Dari Saudagar Batik Ke Guru Bangsa; Syarikat Dagang Islam 1905 dan Api Nasionalisme HOS Tjokroaminoto
Kamis, 12 Juni 2025 | 14:21 WIB
Wahyu Iryana
Penulis
Pada awal abad ke-20, di tengah keterjajahan yang menyesakkan, lahirlah sebuah gerakan yang tak muncul dari ruang elite kolonial, melainkan dari gang-gang sempit di Laweyan dan Kauman, tempat para saudagar batik Muslim pribumi menggenggam sumbu perubahan. Di sanalah, Haji Samanhudi (1868–1956), seorang pengusaha batik asal Surakarta, mendirikan Syarikat Dagang Islamiyah (SDI) pada tahun 1905 organisasi yang kelak menjadi embrio pergerakan nasional modern pertama di Hindia Belanda: Syarikat Islam.
SDI bukan sekadar reaksi spontan terhadap ketidakadilan pasar kolonial. Ia lahir dari kesadaran ideologis yang kuat: bahwa ekonomi adalah medan dakwah dan perniagaan adalah syariat yang menghidupkan umat. Di tengah hegemoni dagang etnis Tionghoa yang dilindungi pemerintah kolonial (lihat Verslag van den Handel in Nederlandsch-Indië, 1904–1905), para saudagar pribumi Muslim menghadapi diskriminasi harga, pajak tidak adil, dan akses terbatas pada modal serta distribusi.
Filosofi Batik dan Huruf Ba: Islam sebagai Ruh Ekonomi
Bagi Haji Samanhudi, batik bukan sekadar produk budaya, tetapi simbol perlawanan dan ekspresi identitas Muslim pribumi. Dalam tafsir sufistiknya, batik lahir dari “huruf Ba” dalam Bismillahirrahmanirrahim huruf pertama dari wahyu ilahi, yang dalam proses sejarah penulisan Arab memperoleh titik di bawah oleh Imam Sibawaih (w. 180 H), pelopor tata bahasa Arab. Maka “Ba” yang dititik, menjadi “Batik” simbol keterhubungan antara spiritualitas dan materialitas.
Batik bukan produk kejawen, sebagaimana sering diklaim, melainkan wujud nyata dari tafsir kultural Islam Nusantara. Kaum santri Kauman dan Laweyan secara konsisten mengenakan batik sebagai seragam perjuangan baik dalam forum dagang maupun forum keagamaan. Dalam catatan Koloniaal Verslag 1906, batik dari Laweyan menjadi komoditas utama ekspor ke pasar Eropa dan Timur Tengah, menunjukkan peran sentral saudagar Muslim dalam ekonomi kolonial.
Dari SDI ke SI: Transfigurasi Ekonomi ke Politik
Transformasi SDI menjadi Syarikat Islam (SI) terjadi tahun 1911 di bawah kepemimpinan Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto (1882–1934), putra bangsawan Ponorogo yang juga santri dan intelektual. Di tangannya, SI berubah dari koperasi dagang menjadi organisasi massa bercorak nasionalis-Islami, dengan struktur modern: kongres tahunan, propaganda cetak melalui Oetoesan Hindia, dan pendidikan kader berjenjang.
Menurut data Koloniaal Verslag tahun 1913, SI memiliki lebih dari 360.000 anggota, menjadikannya organisasi terbesar di Hindia Belanda saat itu, jauh melampaui Budi Utomo yang masih eksklusif dan beranggotakan hanya sekitar 10.000 orang. Pada 1916, jumlah anggota SI diperkirakan telah menembus 2,5 juta, tersebar di lebih dari 100 cabang, mulai dari Batavia hingga Palembang, dari Pontianak hingga Makassar (Vereniging van Inlandsche Bestuurders, 1917).
Ekonomi Sebagai Jantung Perlawanan
Bagi SI, ekonomi bukanlah instrumen keuntungan semata, tetapi alat pembebasan. Di bawah konsep syariat dagang, prinsip keadilan sosial, anti-riba, zakat, dan kejujuran dijadikan etos kolektif. Ini selaras dengan hadis Nabi: “Pedagang yang jujur dan amanah kelak bersama para nabi, orang-orang benar, dan para syuhada” (HR Tirmidzi). SI bahkan membentuk koperasi, toko bersama, dan sistem distribusi berbasis jamaah.
Data dari De Indische Gids (1914) mencatat peran SI dalam membendung monopoli distribusi barang-barang pokok, seperti beras, gula, dan kain. Dalam Kongres SI 1917 di Bandung, Tjokro menyampaikan pidato penting tentang ekonomi Islam dan perlunya penyatuan umat dalam sistem ekonomi mandiri, sebuah ide yang hari ini selaras dengan semangat koperasi syariah modern.
HOS Tjokroaminoto: Dari Guru Dagang ke Guru Bangsa
Tjokroaminoto bukan sekadar organisator ulung; ia adalah pemikir politik Islam progresif. Dalam tulisannya Islam dan Sosialisme (1913), ia merumuskan prinsip bahwa Islam tidak bertentangan dengan kebangsaan, dan bahwa keadilan sosial adalah mandat agama. Ia juga menolak nasionalisme sekuler dan kapitalisme kolonial. Islam baginya bukan agama pasif, tetapi kekuatan dinamis yang harus menegakkan keadilan.
Di rumahnya di Peneleh, Surabaya, Tjokro mengasuh para pemuda dari beragam ideologi: Soekarno, Semaoen, Musso, Kartosuwiryo. Mereka menjadi tokoh-tokoh besar republik, sekalipun akhirnya memilih jalan berbeda. Tjokro mempraktikkan inklusivisme ideologis sesuatu yang langka saat itu. Ia paham, membangun bangsa bukan soal menyeragamkan pikiran, tapi menghidupkan ukhuwah wathaniyah.
Nasionalisme Berbasis Syariat
Tidak seperti Indische Partij yang sekuler-radikal atau Budi Utomo yang aristokratis, SI menawarkan model kebangsaan berbasis nilai-nilai Islam. Dalam Kongres Nasional SI di Surabaya (1913), untuk pertama kalinya kata “Indonesia” digunakan secara terbuka dalam pidato politik. SI menjadi pelopor kesadaran kebangsaan yang merakyat, menyentuh petani, pedagang, buruh, dan santri.
Kebijakan kolonial mulai represif sejak 1919, saat SI terbelah menjadi dua: SI Putih (di bawah Tjokro, berhaluan religius) dan SI Merah (berhaluan sosialis-revolusioner). Meski menghadapi tekanan internal dan eksternal, Tjokro tetap memelihara jalur konstitusional. Bahkan pada 1921, SI merumuskan Program Asas dan Tandhim, dokumen organisasi yang menjadi cikal bakal blueprint perjuangan politik modern Indonesia.
Warisan Ekonomi yang Terabaikan
Ironisnya, historiografi nasional lebih sering menempatkan SI sebagai organisasi politik semata, melupakan fondasi ekonominya. Padahal, dalam Notulen Volksraad 1922, disebutkan bahwa SI mendorong pembentukan Bank Islam dan koperasi pedagang kecil di Batavia dan Semarang. Ini adalah cikal bakal dari perbankan syariah modern dan gerakan UMKM hari ini.
Dalam konteks kontemporer, ketika ekonomi Indonesia masih rentan terhadap gejolak global, utang luar negeri, dan dominasi pasar oleh korporasi asing, semangat SDI-SI perlu dihidupkan kembali: ekonomi berbasis komunitas, bermoral, dan membebaskan. Marketplace digital Muslim, koperasi pesantren, hingga fintech syariah bisa menjadi pelanjut estafet Samanhudi dan Tjokro.
Menyalakan Api Indonesia
Tjokroaminoto wafat tahun 1934 dalam keprihatinan, tetapi api yang dinyalakannya membakar kesadaran kolektif bangsa. Bung Karno, dalam autobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), menyebut Tjokro sebagai “guru bangsa yang sesungguhnya”. Tan Malaka menyebut SI sebagai “madrasah politik pertama bagi rakyat.” Bahkan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari pernah menjalin hubungan erat dengan SI, membentuk mata rantai kebangkitan Islam dan nasionalisme Indonesia.
Refleksi dari Pasar Laweyan
Jika Haji Samanhudi hidup hari ini, mungkin ia akan membentuk platform dagang digital syariah berbasis koperasi santri. Jika Tjokro hadir di tengah gejolak demokrasi hari ini, mungkin ia akan menggagas etika politik Islam yang menolak populisme kosong dan korupsi berjubah agama. Tapi sejarah tidak mengenal "seandainya." Yang tersisa bagi kita adalah warisan dan kewajiban untuk menyulutnya kembali.
"Jika kamu ingin menjadi pemimpin besar," kata Tjokro, "maka menulislah dengan pena ilmu dan nyalakan dengan bara iman."
H. Wahyu Iryana, Sejarawan Islam dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Sejarah Islam Lampung.
(Tulisan ini dipersembahkan dalam rangka 120 tahun berdirinya Syarikat Dagang Islam, 1905–2025)
Terpopuler
1
Yuk Infak dan Menjadi Bagian Pengadaan Ambulans Ke-7 NU Peduli Pringsewu 2025
2
Khutbah Jumat: Ilmu dan Adab Lebih Tinggi daripada Nasab
3
3 Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Membangun Masjid
4
KBNU Sidomulyo Gelar Donor Darah, Perkuat Kepedulian Sosial di Lampung Selatan
5
Khutbah Jumat: Bijak dalam Bermedia Sosial
6
Gaji dan TPP ke-13 ASN Lampung Mulai Dicairkan, Total Rp118,7 Miliar
Terkini
Lihat Semua