• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Syiar

2 Cara Bertaubat dari Dosa

2 Cara Bertaubat dari Dosa
Bertobat sebagai bentuk penyesalan dari dosa
Bertobat sebagai bentuk penyesalan dari dosa

Taubat adalah sebuah bentuk penyesalan telah melakukan kesalahan atau dosa. Karena pada dasarnya setiap manusia tidak ada yang luput dari dosa. Bila kita menyadari hal tersebut, maka tidak ada alasan seseorang untuk menyombongkan diri, merasa lebih baik, lebih takwa, lebih bersih, dan sebagainya.

 

Manusia dalam perjalanan hidupnya pasti pernah melakukan kesalahan atau khilaf, baik disengaja atau tidak sekalipun. Meski begitu, sebesar apapun dosa manusia  pintu rahmat Allah selalu terbuka. 

 

Allah memberikan manusia kesempatan untuk memperbaiki dirinya, yaitu dengan cara bertaubat dari perbuatan-perbuatan yang berkonsekuensi dosa. 
Dengan taubat kita berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan, atau kembali ke jalan yang benar. 

 

Dilansir dari 2 Cara Tobat menurut Ibnu Athaillah as-Sakandari, Imam al-Ghazali menyatakan,  taubat adalah menyucikan hati dari dosa. Taubat menjadi sangat penting untuk dilakukan, karena dengannya, seseorang bisa membersihkan hati dari dosa-dosa yang mengotorinya. 

 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda saw bersabda:

 بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ اَلْخَطَّائِينَ اَلتَّوَّابُونَ 

 

Artinya: Semua anak adam (manusia) melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat (HR At-Tirmidzi).

 

Cara-cara bertaubat Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab Tajul Arus menjelaskan tentang dua cara bertaubat yang bisa ditempuh seorang hamba, yaitu: 

 

1. Al-Muhasabah (intropeksi) Maksudnya, orang yang ingin bertaubat harus tidak lepas dari introspeksi. Caranya, selalu berpikir sepanjang umurnya, jika waktu pagi datang, maka berpikirlah perihal apa yang akan dilakukan olehnya pada malam hari. Jika menemukan pekerjaan taat, maka bersyukurlah pada Allah, dan jika menemukan pekerjaan maksiat, maka istighfarlah kepada-Nya dan segera bertobat.

 

Tidak cukup dengan itu, ia harus mencela dirinya atas maksiat yang diperbuat. Karena, tidak ada cara paling ampuh dalam bertobat selain mencela diri sendiri ketika melakukan kesalahan. 

 

Jika tips ini dilakukan, maka Allah akan memberikan kemuliaan, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah:

 فان فعلت ذلك أبدلك الله بالحزن فرحا، وبالذل عزا، وبالظلمة نورا، وبالحجاب كشفا 

 

Artinya: Jika tips di atas dilakukan, maka Allah akan menggantikan kesedihan dengan bahagia, hina dengan mulia, gelap dengan cahaya, dan kondisi terhalang (dari Allah) dengan terbuka (mengenal Allah) (Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, Farhatun Nufus bi Syarhi Tajul Arus, [Beirut: Dar al-Kutub 2015], halaman 17).

 

Tidak cukup dengan itu, seorang hamba harus merasa bahwa dirinya selalu ada dalam pengawasan Allah swt. Dengannya, tidak akan melakukan pekerjaan yang berujung dosa, bahkan tidak melakukan pekerjaan dengan tujuan selain Allah. 

 

Dosa dalam diri manusia menjadi penyebab kegelapan hati yang selalu membekas. Maksiat bagaikan api, sedangkan dosa sebagai asapnya. Jika asap api mengenai rumah, seindah apa pun rumahnya akan menjadi tidak elok dipandang dan tidak nyaman ditempati.

 

Begitupun dengan manusia, sebersih apa pun dia dari kesalahan, jika maksiat sudah diperbuatnya, dan dosa menjadi konsekuensinya, maka Allah tidak akan senang dengannya, sehingga ia akan semakin jauh dari Allah. Oleh karenanya, tidak ada cara lain selain membersihkan dosa dalam diri manusia kecuali dengan cara bertaubat.

 

 2.  Al-Ittiba’ (mengikuti Rasulullah).
Maksudnya adalah, orang yang ingin bertobat harus tunduk patuh mengikuti Rasulullah dalam semua tindakannya, seperti pekerjaan, ucapan, dan ibadahnya. Tiada arti menyebut diri sebagai umat Nabi Muhammad jika semua pekerjaan yang dilakukan justru tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah.


Seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang tidak ada manfaatnya selama ia tunduk patuh dan mengikuti jejak langkah Rasulullah dalam kehidupannya sehari-hari. Ketentuan kedua ini begitu jelas, dalam Al-Qur’an Allah memerintahkannya, yaitu:

 قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

 

Artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Ali ‘Imran: 31).

 

Mengikuti jejak langkah yang dipraktikkan oleh Rasulullah, menunjukkan sebagai upaya menjadi bagian darinya. Berusaha menjadi bagian Rasulullah artinya berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

 

Begitupun sebaliknya, tidak mengikuti Rasulullah artinya tidak ingin menjadi bagian darinya, yang juga berarti menjauh dari Allah. Semoga kita terhindar dari sifat dan perilaku tersebut, dan segera bertaubat dari semua kesalahan.


Editor:

Syiar Terbaru