Pernik

Menjaga Ruh Pesantren dalam RUU Sisdiknas

Rabu, 14 Mei 2025 | 06:05 WIB

Menjaga Ruh Pesantren dalam RUU Sisdiknas

Menjaga Ruh Pesantren dalam RUU Sisdiknas (Ilustrasi: Istimewa)

Jika pesantren itu pohon, maka ia telah menumbuhkan akar jauh sebelum Indonesia merdeka. Dahan-dahannya menjulang, menyentuh berbagai ranah: agama, pendidikan, kebudayaan, hingga pergerakan kemerdekaan. Namun, ketika Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) mulai digodok, ada angin yang menggoyangkan cabang itu bahkan terasa hendak memangkas sebagian daunnya. Pertanyaannya, apakah negara benar-benar memahami bentuk dan rupa pohon yang bernama pesantren itu?

 

Dalam draf RUU Sisdiknas terbaru, terkesan hanya satu jenis pesantren yang diakui secara resmi, yakni yang menyelenggarakan pengajian Kitab Kuning secara klasik. Pengakuan ini tentu menggembirakan, namun menjadi reduktif ketika dua jenis pesantren lainnya yang menyelenggarakan pendidikan Dirasah Islamiyah berbasis sistem Mualimin serta pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum tidak tercantum secara eksplisit. Padahal, Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren telah dengan jelas mengakui ketiganya sebagai bentuk keberagaman model pesantren di Indonesia.

 

Kritik pun muncul dari berbagai tokoh, termasuk dari anggota DPR RI yang juga aktivis pendidikan Islam, Hidayat Nur Wahid. Menurutnya, draf RUU Sisdiknas tidak boleh bertentangan dengan UU Pesantren yang sudah lebih dulu mengatur keberagaman sistem tersebut. Sebab jika dibiarkan, bisa terjadi ketimpangan perlakuan terhadap pesantren, bahkan potensi marginalisasi dua jenis pesantren yang tidak dicantumkan.
Seyogianya negara hadir bukan sebagai penyeragam sistem, melainkan sebagai pemelihara keberagaman.

 

Pesantren adalah contoh hidup dari sistem pendidikan yang lahir dari kearifan lokal, tumbuh dalam semangat gotong royong, dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Jika RUU Sisdiknas hendak menjadi regulasi induk pendidikan nasional, maka ia harus merangkul bukan hanya sekolah formal dan perguruan tinggi, tapi juga pesantren dengan segala warna dan kekhasannya.

 

Kekhawatiran akan munculnya uniformitas pendidikan sangat masuk akal. Dalam draf RUU Sisdiknas, orientasi pada standar nasional pendidikan bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi bisa meningkatkan kualitas pendidikan secara umum, tapi di sisi lain bisa memangkas ciri khas pendidikan non-formal seperti pesantren. Apakah kita akan memaksakan pesantren menyamakan struktur kurikulumnya dengan SMA atau SMP, padahal sejak awal pesantren lahir bukan untuk meniru sistem kolonial?

 

Metode sorogan, bandongan, halaqah, hingga pendidikan berbasis adab, adalah warisan intelektual yang tak ternilai. Para santri tidak hanya belajar membaca teks, tapi juga memahami konteks. Mereka tidak hanya diajarkan ilmu, tapi juga akhlak. Mereka menimba langsung dari sosok kiai, sosok hidup yang menjadi referensi moral dan spiritual. Dalam konteks ini, memaksakan kurikulum yang seragam akan mencederai ruh pendidikan pesantren.

 

Lebih jauh lagi, Ma’had Aly sebagai lembaga pendidikan tinggi di pesantren telah diakui sebagai setara dengan perguruan tinggi berbasis keilmuan keislaman. Ini adalah capaian penting yang tidak boleh dicabut hanya karena format RUU yang terburu-buru. Negara seharusnya mendorong agar lembaga seperti Ma’had Aly dapat berkembang dan mendapatkan legitimasi penuh dalam sistem pendidikan nasional, tanpa kehilangan otonominya.

 

Sayangnya, proses penyusunan RUU ini belum banyak melibatkan partisipasi aktif dari komunitas pesantren. Forum-forum yang digelar kerap formal dan tidak substantif. Salah satu forum diskusi yang diselenggarakan oleh kalangan alumni PMII baru-baru ini menyoroti bahwa penyusunan RUU Sisdiknas terkesan terburu-buru dan tidak inklusif. Wacana besar tentang pendidikan justru disusun tanpa mendengarkan mereka yang setiap hari menghidupi dunia pendidikan dari akar rumput.

 

Padahal, partisipasi komunitas pesantren bukan hanya penting secara moral, tapi juga konstitusional. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap tahap perancangan undang-undang. Jika komunitas pesantren sebagai subjek hukum tidak dilibatkan secara bermakna, maka sah-sah saja jika muncul kecurigaan bahwa RUU ini menyimpan agenda terselubung, atau setidaknya bias terhadap pendidikan formal semata.

 

Narasi besar tentang pendidikan nasional tidak boleh lepas dari sejarah dan akar budaya bangsa. Dalam sejarah Indonesia, pesantren adalah institusi yang terbukti mampu mencetak tokoh-tokoh bangsa, mulai dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Ahmad Hanafiah dari Lampung, hingga KH. Abdul Wahid Hasyim. Mereka bukan hanya pemuka agama, tetapi juga negarawan, pendidik, bahkan pejuang kemerdekaan.

 

Bayangkan jika negara kala itu memaksakan satu sistem pendidikan formal, bisa jadi pesantren akan terkubur dalam sistem seragam yang tidak mengenal sorogan dan bandongan. Maka, hari ini kita tidak hanya mewarisi pesantren sebagai bangunan fisik, tetapi juga sebagai sistem nilai, budaya belajar, dan gerakan peradaban.

 

Lantas, apa yang mesti dilakukan?

Pertama, negara harus menjamin secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas bahwa ketiga jenis pesantren yang telah diatur dalam UU Pesantren tetap diakui dan dilindungi. Ini adalah bentuk kontinuitas hukum dan penghormatan terhadap proses legislasi sebelumnya.

 

Kedua, perlu ada klausul khusus yang menjamin otonomi kurikulum pesantren, termasuk metode khasnya, serta keberlangsungan Ma’had Aly sebagai bagian dari pendidikan tinggi keislaman berbasis pesantren.

 

Ketiga, keterlibatan komunitas pesantren dalam pembahasan RUU ini harus diperkuat. Jangan jadikan pesantren hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek dialog kebangsaan dalam menentukan arah pendidikan nasional.

 

Akhirnya, negara harus memahami bahwa pendidikan bukan hanya soal angka dan akreditasi, tetapi juga soal karakter dan tradisi. Pesantren telah mewariskan tradisi keilmuan Islam yang tak ternilai bagi bangsa ini. Jangan biarkan regulasi modern mengaburkan makna dari pendidikan tradisional yang telah mengakar ratusan tahun.
Sebab bila pesantren kehilangan jati diri karena tekanan regulasi, kita tak hanya kehilangan lembaga pendidikan, tetapi juga kehilangan salah satu pilar peradaban Indonesia.

 

H. Wahyu Iryana, Wakil Ketua Lakpesdam PWNU Lampung.