Optimalisasi Zakat Digital, LAZISNU PWNU Lampung Gelar Bimtek Pengelolaan ZIS Berbasis Web
5
Ketua PWNU Lampung Dorong ISNU Perkuat Peran Strategis Tangani Masalah Generasi Muda
6
Talkshow Indonesia Gelap, Fatikhatul Khoiriyah: Ruang Berekspresi Mahasiswa, Indikator Utama Sehatnya Demokrasi
Terkini
Lihat Semua