Pernik

Balasan dari Langit: Menunggu Kehancuran Israel atas Serangan Iran

Senin, 16 Juni 2025 | 18:45 WIB

Balasan dari Langit: Menunggu Kehancuran Israel atas Serangan Iran

Perang Iran-Israel (ilustrasi: Istimewa)

Iran tidak membalas secara gegabah. Ketika Israel meluncurkan rudal-rudalnya ke berbagai kota strategis seperti Isfahan, Tabriz, dan Mashhad pada Minggu, 15 Juni 2025, Iran memilih diam dalam 12 jam pertama. Namun, pada Senin, 16 Juni 2025, dunia menyaksikan bagaimana sebuah bangsa yang selama puluhan tahun dibungkam, dijatuhkan, dan dibatasi, menunjukkan kapasitas perlawanan dengan kekuatan iman, takwa, dan ilmu pengetahuan.

 

Lebih dari 350 rudal dan drone diluncurkan dari berbagai wilayah Iran menuju fasilitas militer Israel di Negev, Haifa, dan dataran Tiberias. Ini adalah pertama kalinya Iran secara resmi menyerang Israel secara langsung, bukan lewat proksi. Sejak Revolusi Islam 1979, inilah saat paling menentukan ketika Iran menyampaikan kepada dunia: kami siap berdiri sendiri.

 

Serangan Israel pada 15 Juni 2025 diberi nama “Operasi Rising Lion”. Lebih dari 100 titik strategis di Iran menjadi sasaran. Data dari Kementerian Kesehatan Iran mencatat sedikitnya 224 orang tewas, termasuk 60 anak-anak, dan lebih dari 1.200 lainnya luka-luka. Target utama mencakup fasilitas rudal di Isfahan, kantor komunikasi militer di Mashhad, dan sejumlah basis IRGC. Israel berdalih bahwa serangan ini merupakan “langkah preemptif,” tetapi justifikasi tersebut ditanggapi dunia dengan protes, termasuk dari negara-negara Non-Blok.

 

Sebaliknya, Iran meluncurkan serangan balasan pada 16 Juni yang diprogram secara presisi dan penuh pertimbangan etis. Tidak ada rumah sakit atau kawasan sipil yang dijadikan target. Laporan dari sejumlah lembaga pemantau menyatakan bahwa 80 persen rudal Iran diarahkan ke fasilitas militer aktif, termasuk pangkalan udara Ramon, pos radar Iron Dome, dan pusat komando Elbit Systems di Negev. Di pihak Israel, laporan resmi mencatat 24 korban tewas dan 592 luka-luka akibat serangan Iran. Sistem pertahanan udara seperti Iron Dome dan David’s Sling hanya mampu mencegat 70–80 persen dari total serangan, menandakan efektivitas Iran dalam menembus pertahanan berlapis Israel.

 

Di tengah dominasi narasi militer Barat yang berorientasi pada superioritas senjata dan teknologi, Iran memilih pendekatan berbeda. Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran, dalam pidato Idul Adha 2024 menyatakan bahwa mereka tidak bertarung karena ingin perang, melainkan karena tak ingin tunduk kepada kezaliman. Dalam pemikiran strategis Iran, iman bukan hanya soal akidah pribadi, melainkan menjadi fondasi nasional. Kesabaran berbulan-bulan setelah pembunuhan Brigjen Mohammad Reza Zahedi dalam serangan Israel ke Damaskus pada April 2024 adalah bukti tingkat kedewasaan politik dan ketahanan spiritual Iran.

 

Iran menahan diri sejak April 2024 ketika konsulatnya di Damaskus diserang. Sejumlah pendekatan diplomatik melalui Qatar dan Oman telah dilakukan, tetapi Israel tetap memilih jalur militer. Ketika serangan pada 15 Juni terjadi, Iran merasa waktu pembalasan yang sah telah tiba. Namun, pembalasan itu bukan bentuk emosional yang liar, melainkan tanggapan strategis yang terbatas dan terukur. Ini menunjukkan doktrin yang bukan hanya berbasis kekuatan, tetapi juga etika.

 

Dalam hal teknologi, Iran telah mencatatkan kemajuan luar biasa. Laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 2024 mencatat bahwa Iran berada di peringkat kelima dunia dalam pengembangan drone dan rudal balistik di antara negara-negara berkembang. Program rudal balistik mereka meliputi Shahed-136 dan Shahed-238 yang mampu menjangkau lebih dari 2.000 kilometer, serta Fattah-2, rudal hipersonik berkecepatan Mach 15 dengan kemampuan manuver antiradar. Semua itu dikembangkan bukan lewat pembelian, tetapi melalui riset dalam negeri yang menyatukan universitas teknik, militer, dan bahkan pesantren.

 

Pada 2023, publikasi ilmiah Iran dalam bidang teknik dan fisika termasuk yang tertinggi di dunia Islam menurut UNESCO. Iran memadukan ideologi dan teknologi dalam satu kerangka kebangsaan. Pendidikan tinggi tidak hanya diarahkan untuk pasar kerja, tetapi juga untuk membangun kedaulatan. Inilah sebabnya mengapa Iran mampu berdiri di bawah tekanan sanksi selama lebih dari empat dekade.

 

Dalam bidang pertahanan siber, Iran juga berkembang pesat. Mereka memiliki divisi pertahanan digital yang berhasil mencegah infiltrasi sistem komando militer selama gelombang pertama serangan Israel. Bahkan menurut laporan dari Al-Jazeera dan Reuters, Iran meluncurkan serangan siber balik ke dua server komando Israel yang mengatur logistik rudal Jericho dan sistem komunikasi IDF di Negev. Hal ini menunjukkan kesiapan Iran tidak hanya di medan fisik, tetapi juga dalam medan elektronik.

 

Serangan balasan ini juga berdampak besar di kancah internasional. Liga Arab mengadakan sidang darurat, sementara Turki, Qatar, dan Malaysia menyatakan dukungan moril terhadap hak Iran membela diri. Sebaliknya, Amerika Serikat dan Inggris mengecam tindakan Iran dan menyebutnya provokatif. Presiden Amerika bahkan membuka kemungkinan pengerahan armada kelima di Laut Merah jika eskalasi berlanjut. Namun menariknya, banyak negara Selatan seperti Brasil, Afrika Selatan, dan India menyerukan agar Dewan Keamanan PBB tidak bersikap bias.

 

Kenaikan harga minyak dunia tak terhindarkan. Pasca-serangan, harga minyak mentah melonjak 11 persen dan Brent menyentuh angka USD 76 per barel. Kenaikan ini menunjukkan bagaimana konflik regional yang tampaknya jauh, sejatinya berdampak global. Iran sebagai salah satu penghasil utama minyak dunia memiliki posisi strategis dalam menentukan stabilitas pasar energi global.

 

Kisah ini bukan sekadar ketegangan militer dua negara. Ini adalah pelajaran besar bagi dunia Islam dan dunia ketiga. Iran membuktikan bahwa kemandirian sejati bukan hanya ditentukan oleh seberapa banyak senjata dimiliki, tetapi oleh seberapa kuat integritas spiritual, kedaulatan ilmu, dan etika kebangsaan ditegakkan. Ketika banyak negara Muslim sibuk mengimpor sistem pertahanan dari Barat, Iran menempuh jalan terjal untuk membangun sendiri kekuatannya, walau mahal dan penuh pengorbanan.

 

Serangan balasan Iran menjadi momentum yang mencerminkan bagaimana kekuatan sejati tidak datang dari kemewahan, tetapi dari keteguhan akal, konsistensi moral, dan keberanian strategis. Dunia mungkin terbelah dalam menilai langkah Iran, tetapi tidak bisa memungkiri bahwa negeri para penyair dan filosof itu telah menunjukkan bagaimana bangsa yang tertindas mampu berbicara lantang dan terukur.

 

Di tengah dunia yang dipenuhi manipulasi informasi dan propaganda kekuatan, Iran membalas bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menunjukkan bahwa martabat tidak bisa dibungkam. Dunia Islam, dan negara-negara yang mendamba kedaulatan sejati, harus belajar dari ketenangan strategis ini. Ketika iman, takwa, dan ilmu pengetahuan berpadu, maka langit pun bersuara.

 

H. Wahyu Iryana, Penulis Buku Gerakan Syiah di Nusantara dan Jurnal berjudul Revolusi Putih Iran 1979