• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Pernik

Benarkah KH Hasyim Asy’ari Penentu Tanggal Kemerdekaan RI? Ini Penjelasannya

Benarkah KH Hasyim Asy’ari Penentu Tanggal Kemerdekaan RI? Ini Penjelasannya
KH Hasyim Asyari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama
KH Hasyim Asyari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama


Ketika para pemuda dan tokoh pergerakan nasional  mendorong Soekarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan, Soekarno sempat merasa bimbang. Namun, sesuai kebiasaannya setiap hendak melaksanakan hal-hal penting, Soekarno meminta nasihat dan saran pada ulama. 
 

 

Soekarno kemudian meminta nasihat sekaligus restu tokoh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari terkait waktu dan tanggal kemerdekaan yang tepat. Meminta nasihat terjadi ketika Bung Karno dan kawan-kawan hendak memproklamasikan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan, Bung Karno sowan Kiai Hasyim Asy’ari.
 

Harratussyeikh memberi masukan, hendaknya proklamasi dilakukan hari Jumat pada Ramadhan. Jumat itu Sayyidul Ayyam (penghulunya hari), sedangkan Ramadhan itu Sayyidus Syuhrur (penghulunya bulan). Hari itu tepat 9 Ramadhan 1364 H, bertepatan dengan 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

 

Hal itu terungkap dalam catatan Aguk Irawan MN dalam Sang Penakluk Badai: Biografi KH Hasyim Asy’ari (2012), seperti dilansir dari KH Hasyim Asy’ari Penentu Tanggal Kemerdekaan RI? Dalam catatan tersebut, Aguk menyatakan bahwa awal Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 8 Agustus, utusan Bung Karno datang menemui KH Hasyim Asy’ari untuk menanyakan hasil istikharah para kiai, sebaiknya tanggal dan hari apa memproklamirkan kemerdekaan. 
 

Dipilihlah hari Jumat (sayyidul ayyam) tanggal 9 Ramadhan (sayyidus syuhur) 1364 H tepat 17 Agustus 1945. Bung Karno dan ribuan orang di lapangan saat itu, dalam keadaan berpuasa semua berdoa dengan menengadahkan tangan ke langit untuk keberkahan negeri ini. 

 

Tak lama dari itu, sahabat Mbah Hasyim semasa belajar di Makkah (Hijaz) yang memang selama itu sering surat-menyurat, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, mufti besar Palestina untuk pertama kali memberikan dukungan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia.

 

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pemilihan hari kemerdekaan Indonesia dikonsultasikan terlebih dahulu kepada KH Hasyim Asy’ari. Lalu Kiai Hasyim mengumpulkan para ulama secara bersama-sama untuk melakukan munajat kemudian istikharah agar Allah memberi petunjuk hari yang tepat.

 

Maka setelah para ulama memusyawarahkan hasil istikharahnya, dipilihlah tanggal 9 Ramadhan 1364 H yang bertepatan dengan hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945. Angka Sembilan adalah simbol numerik tertinggi, hari Jumat adalah penghulu atau raja-nya hari dalam sepekan dan Ramadhan adalah rajanya bulan dalam setahun.

 

Adapun naskah proklamasi disusun dinihari jelang 17 Agustus 1945, di rumah Laksamana Tadashi Maeda (kini Jalan Imam Bonjol Nomor 1). Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, BM Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Beberapa orang Jepang, selain Maeda, juga ada di sana.

 

Diantara peristiwa besar tersebut, sebelumnya para tokoh pergerakan nasional dan juga para ulama jauh-jauh hari telah mempersiapkan dasar negara yang akan menjadi pijakan Indonesia merancang Undang-Undang. Seperti dasar negara Pancasila yang pertama kali dimunculkan pada 1 Juni 1945.

 

Hal itu menunjukkan rekam jejak perjuangan panjang bangsa Indonesia yang terus berupaya meraih kemerdekaan setelah pertarungan fisik dan senjata yang kerap kali terjadi. Para tokoh pergerakan nasional, termasuk para ulama pesantren berjuang mempersiapkan diri untuk menjadi sebuah negara dengan merancang dasar negara. Di sini KH Wahid Hasyim berperan besar.

 

Fakta ini membantah klaim Belanda yang mengatakan bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah bentukan Jepang. Padahal sudah diperjuangkan dan telah dipersiapkan secara matang oleh para tokoh bangsa. Perlu diketahui bahwa hingga saat ini, Belanda hanya mengakui penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

 

Peran NU dalam mempersiapkan berdirinya negara bangsa bahkan dilakukan lima tahun sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan resmi menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta untuk memegang tampuk kepemimpinan nasional dalam Muktamar ke-15 NU pada 15-21 Juni 1940 di Surabaya, Jawa Timur.
Selain sejumlah problem bangsa, dalam Muktamar ini, NU membahas sekaligus memutuskan perihal kepemimpinan nasional. Keputusan ini berangkat dari keyakinan NU bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia akan segera tercapai. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)

 

Hal itu ditindaklanjuti dengan menggelar rapat tertutup guna membicarakan siapa calon yang pantas untuk menjadi presiden pertana Indonesia. Rapat rahasia ini hanya diperuntukkan bagi 11 orang tokoh NU yang saat itu dipimpin oleh KH Mahfudz Shiddiq dengan mengetengahkan dua nama yaitu Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Rapat berakhir dengan kesepakatan Soekarno calon presiden pertama, sedangkan Mohammad Hatta yang ketika itu hanya mendapat dukungan satu suara, sebagai wakil presiden.

 

Pembahasan calon presiden pertama dalam Muktamar Ke-15 NU tersebut menunjukkan kematangan NU dalam mengkaji masalah-masalah sosial-politik kala itu. Bahkan, ketika peneguhan negara pasca-proklamasi kemerdekaan kembali mendapat gangguan penjajahan maupun pemberontakan, NU tegas mempertahankan konsep kepemimpinan nasional berbasis negara bangsa. 

 


Pernik Terbaru