NU Online

Ini Alasan Islam Menentang Praktik Politik Uang

Jumat, 20 Desember 2024 | 14:38 WIB

Ini Alasan Islam Menentang Praktik Politik Uang

Islam melarang politik uang (Ilustrasi: NU Online)


Praktik politik sering kali diwarnai dengan tindakan suap, baik dalam skala kecil maupun besar. Fenomena yang dikenal sebagai money politics ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses politik, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan pejabat negara.

 

Ironisnya, tindakan ini tidak hanya muncul selama masa pemilihan, tetapi juga kerap ditemukan dalam pemerintahan yang telah berjalan. Lebih memprihatinkan lagi, praktik kriminal ini perlahan dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat. Alih-alih dilihat sebagai tindak pidana, suap sering kali diterima atau bahkan diharapkan, dengan dalih sebagai "hadiah." 

 

Dalam konteks pemilu maupun pilkada, kompetisi antar pasangan calon (paslon) sering kali berubah menjadi perlombaan untuk menggelontorkan uang demi membeli suara pemilih, yang jelas merusak esensi demokrasi. Akibatnya, banyak pihak mengabaikan aspek fundamental seperti penyebab dan dampak dari praktik money politics. 

 

Ketidakpedulian ini mencerminkan hilangnya kesadaran moral yang menjadi fondasi politik yang sehat. Dalam pandangan Islam, menjaga integritas dan keadilan adalah prinsip utama. Namun, ketika moralitas digeser oleh kepentingan sesaat, komitmen terhadap demokrasi yang sehat dan berlandaskan nilai-nilai Islam semakin sulit ditemukan.  

 

Dalam mengetahui faktor utama terjadinya praktik suap, penulis akan memaparkan sebab-sebab praktik suap dari dua sisi. Dari pandangan Islam dan fakta yang terjadi di tengah masyarakat.   Menurut Islam etika dan moral adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi. 

 

Dalam persoalan money politics, tentu Islam punya pandangan yang tegas dalam melarang tindakan kriminal ini. Pada ayat Al-Baqarah ayat 188, secara gamblang dijelaskan bahwa mengonsumsi segala sesuatu melalui harta atau aset yang didapatkan dengan haram, akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa. 

 

Termasuk dalam hal ini adalah praktik suap. Allah berfirman:


 

 وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَࣖ 


 

Artinya: Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

 

Mengenai sebab terjadinya praktik suap di tengah masyarakat, tentu disebabkan oleh banyak faktor. Jika kita melihat penjelasan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawajir (Beirut, Darul Fikri, 1987: II/119), ia meringkas sekian sebab praktik suap menjadi dua faktor.   

 

Faktor pertama, mewujudkan ambisi yang tidak mungkin (shortcut). Ibnu Hajar mengilustrasikan sebab pertama dalam suap seperti penuhnya ember dari jarak jauh dengan disiram. Secara garis besar, yang bersangkutan mencoba mengejawantahkan segala hal yang sulit untuk dijangkau. Namun lantaran suap, hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kita bisa membayangkan, ambisi menjadi pejabat dalam tatanan pemerintahan atau tingkatan lembaga tertentu seakan tidak mungkin untuk dicapai dengan cara adil dan jujur. Sehingga, tindakan suap dipilih untuk mengabulkan ambisi-ambisi tersebut.

 

Selengkapnya baca di sini