Wahyu Iryana
Penulis
Ketika penulis berhaji di tahun 2023, di sela-sela bangunan tua Madinah, seorang mahasiswa asal Indramayu dari pondok pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon duduk bersila, membuka lembaran kuning kecokelatan sebuah manuskrip Arab beraksara Jawi. Di sampingnya, dua koleganya dari Mesir dan Sudan mengangguk-angguk, kagum: "Ini ditulis ulama dari mana?" Si mahasiswa menjawab pelan, “Dari kampung saya.”
Kisah Itupun dituturkan ulang oleh Prof Sumanto Al Kurtuby di Group WA Asosiasi Dosen Pergerakan. Beliau merupakan dosen sejarah Islam Universitas Islam Madinah, yang berbincang tentang bagaimana kitab kuning karya ulama Nusantara menjadi referensi lintas negara. Kitab itu membahas kronik sejarah Islam di wilayah Melayu, termasuk pembentukan kerajaan-kerajaan Islam, perlawanan terhadap kolonialisme, hingga integrasi ajaran tasawuf ke dalam kehidupan bernegara.
Kitab kuning: tak sekadar fikih
Selama ini, kitab kuning diidentikkan dengan ilmu fikih, tauhid, akhlak, atau tasawuf. Namun sebenarnya, spektrum kitab kuning jauh lebih luas. Di pesantren-pesantren tua seperti Babakan Ciwaringin (Cirebon), Termas (Pacitan), Lirboyo (Kediri), hingga Mangkoso (Sulawesi Selatan) dan Darussalam Gontor, terdapat pula kitab-kitab sejarah (tarikh), silsilah, hingga kronik sosial-politik yang ditulis oleh ulama Nusantara.
Kitab-kitab tersebut ditulis dalam bahasa Arab kadang dicampur aksara Pegon dan mengandung nilai historiografi khas Islam. Menariknya, sejarah yang ditulis tidak selalu bersandar pada narasi Timur Tengah. Para ulama lokal dengan percaya diri mencatat peristiwa-peristiwa penting di sekeliling mereka, menafsirkan zaman dengan lensa lokal namun berlandaskan tradisi Islam global.
Dari Singkil hingga Sumbawa
Nama-nama seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili (1615–1693), Syekh Yusuf al-Maqassari (1626–1699), dan Syekh Nawawi al-Bantani (1813–1897) sudah cukup dikenal sebagai ulama besar dalam ilmu fikih dan tasawuf. Namun sedikit yang menyadari bahwa mereka juga menulis sejarah dalam format naratif dan apologetik.
Syekh Yusuf al-Maqassari dalam Safinat an-Najah, menguraikan jatuhnya Makassar akibat tipu daya kolonial Belanda. Ia mencatat persekutuan dan pengkhianatan kerajaan-kerajaan lokal yang berpihak pada VOC. Dalam versi yang dikaji di Istanbul, Syekh Yusuf menampilkan pendekatan sejarah profetik yakni menghubungkan musibah kolonialisme dengan melemahnya iman dan solidaritas umat.
Sementara itu, Syekh Nawawi al-Bantani, dalam Tafsir Munir dan risalah kecil seperti Tanqih al-Qaul, menyisipkan narasi sejarah mengenai keruntuhan kekuasaan Islam di Andalusia dan peringatan agar Nusantara tidak mengulang nasib serupa. Dalam konteks kolonialisme, ia menulis bahwa “agama dan sejarah adalah dua sisi mata uang umat yang harus dijaga.”
Adapun Syekh Mahmud dari Sumbawa, murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah, menulis Tuhfah al-Zaman fi Akhbar al-Mamlakah al-Jawi, yang merupakan kompilasi sejarah Islam lokal dari Lombok, Bima, hingga Timor, disusun dengan metode kronologis (tarikh tahunan) seperti yang digunakan oleh sejarawan Islam klasik Al-Tabari dan Ibn Khaldun.
Tradisi manuskrip yang diakui di Timur Tengah
Tidak sedikit kitab sejarah karya ulama Nusantara yang disimpan dan dikaji di Timur Tengah. Di antara koleksi terkemuka adalah: Dar al-Kutub al-Mishriyyah (Mesir): Menyimpan salinan dari Tarikh al-Fattani karya Syekh Daud bin Abdullah al-Fattani, ulama kelahiran Pattani (Thailand Selatan), yang mencatat sejarah kerajaan Islam Melayu, termasuk Patani, Kelantan, dan Terengganu.
Perpustakaan Universitas Al-Azhar: Terdapat manuskrip perjalanan haji ulama Minangkabau abad ke-19, seperti Rihlah al-Hajj Syaikh Abdul Karim al-Banjari, yang selain mencatat perjalanan ibadah, juga memuat pengamatan geopolitik dunia Islam pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah.
Perpustakaan Masjidil Haram di Mekkah: Tersimpan naskah-naskah para ulama Jawi (sebutan untuk ulama dari Nusantara), termasuk kitab sejarah lokal karya Syekh Ismail al Minangkabawi dan Syekh Khatib Sambas. Bahkan pada 1926, Majalah Al-Manar yang diasuh Muhammad Rasyid Ridha, memuat artikel kiriman murid-murid Jawi yang menganalisis sejarah kolonialisme di Hindia Belanda. Tulisan itu bersumber dari catatan Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Mas'ud Sambas tentang perlawanan lokal terhadap penguasa kolonial.
Historiografi Islam Nusantara
Berbeda dengan historiografi modern yang menekankan objektivitas ilmiah dan narasi linear, kitab kuning sejarah menggabungkan metode sanad (rantai perawi), keterangan ulama terdahulu, dan pengamatan langsung penulis. Beberapa kitab juga mencampurkan babad lokal, hikayat, dan bahkan nadzhoman (puisi naratif).
Contohnya, Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh sang pangeran dalam bahasa Jawa Pegon, memiliki fungsi ganda: sebagai catatan sejarah dan sebagai manifestasi identitas kultural Islam-Jawa. Kitab ini dikaji di Leiden dan telah masuk Memory of the World oleh UNESCO.
Kitab lain yang patut dicatat adalah Silsilah al Ulama fi Jawi, disusun oleh Syekh Muhammad Thahir dari Palembang, yang tidak hanya memuat data genealogi ulama tetapi juga dinamika politik lokal, asal-muasal pesantren, serta relasi pesantren dengan kerajaan Islam seperti Palembang Darussalam, Banten, dan Mataram.
Kitab kuning sejarah karya ulama Nusantara berperan besar dalam:
1. Merekonstruksi memori kolektif: Di tengah penulisan sejarah Indonesia yang didominasi sudut pandang kolonial dan nasionalis, karya-karya ini menawarkan perspektif Islam Nusantara yang hidup dan partisipatif.
2. Melawan politik pelupaan: Ketika sejarah lokal dihapus dari kurikulum resmi oleh pemerintah kolonial, para ulama menulis sendiri sejarah mereka. Ini menjadi bentuk perlawanan intelektual dan spiritual.
3. Menghubungkan tradisi ilmu global: Karya-karya ini menghubungkan metodologi sejarah Islam klasik dengan realitas lokal. Tidak hanya mencatat peristiwa, tapi juga menafsirkan zaman, menjelaskan sebab-akibat moral, dan mengajukan nasihat peradaban.
4. Pilar diplomasi budaya Islam Indonesia: Ketika karya ini dikaji di Mesir, Maroko, dan Turki, Indonesia tampil sebagai pusat peradaban Islam yang aktif, bukan sebagai pinggiran dunia Muslim.
Tugas kita hari ini
Sudah saatnya kita menyadari pentingnya kitab sejarah yang ditulis ulama Nusantara sebagai sumber pengetahuan dan identitas. Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan:
Pertama, digitalisasi dan katalogisasi naskah: Lembaga seperti Perpusnas, Kemenag, dan Puslitbang Lektur dapat memperluas proyek digitalisasi manuskrip pesantren, bekerja sama dengan Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Kedua, studi kritik teks dan penerjemahan: Perguruan tinggi Islam harus mengembangkan laboratorium tahqiq (verifikasi naskah) dan menyediakan edisi terjemahan dengan pengantar kritis agar bisa dinikmati publik lebih luas.
Ketiga, revitalisasi kurikulum pesantren dan PTKIN: Perlu ada mata kuliah “Historiografi Islam Nusantara” berbasis kitab kuning sejarah, bukan hanya buku teks modern. Pesantren juga bisa membuka halaqah sejarah berbasis kitab klasik.
Keempat, kebijakan diplomasi budaya: Kementerian Luar Negeri dan Kemenag bisa memprakarsai pameran manuskrip Islam Nusantara di Timur Tengah dan Eropa, menampilkan sisi ilmiah dan historis warisan pesantren.
Kembali pada manuskrip yang hidup
Kitab sejarah bukan sekadar lembaran tua. Ia adalah suara zaman yang menembus batas, dari Surau Minangkabau ke Madrasah Al-Azhar, dari Pesantren Banten ke Perpustakaan Istanbul. Ketika para ulama menulis sejarah, mereka tidak sedang mencari pujian mereka sedang menyelamatkan jati diri umat.
Mereka mencatat, menghafal, menyebarkan, dan mengajarkan sejarah sebagai bentuk ibadah. Dan kini, saat kita membuka kembali kitab-kitab itu, kita tak sekadar membaca, tapi juga menyambung nyawa peradaban.
H. Wahyu Iryana, Sejarawan Muslim UIN Raden Intan Lampung
Terpopuler
1
Gus Ulil Tidak Sedang Membela Tambang
2
Khutbah Jumat: Pentingnya Merawat Hati
3
Anggota DPRD Lampung: Jalur Domisili SPMB Lampung Harus Berdasarkan Jarak, Bukan Nilai Rapor
4
Dorong UMKM dan Wisata Lokal, Sasa Chalim Hadiri Peresmian Pasar Tematik Jelajah Danau Ranau
5
DPRD Lampung Fauzi Heri Prihatin Nilai TKA Siswa Jauh di Bawah Standar
6
GP Ansor Way Kanan Gelar PKD, Tingkatkan Kapasitas dan Kualitas Kader
Terkini
Lihat Semua