Wahyu Iryana
Penulis
Kitab Al Hujjah adalah salah satu kitab karangan KH Ahmad Hanafiah selain kitab Sirrur Dahr. Ulama Kharismatik sekaliber KH Ahmad Hanafiah mungkin bukan nama yang sering muncul di buku pelajaran sejarah nasional. Namun, jika kita bicara tentang ulama pejuang, sosoknya tak kalah gagah dibanding Pangeran Diponegoro atau Tuanku Imam Bonjol.
Ulama yang lahir di Sukadana, Lampung Timur tersebut, bukan hanya alim dalam ilmu agama, tetapi juga seorang pendekar di medan juang. Puncaknya, dalam Agresi Militer Belanda, ia gugur di Sungai Ogan, memimpin pasukan golok melawan penjajah. Atas perjuangan dan jasanya mempertahankan tanah pertiwi hingga berkorban nyawa, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2023 oleh Presiden Joko Widodo.
Namun, peninggalannya tak hanya berupa jejak langkah di tanah peperangan, tetapi juga ilmu yang tersusun dalam Kitab Al-Hujjah. Inilah warisan intelektual yang menghubungkan Sukadana dengan Makkah, Malaka, hingga Jamiatul Khair di Jakarta. Kitab ini seperti kopiah ulama yang penuh tambalan makna: di dalamnya ada fiqh, tauhid, dan hikmah perjuangan.
KH Ahmad Hanafiah dan Amanah Pendiri NU
Sebagai ulama yang berpikir maju, KH Ahmad Hanafiah memiliki hubungan erat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ia bukan hanya anggota biasa, tetapi seorang tokoh NU yang mendapat tugas khusus dari KH Wahid Hasyim (anak Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari) untuk memperkuat jaringan keulamaan di Sumatera, khususnya di Lampung dan sekitarnya. Tugasnya bukan hanya menyebarkan ilmu agama, tetapi juga membangun kesadaran kebangsaan di kalangan santri dan masyarakat. KH Ahmad Hanafiah diberi amanah khusus KH Wahid Hasyim untuk memperkuat berdirinya NU di Lampung.
Sebagai murid ulama besar di Lampung Timur, beliau juga pernah mengenyam pendidikan di gerakan Islam reformis Jamiatul Khair, kemudian ke Kelantan Malaysia hingga bermukim di Makkah untuk memperdalam ilmu agama Islam. KH Ahmad Hanafiah membawa semangat bahwa Islam harus menjadi kekuatan pembebasan. Ia melihat ilmu bukan hanya untuk diamalkan secara pribadi, tetapi juga untuk memperjuangkan keadilan sosial dan melawan kolonialisme.
Mengupas Kitab Al-Hujjah
Kitab Al-Hujjah bukan sekadar risalah keislaman, tetapi juga refleksi pemikiran KH Ahmad Hanafiah tentang tauhid, keadilan, dan perjuangan. Kitab ini ditulis dengan pendekatan khas ulama Nusantara, yang tidak hanya berbicara soal hukum Islam dalam kerangka normatif, tetapi juga bagaimana agama menjadi kekuatan pembebasan dari kezaliman.
Dalam pembahasannya, kitab ini menyoroti tauhid sebagai konsep yang aktif dan revolusioner. Tauhid, menurut KH Ahmad Hanafiah, bukan sekadar meyakini keesaan Allah, tetapi juga menolak segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya, termasuk penjajahan dan ketidakadilan. Dalam salah satu bagian, beliau menulis bahwa seorang Muslim sejati tidak hanya beribadah dalam bentuk ritual, tetapi juga harus berjuang menegakkan kebenaran di tengah masyarakat.
Selain tauhid, kitab ini juga membahas fiqih dengan pendekatan yang sangat kontekstual. KH Ahmad Hanafiah tidak hanya menjelaskan hukum-hukum ibadah, tetapi juga menyoroti aspek sosial dalam hukum Islam. Ia menekankan pentingnya keadilan dalam bermuamalah dan bagaimana syariat harus dijalankan dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat.
Kitab ini juga berisi kritik terhadap para penguasa yang lalai terhadap amanah rakyat. Dalam salah satu bagian, KH Ahmad Hanafiah mengingatkan bahwa kezaliman yang dibiarkan hanya akan melahirkan kehancuran. Baginya, ilmu dan perjuangan harus berjalan beriringan, karena ilmu yang tidak diperjuangkan akan kehilangan maknanya.
Dari Pesantren ke Medan Laga
KH Ahmad Hanafiah tidak hanya dikenal sebagai ulama yang tekun menulis dan mengajar, tetapi juga sebagai pejuang yang terjun langsung dalam perlawanan terhadap Belanda. Ia melihat bahwa membela tanah air adalah bagian dari jihad, sebagaimana diajarkan dalam Islam.
Ketika kembali ke Sumatera, ia tidak hanya mendirikan majelis ilmu, tetapi juga mempersiapkan santri dan pemuda untuk menghadapi kolonialisme. Tak heran jika ketika agresi militer Belanda datang, beliau bukan hanya berdiri di mimbar, tetapi juga turun ke lapangan, memimpin pasukan rakyat dengan sorban di kepala dan golok di tangan.
Pada suatu hari di tepi Sungai Ogan, sejarah mencatat pertempuran sengit. KH Ahmad Hanafiah dan pasukannya melawan serdadu Belanda yang bersenjata lengkap. Ini bukan duel yang adil, tetapi siapa peduli? Seperti yang ia tulis dalam Al-Hujjah, “Keadilan bukan soal kekuatan, tetapi soal keberanian menolak ketidakbenaran.” Dan dengan keberanian itu, ia gugur sebagai syuhada.
Kitab yang Fasih Berbicara
Kini, kitab Al-Hujjah masih bisa kita telusuri jejaknya. Isinya bukan hanya soal hukum Islam dalam pengertian sempit, tetapi juga ajaran moral tentang keberanian, kejujuran, dan keteguhan hati. Di zaman ketika kebenaran sering kali bisa dibeli dan keadilan kerap tunduk pada kepentingan, gagasan dalam Al-Hujjah tetap relevan.
Jika KH Ahmad Hanafiah hidup di zaman sekarang, mungkin ia akan mengernyitkan dahi melihat kondisi negeri. Korupsi merajalela, pemimpin lebih sibuk mencari pencitraan ketimbang menegakkan keadilan, dan masyarakat lebih tertarik pada gosip selebriti daripada memperjuangkan hak-haknya. Dalam situasi ini, kitab Al-Hujjah bukan sekadar bacaan klasik, tetapi tamparan bagi kita semua.
Maka, marilah kita belajar dari sosoknya. Bukan hanya mengenang sebagai sejarah, tetapi mengambil semangatnya untuk menghadapi zaman yang tak kalah menantang. Karena, seperti yang beliau tuliskan, “Setiap masa punya peperangannya sendiri, dan yang dituntut dari manusia hanyalah keberanian untuk berdiri di pihak yang benar”.
KH Ahmad Hanafiah memang telah tiada, tetapi gagasannya dalam kitab Al-Hujjah tetap hidup. Seperti pohon yang terus tumbuh, warisan ilmunya tetap berakar di tanah, menunggu kita untuk menyiraminya kembali dengan pemahaman dan keberanian. Karena di zaman seperti ini, kita butuh lebih banyak ulama pejuang dan lebih sedikit pejabat yang hanya bisa pidato.
Jasad boleh mati berkalang tanah, namun ilmu yang memberi cahaya terang terus menyala seperti matahari yang selalu bersinar dari ufuk Timur.
Penulis coba membuatkan syair bertajuk Cahaya di Halaman Kitab Al-Hujjah
Di tepi sungai, senja mengalir,
di tangan ulama, kitab terbuka,
huruf-huruf berdzikir lirih,
menceritakan jejak para pembela.
Golok tak sekadar besi tajam,
tapi sumpah yang diukir suci,
di atas lembaran yang tak hanya hitam,
tapi cahaya di malam sunyi.
Sukadana mengirim anak negerinya,
bukan sekadar untuk menghafal ayat,
tapi menuliskan sejarah di tanahnya,
dengan tinta ilmu dan darah syahid.
Kini angin membaca kembali,
lembar-lembar yang dulu berbisik,
bahwa ilmu dan keberanian,
takkan pernah menjadi usang.
Wahyu Iryana, Penulis Sejarawan sekaligus Penyair dari UIN Raden Intan Lampung.
Terpopuler
1
3 Amalan Malam Nuzulul Qur'an, Ahad 16 Maret 2025
2
Bolehkah Shalat Tahajud Setelah Shalat Witir
3
Nuzulul Qur'an: Berikut 5 Fadilah Membaca Al-Qur'an pada Malamnya
4
Bacaan Qunut Witir pada Separuh Akhir Ramadhan, Arab, Latin dan Terjemah
5
Kisah Sayyidah Khadijah ra dan Hari-Hari Menjelang Turunnya Al-Qur’an
6
Berikut Keutamaan Lailatul Qadar pada Bulan Ramadhan
Terkini
Lihat Semua