Pernik

Imsak Kesadaran Berbangsa Berhenti dari Kerakusan

Jumat, 28 Maret 2025 | 16:16 WIB

Imsak Kesadaran Berbangsa Berhenti dari Kerakusan

mari memahami makna imsak yang lebih luas (Ilustrasi: Istimewa)

Imsak adalah batas. Garis tipis antara boleh dan tidak boleh. Antara menyeruput teh manis dan menahan dahaga. Antara menggigit gorengan dan mulai menata niat. Sejenak sebelum azan Subuh berkumandang, ada detik-detik krusial yang seringkali menjadi perdebatan di meja makan: apakah masih boleh meneguk satu teguk lagi? Atau ini sudah masuk zona haram?

 

Sebagai bangsa yang gemar berdebat dari perkara besar hingga urusan sepele, perbedaan tafsir soal imsak pun kadang menjadi topik diskusi di warung kopi. Ada yang fanatik dengan imsak sebagai peringatan terakhir, ada yang santai menunggu azan sebagai batas mutlak. Lalu ada kelompok unik yang menyiasati dengan satu tangan memegang sendok, satu tangan lagi menggulir layar ponsel mencari dalil yang membenarkan posisi mereka.

 

Tapi mari kita lupakan sejenak perdebatan waktu sahur ini. Imsak, dalam arti yang lebih luas, seharusnya menjadi refleksi tentang batasan dalam kehidupan berbangsa. Ada waktu-waktu tertentu di mana kita harus menahan diri, mengontrol hasrat, dan sadar bahwa tak semua yang bisa dilakukan harus dilakukan.

 

Bangsa yang Lupa Imsak

Jika kita analogikan, bangsa ini seperti orang yang terlalu sibuk makan sahur sampai lupa imsak. Begitu mendengar azan, baru kaget dan buru-buru menelan nasi dengan panik. Atau dalam kasus yang lebih ekstrem, ada yang pura-pura tidak mendengar azan dan terus menyuap sambil berdoa dalam hati, "Semoga Allah paham niat saya."

 

Dalam politik, kita sering melihat pemimpin yang telat imsak. Mereka sibuk mengenyangkan diri dengan kekuasaan, fasilitas, dan segala kenikmatan yang bisa diraih, tanpa sadar bahwa ada batas yang harus dihormati. Ketika suara rakyat sudah seperti azan yang mengingatkan, barulah mereka tergagap dan pura-pura insaf. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan sayangnya, tidak semua bubur bisa disulap jadi bubur ayam yang lezat.

 

Lihatlah bagaimana korupsi masih merajalela. Seharusnya ada imsak dalam kerakusan, ada batas di mana pejabat tahu bahwa mereka sudah cukup, bahwa uang negara bukanlah warisan nenek moyang mereka. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: mereka makan terus, menumpuk kekayaan, sampai lupa bahwa suatu saat waktu berbuka bagi mereka adalah di balik jeruji besi.

 

Imsak dan Kesadaran Kolektif

Dalam kehidupan sosial, imsak juga menjadi cerminan kedewasaan sebuah bangsa. Seperti saat berkendara di jalan raya, misalnya. Orang yang paham imsak tahu kapan harus berhenti di lampu merah, kapan harus menahan diri tidak menyerobot, dan kapan harus memberi jalan bagi orang lain. Sebaliknya, yang tidak paham imsak akan ngebut di perempatan, memotong antrean, dan merasa dunia ini adalah arena balap pribadi.

 

Imsak adalah soal kedisiplinan. Bukan karena takut ditilang, tapi karena sadar bahwa ada aturan yang harus diikuti demi kepentingan bersama. Sayangnya, banyak dari kita yang menganggap aturan hanyalah sesuatu yang fleksibel, bisa dibengkokkan sesuai kebutuhan pribadi.

 

Lihatlah bagaimana aturan hukum diterapkan. Ada yang bisa menikmati keistimewaan, sementara yang lain dihukum tanpa ampun. Seperti orang yang diberi kelonggaran sahur sepanjang hari sementara yang lain harus imsak lebih awal. Jika keadilan itu makanan, maka jelas kita belum cukup kenyang.

 

Imsak dan Demokrasi

Dalam demokrasi, imsak adalah batas di mana kita harus menahan diri dari kebebasan yang kebablasan. Kebebasan berbicara, misalnya, adalah hak setiap warga negara. Tapi ketika kebebasan itu dipakai untuk menyebar hoaks, fitnah, dan kebencian, maka kita sudah kehilangan rasa imsak dalam berpendapat.

 

Media sosial adalah contoh nyata bagaimana banyak orang lupa imsak. Mereka menelan mentah-mentah informasi tanpa saring, lalu memuntahkannya kembali tanpa berpikir. Seperti orang yang langsung minum kopi panas saat sahur tanpa meniupnya terlebih dahulu, lalu terkejut ketika lidahnya melepuh.

 

Kita perlu imsak dalam berpolitik, dalam berbicara, dalam bertindak. Karena tanpa batasan, demokrasi bisa berubah menjadi anarki, kebebasan bisa menjadi bumerang, dan bangsa ini akan terus berada dalam siklus kegaduhan yang tak berkesudahan.

 

Menjaga Imsak, Menjaga Bangsa

Imsak bukan sekadar ritual sahur. Ia adalah pelajaran tentang menahan diri, tentang disiplin, tentang kesadaran bahwa hidup ini bukan hanya tentang diri sendiri. Seperti orang yang harus berhenti makan sebelum azan, kita pun harus tahu kapan harus berhenti dalam ambisi dan keinginan pribadi demi kepentingan yang lebih besar.

 

Jadi, dalam bulan Ramadan ini, mari kita belajar imsak dalam arti yang lebih luas. Bukan hanya menahan lapar dan haus, tapi juga menahan diri dari keserakahan, kebencian, dan kesewenang-wenangan. Karena hanya dengan kesadaran ini, kita bisa menjadi bangsa yang lebih dewasa, lebih tertib, dan lebih beradab.

 

Dan kalau masih ragu soal batas waktu imsak, mungkin ini saatnya kita berhenti sejenak, mendengarkan, dan bertanya pada hati nurani: sudahkah kita benar-benar memahami makna imsak dalam hidup berbangsa?

Selamat berpuasa. Jangan lupa imsak.

 

H. Wahyu Iryana, Penulis Merupakan Sejarawan UIN Raden Intan Lampung.