• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Jangan Lupakan, Peran Santri dalam Kemerdekaan Indonesia 

Jangan Lupakan, Peran Santri dalam Kemerdekaan Indonesia 
ilustrasi perang para santri melawan penjajah
ilustrasi perang para santri melawan penjajah

Membahas masalah santri dan kemerdekaan, bagaikan membahas air dan sungai, dua-duanya tidak bisa dipisahkan. Santri bagaikan sungai dari air yang mengalir untuk merdeka menuju samudra. 

 

Membaca tentang kemerdekaan, bukan sebuah kata yang hanya disematkan pada 17 Agustus 1945, karena merdeka memiliki 4 waktu perjuangan, yakni perjuangan untuk merdeka, perjuangan ketika proklamasi kemerdekaan,  perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan perjuangan mengisi kemerdekaan. Keempat perjuangan tersebut tidak bisa dipisahkan dari para pejuang di Indonesia termasuk para kiai dan santri.

 

Pada hakikatnya santri merupakan ruh negara Indonesia itu sendiri. Dan pada aktivitasnya santri merupakan sekelompok orang yang menuntut ilmu agama kepada seorang kiai, baik dengan cara mondok (mukim), atau nonmukim (kalong). 

 

Kehidupan para santri sejak sebelum kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan, selalu bergesekan dengan sosial dan antropologi Indonesia. Salah satunya mengalami penjajahan dan melawan penjajah. 

 

Jika dapat dihitung dan didata secara rinci, mungkin sudah berjuta-juta para santri dan kiai berjuang bagi bangsa Indonesia, karena  sebelum kemerdekaan kita bisa mengingat sejarah perlawanan para santri dan kiai,


Ada perlawanan santri di Sumatera Barat (1821-1828), Perang Jawa (1825-1830), Perlawanan di Barat Laut Jawa pada 1840 dan 1880, serta Perang Aceh pada 1873-1903. Sementara di Jawa Barat, ada Perang Kedongdong (1808-1819). Perang yang terjadi di Cirebon ini melibatkan ribuan santri dalam pertempurannya.

 

Perjuangan santri dalam menyusun kemerdekaan sangat berperan aktif, salah satu santri yang juga putra dari KH. Hasyim Asy'ari, yakni KH Wahid Hasyim, ikut andil dalam pembentukan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan  Indonesia) yang kedepannya menjadi tombak dari pembacaan proklamasi itu sendiri. 

 

Pasca proklamasi kemerdekaan, Indonesia masih dikelilingi penjajah yang ingin menjajah kembali, sehingga para santri dan kiai menjadi garda terdepan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satu peran santri dalam mempertahankan kemerdekaan yakni terjadinya perang 10 November yang dihimpun oleh Kiai dan para santri se -Jawa dan Madura yang dipimpin oleh Mbah Kiai Abas Buntet, Mbah Kiai Wahab Hasbullah, Mbah Kiai Mahrus Ali, dan kiai-kiai lainnya. 

 

Selain perang 10 November, di Jawa Tengah juga para santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah ikut mempertahankan kemerdekaan, sehingga terjadilah perang di Srondol Semarang dan Ambarawa sekitar November 1945.

 

Ketika sekutu mundur dan dikepung kembali di Semarang, tepatnya di daerah Mranggen, Laskar Hizbullah segera bergerak. Dalam pengepungan di Semarang, dikirim pasukan Hizbullah Batalyon Basuni, yang masih berasal dari Yogyakarta.

 

Salah satu kiai di Semarang, KH Zainuddin bin KH Ilyas waktu nyantri mondok di Tempuran, tempat Kiai Siraj, juga pernah ikut bergabung dengan pasukan Hizbullah dan perang di daerah Srondol Semarang bersama anak kiainya. 

 

Dalam pertempuran di Semarang, sekitar 17 anggota Laskar Hizbullah gugur. Termasuk komandan laskar, yaitu Khudhori, yang menjenguk ajal setelah ditembak dan ditusuk bayonet.

 

Laskar Hizbullah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa silam. Kendati demikian, peran dan sumbangsihnya masih luput dalam pembahasan sejarah.

 

Perjuangan santri tidak berhenti sejak selesainya penjajahan di tanah air. Akan tetapi perjuangan santri selanjutnya, yakni tetap mengisi kemerdekaan dengan mengaji dan mengkaji ilmu agama di pesantren dan ilmu lainnya. 

 

Santri juga ikut mengisi panggung politik, menyemarakkan dunia bisnis, ekonomi, literasi, digital dan militer. Sehingga peran santri tidak akan pernah padam, dan akan selalu mengalir di setiap perubahan zaman di Indonesia.

 

Yudi Prayoga, Santri Pondok Pesantren Al Hikmah Bandar Lampung


Opini Terbaru