• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Syiar

Terjadi Pertengkaran dalam Keluarga, Berikut Cara Mengatasinya dalam Islam

Terjadi Pertengkaran dalam Keluarga, Berikut Cara Mengatasinya dalam Islam
Ilustrasi kekerasan (Foto: NU Online)
Ilustrasi kekerasan (Foto: NU Online)

Pertengkaran dalam keluarga merupakan masalah yang umum terjadi di setiap masyarakat, tak terkecuali di kalangan umat Islam. Namun demikian, agama Islam memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana mengatasi konflik dan memperbaiki hubungan antara anggota keluarga yang berselisih. 


Dalam ajaran Islam, pentingnya harmoni dalam hubungan keluarga sangat ditekankan, karena keluarga dianggap sebagai fondasi utama dalam membangun masyarakat yang stabil dan sejahtera.


Islam mengatur setiap lini kehidupan manusia termasuk persoalan dalam rumah tangga dan hubungan suami istri. Seorang suami memiliki kewajiban untuk mendidik istrinya, dan ketika istrinya tidak menjalani kewajiban sebagai istri, maka suami harus menasihati, mengarahkan dan mendisiplinkan istrinya.   


Salah satu cara dalam menasihati istri dalam Islam adalah dengan memukul ringan, tanpa melukai dan menyakiti, hanya sekadar untuk menegur. Itupun dilakukan setelah melalui dua tahapan sebelumnya, yaitu nasihat dan komunikasi yang efektif dengan istri, kemudian kalau masih mengulangi juga maka lakukan pisah ranjang, baru boleh melakukan tindakan memukul yang ringan.   

Berdasarkan kebolehan di atas, mungkin sebagian dari kita ada yang menganggap bahwa Islam melegalkan KDRT dengan memfasilitasi kebolehan suami memukul istri ketika istri nusyuz atau tidak menunaikan kewajibannya, sebagaiman disebutkan dalam Al-Qur’an ayat ke-34 Surat An-Nisa:


وَٱلَّـٰتِی تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِی ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوا۟ عَلَیۡهِنَّ سَبِیلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیّا كَبِیرا 


Artinya: Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung (QS An-Nisa: 34).


Dilansir dari NU Online, Ayat di atas merupakan solusi yang diajarkan Islam ketika para istri tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri. Jika dilihat runtutan instruksinya, maka memukul ada di urutan terakhir setelah memberi nasihat dan pisah ranjang.   


Perlu diketahui, bahwa pukulan di masa itu merupakan media untuk mendidik yang tujuannya adalah supaya perbuatannya tidak terulang di kemudian hari. Substansi dari praktik pukulan ini boleh jadi di masa kini, di sebagian daerah sudah tidak berlaku, namun ada cara lain yang substansi dan tujuannya sama.   


Wajib dipahami juga bahwa konteks memukul dalam ayat tersebut, selain dilakukan setelah nasihat dan pisah ranjang, pukulannya juga hanya sekadar pukulan pelan untuk menegur, tidak boleh keras, memakai bambu, kayu, atau benda keras lainnya, apalagi hingga menimbulkan luka dan memar. Syekh Wahbah As-Zuhaili menyebutkan: 


وأن يراعي التخفيف لأن المقصود هو الزّجر والتأديب لا الإيلام والإيذاء، كما يفعل بعض الجهلة


Artinya: Suami juga harus meringankan pukulan, karena tujuannya adalah untuk menegur dan mendisiplinkan, bukan menyakiti dan mencelakakan, seperti yang dilakukan sebagian orang bodoh (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1418], jilid V, halaman 57).


Kebolehan suami memukul istri dalam ayat Al-Quran jelas berbeda dengan KDRT. Apabila kita merujuk kepada UU Nomor 23 Tahun 2004, KDRT didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.   


Melihat definisinya saja sungguh berbeda dari praktik memukul yang merupakan bentuk teguran semata, dengan perbuatan kekerasan yang menimbulkan kesengsaraan sebagaimana KDRT.


Mengutip At-Tafsirul Munir mengenai ayat An-Nisa ke-34, teguran kepada wanita yang melakukan nusyuz berupa melanggar batas-batas perkawinan dan tidak memenuhi kewajibannya, maka solusinya bagi suami ada empat tahapan, yaitu: 

  1. Memberi nasihat dengan komunikasi efektif; 
  2. Pisah ranjang; 
  3. Memukul; 
  4. Mediasi dengan memanggil hakim dari kedua belah pihak.   


Dalam praktiknya yang sesuai ayat tersebut, suami boleh memukul dengan pukulan yang tidak membuat luka, tidak menyakiti, tujuannya hanya untuk menegur saja sebagaimana menepuk pundak seseorang. Syekh Wahbah Az-Zuhaili mencontohkan: 


كالضّرب الخفيف باليد على الكتف ثلاث مرات ، أو بالسواك أو بعود خفيف لأن المقصود منه الصلاح لا غير   


Artinya: Seperti memukul ringan bahu dengan tangan sebanyak tiga kali, atau dengan siwak atau tongkat ringan, karena niatnya untuk kebaikan, bukan yang lain (Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, jilid V, halaman 56).    


Bahkan dalam Islam, apabila terjadi kesalahan dan berlebihan dalam pukulan sehingga menyebabkan luka dan semacamnya, maka suami berkewajiban menanggung pengobatan dan biayanya, sebagaimana keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhaili:  


وإذا تجاوز الرجل المشروع فأدى الضرب إلى الهلاك وجب الضمان   


Artinya: Jika seseorang batas syara’ dan pukulan itu menyebabkan kerusakan, maka suami harus bertanggung jawab (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, jilid V, halaman 57). 


Penting sekali diketahui pendekatan seperti memukul ini walaupun dibolehkan oleh syariat sebagai wasilah untuk menegur, namun para ulama sepakat menghindari media semacam ini lebih baik dan utama bagi para suami. Beliau menyebutkan: 


ومع أن الضرب مباح فإن العلماء اتّفقوا على أن تركه أفضل   


Artinya: Meskipun memukul diperbolehkan, namun para ulama sepakat bahwa menghindarinya lebih baik (Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, jilid V, halaman 57).   


Dapat diambil kesimpulan, KDRT beda dengan kebolehan memukul yang merupakan media dan wasilah untuk menegur istri yang nusyuz ketika sudah berulang-ulang mendurhakai suami, acuh tak acuh dan melanggar batas perkawinan serta tidak menunaikan kewajibannya.   


Pukulan yang dibolehkan pun sebatas ukuran menepuk pundak, sedangkan KDRT berimplikasi kepada kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi dan lain sebagainya yang justru Islam sangat mengecam dan melarang hal tersebut dilakukan para suami. Wallahu a’lam.  


Syiar Terbaru