Syiar

Hukum Menerima Hadiah dari Iuran Perlombaan

Jumat, 16 Agustus 2024 | 19:00 WIB

Hukum Menerima Hadiah dari Iuran Perlombaan

Ilustrasi perlombaan (Foto: NU Online)

Sudah menjadi lazim, setiap menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus, warga negara Indonesia selalu menyambut dengan antusias dan riang gembira, salah satunya dengan mengadakan beragam perlombaan. 


Perlombaan merupakan permainan yang selalu diapresiasi dengan hadiah yang menarik. Tak jarang juga setip perlombaan ada yang dipungut biaya terlebih dahulu, untuk memperlancar perlombaan maupun hadiah perlombaan.


Sebenarnya biaya pendaftaran merupakan sesuatu yang lazim. Sebagian panitia penyelenggara lomba atau kontestasi dalam bidang tertentu menarik uang pendaftaran dari peserta lomba. Akan tetapi, apakah hal tersebut dibenarkan dalam agama?


Dilansir dari NU Online, perlombaan dengan pungutan uang pendaftaran pernah diangkat dalam forum Muktamar ke-30 NU di Kediri, Jawa Timur, pada tahun 1999 M. Perlombaan, menurut forum ini, pada dasarnya boleh diselenggarakan sejauh tidak menggunakan biaya dari masing-masing peserta sebagai hadiah bagi pemenang lomba. 


Forum ini mendasarkan pandangannya pada kriteria hadiah yang umum dijelaskan di kitab-kitab fiqih. Forum ini mengutip salah satunya Hasyiyatul Bajuri sebagai berikut.


وَإِنْ أَخْرَجَاهُ أَيِ الْعِوَضَ الْمُتَسَابِقَانِ مَعًا لَمْ يَجُزْ ... وَهُوَ أَيِ الْقِمَارُ الْمُحَرَّمُ كُلُّ لَعْبٍ تَرَدَّدَ بَيْنَ غَنَمٍ وَغَرَمٍ 


Artinya: Jika kedua pihak yang berlomba mengeluarkan hadiah secara bersama, maka lomba itu tidak boleh ... dan hal itu, maksudnya judi yang diharamkan, adalah semua bentuk permainan yang masih simpang siur antara untung dan ruginya (Syekh Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyatul Bajuri ‘ala Fathil Qarib, [Singapura, Sulaiman Mar’i: tanpa tahun], jilid II, halaman 310). 


Forum Muktamar ke-30 NU di Kediri pada 1999 memutuskan bahwa lomba dengan menarik uang saat pendaftaran dari peserta untuk hadiah termasuk judi. Sedangkan perlombaan yang menggunakan uang pendaftaran bukan untuk hadiah tidak termasuk judi.


قوله (كُلُّ مَا فِيْهِ قِمَارٌ) وَصُوْرَتُهُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهَا أَنْ يَخْرُجَ الْعِوَضُ مِنَ الْجَانِبَيْنِ مَعَ تَكَافُئِهِمَا وَهُوَ الْمُرَادُ مِنَ الْمَيْسِرِ فِيْ اْلآيَةِ. وَوَجْهُ حُرْمَتِهِ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَنْ يَغْلِبَ صَاحِبَهُ فَيَغْنَمَ. فَإِنْ يَنْفَرِدْ أَحَدُ اللاَّعِبَيْنِ بِإِخْرَاجِ الْعِوَضِ لِيَأْخُذَ مِنْهُ إِنْ كَانَ مَغْلُوْبًا وَعَكْسُهُ إِنْ كَانَ غَالِبًا فَاْلأَصَحُّ حُرْمَتُهُ أَيْضًا 


Artinya: (Setiap kegiatan yang mengandung perjudian) Bentuk judi yang disepakati adalah hadiah berasal dua pihak disertai kesetaraan keduanya. Itulah yang dimaksud al-maisir dalam ayat al-Qur’an (Surat Al-Maidah ayat 90). Alasan keharamannya adalah masing-masing dari kedua pihak masih simpang siur antara mengalahkan lawan dan meraup keuntungan -atau dikalahkan dan mengalami kerugian-. Jika salah satu pemain mengeluarkan hadiah sendiri untuk diambil darinya bila kalah, dan sebaliknya–tidak diambil–bila menang, maka pendapat al-Ashah mengharamkannya pula (Syekh Muhammad Salim Bafadhal, Is’adur Rafiq Syarh Sulamut Taufiq, [Indonesia, Dar Ihya’il Kutubil ‘Arabiyah: tanpa tahun], juz II, halaman 102). 


Forum Muktamar Ke-30 NU di Kediri pada 1999 M menawarkan solusi untuk penyelenggaraan lomba berhadiah, yaitu uang pendaftaran tidak menjadi hadiah, hadiah diperoleh dari sumber lain (sponsor), dan jenis yang dilombakan tidak termasuk dalam larangan syari’at seperti keterampilan dalam perang, jalan cepat, memanah, menembak, balap kuda, dan lain-lain. 


Demikianlah penjelasan dari permasalahan seputar pungutan biaya untuk perlombaan. Jika uang pungutan dijadikan untuk hadiah, maka hukumnya haram, dan jika hanya digunakan untuk operasional, maka boleh-boleh saja (mubah). Akan tetapi jika kita ingin tetap memberikan hadiah bagi yang lomba, maka carikan saja sponsor dari luar (di luar uang pungutan).