Pernik

Refleksi Bernegara dalam Bingkai Kitab Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah

Rabu, 11 Juni 2025 | 10:00 WIB

Refleksi Bernegara dalam Bingkai Kitab Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah

Seputar kitab Ahkamul Sulthaniyyah (Foto: NU Online)

Kapan terakhir kita membayangkan negara berjalan tanpa arah, pemerintahan kacau-balau, hukum tak berpijak, dan elite sibuk berebut kekuasaan sementara rakyat terjerembab dalam kekurangan dan ketakutan? Kita mungkin akan menyebut Afghanistan, Sudan, Haiti, atau bahkan dalam bisik-bisik: “kita sudah mendekati ke sana.”

 

Dalam kekacauan wacana soal tata negara, kitab al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah karya Imam al-Māwardī (972–1058 M) menjadi teks klasik yang terus berdetak relevansinya. Ditulis hampir seribu tahun lalu pada masa Daulah Abbasiyah mengalami krisis otoritas, kitab ini adalah refleksi cerdas seorang cendekiawan Islam terhadap pertanyaan mendasar: bagaimana negara tetap berjalan saat pemimpin tak lagi ideal?

 

Kini, di tengah krisis multidimensi yang melanda banyak negara Muslim termasuk Indonesia yang demokrasi elektoralnya semakin mahal dan rusak oleh politik uang kitab ini tampil sebagai cermin keras: negara bukanlah kumpulan acara seremonial, melainkan struktur tanggung jawab yang harus dijalankan bahkan dalam keadaan tidak ideal.

 

Negara tanpa pemimpin mungkinkah?

Kitab al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah (Hukum-Hukum Kenegaraan) lahir dalam konteks kejatuhan otoritas khalifah Abbasiyah. Kekuasaan nyata berada di tangan para amir dan gubernur militer (buyid), sementara khalifah tinggal simbol.

 

Al-Māwardī, seorang hakim (qadhi), diplomat, sekaligus teolog, menulis kitab ini bukan untuk menumbangkan sistem, melainkan menyelamatkan esensi negara: ketertiban, keadilan, dan perlindungan terhadap umat. Ia menjelaskan secara sistematis jabatan-jabatan dalam negara Islam: khalifah, wazir (menteri), qadhi (hakim), muḥtasib (pengawas pasar), hingga kepala keamanan.

 

Ia tidak bicara utopia khilafah ala slogan politis hari ini, melainkan tata kelola realistis: jika penguasa tidak ideal, sistem tetap harus berjalan.

 

Kitab ini bukan legitimasi kekuasaan mutlak. Sebaliknya, ia menjadi framework accountability. Dalam bab tentang syarat-syarat pemimpin, al-Māwardī menegaskan bahwa seorang imam (pemimpin negara) harus adil (‘adl), faqih (paham hukum), sehat indera, berani, dan bijak.

 

Ketika syarat ini tidak terpenuhi, misalnya pemimpin buta atau zalim, maka kepemimpinannya dapat gugur. Tapi al-Māwardī juga menyadari, dalam dunia nyata, ideal tidak selalu hadir. Maka, negara tidak boleh berhenti hanya karena pemimpin tidak paripurna.

 

Relevansi di tengah demokrasi retak

Kita hidup di era di mana sistem demokrasi liberal seolah menjadi pilihan tunggal. Tapi hari ini, sistem itu sendiri sedang dilanda gejala penuaan dini: korupsi politik, polarisasi ekstrem, oligarki merajalela. Data dari The Economist Intelligence Unit (EIU) Democracy Index 2024 menempatkan Indonesia sebagai “flawed democracy”, dengan skor 6.71 dari 10, bahkan menurun dari tahun sebelumnya.

 

Dalam konteks ini, ide al-Māwardī tentang syarat dan tanggung jawab penguasa menjadi batu uji yang relevan. Demokrasi bukan hanya soal menang pemilu, tapi tentang kemampuan menjalankan amanah publik dengan adil dan cakap.

 

Misalnya, dalam sistem modern, pemimpin dipilih melalui pemilu. Tapi, jika hasil pemilu dihasilkan dari praktik politik uang yang masif, keterlibatan cukong, dan hoaks, bukankah itu menciderai semangat keadilan yang jadi inti kepemimpinan dalam kitab al-Aḥkām?

 

Keulamaan dan kebijakan publik

Imam al-Māwardī juga meletakkan landasan penting: peran ulama bukan sekadar penceramah, tapi bagian dari desain institusional negara. Ia mengurai secara rinci jabatan qāḍī (hakim syar’i) yang harus independen dari penguasa, dan muḥtasib yang bertugas memastikan transaksi ekonomi bersih dan adil.

 

Dalam bahasa modern, ia bicara soal independensi lembaga yudikatif dan pengawasan pasar. Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius, karena Transparency International (2024) kembali menempatkan Indonesia pada skor indeks persepsi korupsi (CPI) yang stagnan di angka 34/100, jauh di bawah ideal.

 

Di sinilah tafsir ulang atas al-Aḥkām menjadi mendesak. Ulama tidak boleh larut dalam posisi simbolik belaka. Mereka harus hadir dalam ruang kebijakan: mendorong keadilan ekonomi, keadilan hukum, dan kontrol sosial terhadap kekuasaan yang korup.

 

Negara, rakyat, dan keadilan distributif

Salah satu aspek penting dalam kitab al-Māwardī adalah prinsip distribusi kekayaan negara secara adil. Ia menekankan bahwa baitul mal (kas negara) harus digunakan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk memperkaya elite.

 

Jika prinsip ini kita tarik ke realitas kekinian, maka kebijakan subsidi, bantuan sosial, dan APBN harus mencerminkan prioritas kepada kelompok lemah. Tapi sayangnya, laporan BPK 2023 menunjukkan banyak kasus penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos), mulai dari penyaluran fiktif hingga pengadaan bermasalah.

 

Kita sedang bergerak menjauh dari semangat al-Aḥkām. Bahkan dalam bab tentang zakat dan pajak, al-Māwardī memberi peringatan: pemimpin yang menyalahgunakan harta publik akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Keras, tegas, dan langsung menusuk jantung kekuasaan.

 

Negara adalah tanggung jawab kolektif

Al-Māwardī tidak menulis untuk memuja penguasa, tetapi untuk merumuskan kontrak sosial antara rakyat dan negara. Dalam konteks kekinian, ini dapat dibaca sebagai negara tidak hanya urusan pemerintah, tetapi proyek bersama rakyat, ulama, dan masyarakat sipil.

 

Saat rakyat diam, ulama bungkam, dan intelektual hanya jadi buzzer, maka negara akan berjalan tanpa kontrol. Lalu kekuasaan menjadi absolut dalam diam, dan kerusakan menjadi sistemik.

 

Kita melihat ini di berbagai belahan dunia Islam: dari Libya ke Suriah, dari Myanmar ke Sudan. Dan tak pelak, Indonesia pun tak imun. Oligarki merayap di setiap lini. Politik transaksional menjadi jamak. Kebijakan publik kehilangan arah moral.

 

Tafsir kritis atas warisan klasik

Penting untuk dicatat: al-Aḥkām bukanlah kitab yang sakral tak boleh ditafsir ulang. Kita harus membacanya secara kritis dan historis. Sebagai produk Abad Pertengahan, ia tak luput dari bias zaman, terutama dalam soal pengangkatan penguasa, relasi laki-laki-perempuan, dan sistem sanksi.

 

Namun yang penting bukan sekadar isinya, melainkan semangat dan kerangka berpikirnya: negara adalah alat untuk menegakkan keadilan, bukan alat kepentingan kelompok.

 

Karena itu, pembacaan kitab ini harus diperkaya oleh teori negara modern, HAM, ekonomi politik, dan konteks sosial lokal.

 

Menuju fiqh tata negara yang kontekstual

Kita membutuhkan gerakan baru: tajdid fiqh siyasah pembaruan fikih kenegaraan. Para santri, akademisi, dan ulama muda harus bangkit membaca ulang kitab-kitab klasik seperti al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, Siyāsah Shar’iyyah karya Ibn Taymiyyah, atau al-Mughnī karya Ibn Qudāmah tidak untuk mengulangnya, tetapi untuk melampauinya.

 

Kita tidak hidup di bawah khilafah, tapi di negara demokrasi plural. Maka fikih kenegaraan juga harus melayani prinsip maslahah dalam konteks Pancasila, hukum positif, dan hak-hak minoritas.

 

Antara realitas dan cita-cita

Imam al-Māwardī menulis al-Aḥkām di tengah kekacauan. Tapi ia tidak menulis dengan pesimisme. Ia percaya bahwa negara bisa diselamatkan melalui penataan institusi dan akhlak pemimpin.

 

Kita pun berada dalam situasi serupa. Dunia dan negeri ini sedang goyah. Tapi kita tak boleh menyerah pada kegaduhan. Kita harus kembali pada esensi: keadilan, amanah, dan keberpihakan pada yang lemah.

 

Karena pada akhirnya, sebagaimana kata al-Māwardī, “Kekuasaan adalah amanah yang akan ditanya, bukan anugerah yang dirayakan.”

 

Beberapa data pendukung tulisan ini:

EIU Democracy Index 2024: Indonesia dalam kategori “flawed democracy” dengan skor 6.71.

Transparency International CPI 2024: Skor Indonesia 34/100.

Laporan BPK 2023: Temuan penyimpangan dana bansos di 12 daerah.

Laporan World Bank 2023: Ketimpangan ekonomi Indonesia masih tinggi, dengan indeks GINI 38.7.

Studi PPIM UIN 2022: Literasi politik santri meningkat, tapi masih minim wacana kenegaraan klasik.

 

H. Wahyu Iryana, Penulis Buku Historiografi Islam