Pernik

Kisah-Kisah Lucu dalam Kitab Al-Isti‘āb: Humor, Kebijaksanaan, dan Sisi Manusiawi Para Sahabat

Rabu, 2 April 2025 | 14:02 WIB

Kisah-Kisah Lucu dalam Kitab Al-Isti‘āb: Humor, Kebijaksanaan, dan Sisi Manusiawi Para Sahabat

Kitab Al-Isti‘āb fī Ma‘rifat al-Ashhāb karya Ibnu Abdil Barr (978–1071 M) yang membahasa sahabat Nabi (Ilustrasi: Yudi Prayoga)

Di antara kitab-kitab klasik yang membahas biografi para sahabat Nabi, Al-Isti‘āb fī Ma‘rifat al-Ashhāb karya Ibnu Abdil Barr (978–1071 M) termasuk salah satu rujukan utama. Kitab ini mencatat nama-nama sahabat, kisah perjuangan mereka, serta peran mereka dalam Islam. Namun, di balik kisah-kisah penuh keteladanan itu, tersembunyi anekdot dan humor yang memperlihatkan sisi manusiawi para sahabat.

 

Dalam Islam, humor bukan sesuatu yang dihindari. Bahkan Nabi Muhammad sendiri dikenal sebagai pribadi yang penuh kelembutan, sering tersenyum, dan sesekali bercanda dengan para sahabatnya. Kisah-kisah dalam Al-Isti‘āb menjadi bukti bahwa generasi terbaik Islam juga memiliki selera humor yang sehat dan cerdas.

 

Abu Darda’ (Uwaimir bin Malik), seorang sahabat yang dikenal zuhud dan bijaksana, memiliki kebiasaan ibadah yang sangat ketat. Namun, hal ini justru membuat istrinya khawatir. Suatu hari, Salman al-Farisi berkunjung ke rumah Abu Darda’ dan melihat istrinya berpakaian lusuh. Salman pun bertanya, dan istrinya menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ tidak lagi peduli pada dunia. Ia sibuk beribadah dan meninggalkan istrinya.”

 

Mendengar ini, Salman menegur Abu Darda’ dengan nasihat yang terkenal: “Sesungguhnya, tubuhmu memiliki hak atasmu, istrimu memiliki hak atasmu, dan tamumu memiliki hak atasmu. Maka, berikanlah setiap hak kepada pemiliknya.”

 

Betapa lucunya situasi ini! Seorang istri yang mungkin merasa ‘dilupakan’ oleh suaminya karena terlalu sibuk beribadah, lalu seorang sahabat yang dengan santai menasihati, “Jangan terlalu serius, bahagiakan juga istrimu!”

 

Anas bin Malik adalah sahabat Nabi yang sejak kecil telah membantu beliau. Ia meriwayatkan banyak hadits dan menyaksikan berbagai peristiwa bersejarah. Namun, salah satu kisah paling menggemaskan adalah ketika Nabi melihat seorang anak kecil yang tampak sedih.

 

Nabi bertanya, “Mengapa engkau bersedih?”

 

Anak kecil itu menjawab, “Burung pipitku mati.”

 

Alih-alih memberikan ceramah panjang, Nabi justru menghiburnya dengan nada bercanda, “Wahai Abu ‘Umair, bagaimana kabar burung pipitmu?”

 

Anak itu tertawa dan seketika melupakan kesedihannya. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi dan para sahabat bukanlah orang-orang yang selalu serius. Mereka tahu kapan harus bercanda untuk menghibur dan meringankan beban orang lain.

 

Umar bin Khattab terkenal sebagai pemimpin yang tegas, tetapi siapa sangka bahwa di rumah, ia menghadapi tantangan lain: istrinya yang cerewet! Suatu hari, seorang laki-laki datang ke rumah Umar untuk mengadukan istrinya yang suka marah-marah. Namun, sebelum ia sempat mengeluhkan masalahnya, ia justru mendengar istri Umar sedang memarahi sang khalifah. Yang mengejutkan, Umar hanya diam dan mendengarkan.

 

Melihat ini, laki-laki itu terkejut. Umar kemudian berkata dengan santai, “Ia memasakkan makanan untukku, mencuci pakaianku, menyusui anak-anakku, dan menjaga rumahku. Bagaimana mungkin aku tidak bersabar atas sedikit omelannya?”

 

Kisah ini membuat kita tertawa sekaligus kagum. Umar yang begitu tegas di medan perang, ternyata sangat sabar menghadapi istrinya di rumah!

 

Abu Hurairah terkenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Ia juga dikenal humoris. Suatu hari, seseorang memberinya minyak wangi. Namun, ketika orang itu mencoba mengoleskan minyak wangi ke tangannya, Abu Hurairah menolak dengan bercanda, “Aku tidak mau menyentuhnya karena aku takut ditanya oleh Allah pada hari kiamat: ‘Hai Abu Hurairah, mengapa kau gunakan minyak wangi itu dan tidak kau bagikan kepada saudaramu?’”

 

Kisah ini mengundang tawa, tetapi sekaligus menunjukkan kebijaksanaan Abu Hurairah. Ia memahami ajaran Islam tentang berbagi dan menggunakan humor untuk menyampaikannya dengan cara yang ringan.

 

Ada juga kisah seorang sahabat yang polos bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, apakah aku juga akan masuk surga?” Nabi pun menjawab dengan senyum, “Ya, jika engkau beriman dan beramal saleh.” Ia kemudian menimpali, “Lantas, apakah di surga ada unta?”

 

Pertanyaan ini membuat para sahabat lain tertawa, tetapi Nabi menjawab dengan penuh kelembutan, “Di surga tidak ada unta seperti yang kau kenal, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih baik darinya.”

 

Betapa polos dan jujurnya pertanyaan ini! Ia tak bertanya soal kemewahan atau pahala besar, melainkan tentang unta hewan yang begitu dekat dengan kehidupannya. Humor dalam kisah ini mengajarkan bahwa keimanan tidak harus kering, melainkan bisa dirayakan dengan kepolosan dan keluguan yang jujur.

 

Beberapa kisah dalam Al-Isti‘āb juga menunjukkan bagaimana para sahabat menggunakan humor sebagai alat dakwah. Ada cerita tentang seorang sahabat yang dihina karena kulitnya yang gelap. Ketika seseorang mengolok-oloknya, ia justru menjawab santai, "Jangan khawatir, aku akan lebih putih di surga!"

 

Balasan cerdas ini bukan sekadar humor, tetapi juga bentuk ketegaran dan keyakinan yang dalam akan janji Tuhan. Humor dalam Islam bukanlah sekadar candaan kosong, tetapi memiliki makna mendalam sebagai alat untuk meredakan ketegangan, mengajarkan kebijaksanaan, dan menyebarkan kebaikan.

 

Dalam dunia Islam modern yang kadang dipenuhi ketegangan akibat perbedaan pandangan, kisah-kisah seperti ini perlu kembali dihidupkan. Islam bukanlah agama yang kaku, tetapi penuh kelembutan dan kehangatan. Ibnu Abdil Barr, dengan kecerdasannya dalam menyusun Al-Isti‘āb, menunjukkan bahwa bahkan dalam biografi para sahabat, ada ruang untuk humor yang sehat dan penuh hikmah.

 

Mungkin sudah saatnya para dai, akademisi, dan bahkan masyarakat umum lebih banyak menggali sisi humor dalam sejarah Islam. Humor yang baik bukan hanya membuat kita tertawa, tetapi juga mengajarkan kebijaksanaan dengan cara yang lebih ringan. Dan tentu saja, sebagaimana kisah sahabat yang bertanya tentang unta di surga, kita pun boleh berharap ada tawa yang suci di kehidupan setelah dunia ini.
 

 

H. Wahyu Iryana, Penulis Merupakan Sejarawan Muslim UIN Raden Intan Lampung.