Pernik

Kitab Rijal Ḥawla al Rasul: Membumikan Kisah Sahabat Nabi dalam Perspektif Humanisme Modern

Ahad, 13 Juli 2025 | 16:42 WIB

Kitab Rijal Ḥawla al Rasul: Membumikan Kisah Sahabat Nabi dalam Perspektif Humanisme Modern

Kitab Rijal Ḥawla al Rasul (Foto: Istimewa)

Dalam khazanah literatur Islam, kisah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ selama ini banyak dituturkan melalui karya-karya klasik seperti Siyar A‘lam al-Nubala’, Ṭabaqāt Ibn Sa‘d, atau Al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah. Kitab-kitab tersebut secara dominan menyajikan biografi singkat, silsilah keturunan, dan peran mereka dalam penyebaran Islam atau pertempuran besar. Meski demikian, banyak dimensi kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual yang melekat pada para sahabat justru kurang tergali secara mendalam.

 

Berbeda dengan kitab klasik, karya kontemporer Rijāl Ḥawla al-Rasūl (Biografi 60 Sahabat Nabi) karya Khalid Muhammad Khalid menawarkan perspektif yang menyegarkan dan relevan bagi pembaca masa kini. Khalid menulis bukan hanya untuk merekam sejarah semata, melainkan menghidupkan kembali jiwa para sahabat dalam narasi yang humanis, inspiratif, dan penuh refleksi.

 

Mengapa karya ini penting?

Pertama, Rijāl Ḥawla al-Rasūl mampu membumikan kisah para sahabat, memperlihatkan mereka sebagai manusia biasa yang berproses dan berjuang dalam keadaan sosial dan personal yang kompleks. Ini membuka ruang interpretasi baru bagi umat Islam yang kerap memandang para sahabat sebagai sosok ideal yang jauh dari realitas manusiawi.

 

Kedua, gaya penulisan yang naratif dan menyentuh hati menjadi salah satu keunggulan utama buku ini. Khalid menggunakan bahasa sastra yang ringan namun penuh makna, sehingga pembaca diajak “hidup bersama” para tokoh. Sebagai contoh, kisah Mush’ab bin ‘Umair pemuda yang menyambut Islam dengan penuh keberanian dan rela berkorban hingga nyawanya — bukan sekadar narasi fakta, melainkan sebuah kisah inspiratif yang penuh dinamika emosional dan spiritual. Hal ini membuat kisah Mush’ab tidak hanya dikenang sebagai fakta sejarah, tapi juga sebagai teladan yang hidup.

 

Khalid Muhammad Khalid sendiri adalah sosok yang tak lepas dari latar belakang keagamaan dan spiritual mendalam. Lahir dan besar di Mesir, ia menempuh pendidikan selama 16 tahun di Universitas Al-Azhar dan dikenal hidup sederhana, jauh dari hiruk-pikuk duniawi. Sikap zuhud dan kesederhanaannya ini turut menjiwai narasi dalam Rijāl Ḥawla al-Rasūl, yang memosisikan para sahabat sebagai figur pengabdian tulus dan integritas tinggi, bukan sekadar pencetak sejarah.

 

Apa yang membuat kisah sahabat relevan di zaman sekarang?

Pertama, buku ini memaparkan tema-tema universal yang tetap relevan di tengah kehidupan modern: transformasi diri, keadilan sosial, keberanian moral, dan pemberdayaan perempuan.

 

Contohnya, transformasi dramatis Umar bin Khattab dari musuh Islam menjadi khalifah agung memberikan inspirasi kuat bagi mereka yang mencari perubahan diri dan rekonsiliasi dengan masa lalu. Ini bukan hanya kisah lama, tetapi narasi yang menguatkan spirit self-growth dan perubahan positif yang sangat dibutuhkan dalam dinamika kehidupan masa kini.

 

Selain itu, sosok Abu Dzar al-Ghifari yang berani menegur para pemimpin demi menegakkan keadilan sosial menjadi contoh konkret peran kritis umat dalam menjaga moralitas kepemimpinan. Dalam dunia yang penuh ketimpangan dan konflik sosial saat ini, suara Abu Dzar yang lantang memperjuangkan keadilan menjadi resonansi yang menentramkan sekaligus menggugah.

 

Tak kalah penting, Khalid juga memberi tempat bagi perempuan seperti Asma’ binti Abu Bakar, yang melalui kecerdasan dan keberaniannya turut membentuk dinamika perjuangan Islam. Penggambaran tokoh perempuan dalam buku ini menegaskan bahwa sejarah Islam sejak awal memberi ruang signifikan bagi peran dan keberanian kaum wanita. Hal ini berkontribusi pada diskursus pemberdayaan perempuan Muslim kontemporer, menghapus kesalahpahaman yang kerap terjadi.

 

Gaya bertutur Khalid Muhammad Khalid juga patut diapresiasi. Alih-alih menyajikan biografi secara kaku dan berbelit, ia menyampaikan kisah dengan pola naratif layaknya cerpen atau novel pendek. Gaya bahasa ini membuat pembaca muda maupun umum dapat dengan mudah memahami dan meresapi nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan para sahabat. Dalam banyak bagian, buku ini terasa seperti sebuah dialog batin yang mengajak pembaca untuk melakukan refleksi spiritual secara mendalam.

 

Selain gaya bahasa yang menarik, kekuatan buku ini juga terletak pada keutuhan narasi. Khalid tidak sekadar menguraikan peristiwa, tetapi selalu menyisipkan pesan moral dan refleksi spiritual yang aplikatif. Misalnya, julukan “syahid yang hidup” yang disematkan pada Thalhah bin Ubaidillah mengandung makna mendalam bahwa pengabdian dan pengorbanan tidak selalu harus berada di garis depan peperangan; pengabdian sunyi pun memiliki nilai tinggi di mata Allah.

 

Dalam konteks kekinian, buku ini sangat relevan. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini dengan menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana nilai-nilai luhur para sahabat dapat diterapkan dalam kehidupan modern? Kepemimpinan yang etis, pengabdian tanpa pamrih, keberanian menegakkan kebenaran, dan transformasi spiritual adalah pelajaran utama yang disajikan.

 

Namun, tentu tidak ada karya yang sempurna. Kritik terhadap Rijāl Ḥawla al-Rasūl adalah bahwa fokus narasi lebih pada sisi personal dan moral ketimbang analisis sosial-politik yang mendalam. Beberapa pembaca akademisi mungkin menganggap pendekatan naratifnya kurang cukup untuk kajian sejarah yang komprehensif. Selain itu, karena fokus pada 60 sahabat populer, buku ini belum menggali kisah tokoh-tokoh minor yang juga berkontribusi besar dalam perkembangan Islam.

 

Meski begitu, kekuatan narasi dan relevansi tematik buku ini menjadikannya bacaan penting, terutama bagi generasi muda dan khalayak umum yang ingin mendalami sejarah Islam dengan pendekatan yang hidup dan membumi.

 

Sebagai kesimpulan, Rijāl Ḥawla al-Rasūl bukan sekadar biografi. Ia adalah karya yang mengajak kita melihat sahabat Nabi ﷺ bukan sebagai sosok ideal yang jauh dari jangkauan, melainkan sebagai manusia biasa yang penuh dinamika, perjuangan, dan nilai luhur yang bisa diteladani. Dalam pergulatan hidup modern yang penuh tantangan, kisah-kisah ini bukan hanya menginspirasi, tetapi menjadi pegangan moral dan spiritual yang amat berharga.

 

Dalam menghadapi krisis nilai dan pergeseran sosial hari ini, merawat dan menghidupkan kembali kisah sahabat dalam perspektif humanisme modern adalah usaha penting agar sejarah Islam tidak menjadi sekadar catatan masa lalu, tetapi menjadi cahaya penuntun masa depan.

 

Referensi utama:

Khalid Muhammad Khalid, Rijāl Ḥawla al-Rasūl, Dar al-Fikr, Beirut, 1994 (Terjemahan Qisthi Press, Indonesia, 2015).

 

H. Wahyu Iryana, Sejarawan UIN Raden Intan Lampung, Menulis Buku Historiografi Islam.