Pernik

Sang Modernis Pesantren: KH Wahid Hasyim dan Arsitektur Etika Kebangsaan

Sabtu, 3 Mei 2025 | 19:48 WIB

Sang Modernis Pesantren: KH Wahid Hasyim dan Arsitektur Etika Kebangsaan

Peran KH Wahid Hasyim terhadap Negara (Foto: Istimewa)

Tahun 1953, jalan sunyi Cimahi menjadi saksi bisu kecelakaan tragis yang merenggut nyawa salah satu pemikir terbesar bangsa ini. Di balik kemudi mobil yang terbalik itu, bersimbah darah, terbaring sosok ulama muda bernama KH Wahid Hasyim. Indonesia kehilangan seorang arsitek etika kebangsaan yang tak hanya memadukan pesantren dan negara, tapi juga menjembatani iman dan ilmu, langgar dan konstitusi. Ia wafat pada hari Minggu, 19 April 1953, dalam usia 38 tahun, namun warisannya menjelma menjadi fondasi penting dalam kehidupan beragama dan bernegara.

 

KH Wahid Hasyim bukan sekadar putra sulung Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Ia adalah pemikir besar dengan orientasi masa depan. Dalam istilah Kuntowijoyo, ia adalah “manusia historis” bukan hanya hadir dalam sejarah, tetapi sadar akan posisinya di tengah krisis zaman dan memilih bertindak untuk masa depan bangsa.

 

Warisan Intelektual dari Makkah

Lahir di Jombang pada 1 Juni 1914, Wahid muda tumbuh dalam lingkungan pesantren yang kuat. Namun di usia 17 tahun, ia menapaki jalan berbeda. Ia belajar di Makkah, bukan hanya menggali fiqih dan tafsir dari para ulama Haramain, tetapi juga membuka cakrawala pemikiran dengan membaca karya-karya Barat seperti The Decline of the West karya Oswald Spengler. Ia tertarik pada pembaruan Islam ala Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Jerman.

 

Dalam surat pribadinya kepada sang ayah yang kini tersimpan di Arsip Nasional (1934), Wahid menulis, “Pesantren harus sanggup menyambut zaman. Kitab kuning dan ilmu umum tidak boleh berlawanan.” Sebuah pernyataan yang menandai awal modernisasi pesantren berbasis sintesis antara tradisi dan rasionalitas.

 

Modernisasi Sistemik dan Substansial

Sekembalinya ke Indonesia tahun 1934, Wahid tidak hanya menjadi pengajar di Tebuireng. Ia merombak sistem kurikulum pesantren: memasukkan matematika, sejarah, dan bahasa asing ke dalam pengajaran. Di masanya, ini adalah gebrakan yang radikal. Namun seperti dicatat dalam KH Wahid Hasyim: Peletak Dasar Pendidikan Islam Modern (Yusuf Maulana, 1996), langkah ini menjadi batu pijakan penting dalam menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan nasional yang adaptif terhadap zaman.

 

Wahid Hasyim percaya bahwa Islam tidak boleh anti-modernitas. Ia menolak dikotomi palsu antara agama dan ilmu pengetahuan. Dalam konsepnya, modernisasi bukanlah westernisasi, melainkan pembaharuan berbasis nilai dan etika Islam.

 

Islam dan Kebangsaan: Sebuah Sintesis

Peran penting Wahid Hasyim tidak hanya dalam bidang pendidikan. Pada masa pendudukan Jepang, ia aktif dalam MIAI dan Masyumi, serta menjadi bagian dari tim perumus Piagam Jakarta dalam BPUPKI. Meski awalnya memperjuangkan formulasi “tujuh kata”, Wahid akhirnya menyetujui penghapusannya demi menjaga kesatuan bangsa. Keputusan itu tidak mudah, namun menunjukkan kematangan politik dan spiritual Wahid: Islam bukan alat pemisah, tetapi pemersatu.

 

Sebagai Menteri Agama termuda RI (1949–1952), ia merancang kebijakan strategis pendidikan agama. Ia memperluas madrasah, mendirikan Lembaga Pendidikan Guru Agama, serta merumuskan relasi harmonis antara negara dan agama. Dalam risalah Kementerian Agama (1950), Wahid menulis: “Negara harus menjadi pelindung agama, tanpa mencampuri keyakinan.” Sebuah prinsip yang terasa makin relevan dalam iklim keberagamaan hari ini yang kerap keras dan sempit.

 

Kesalehan yang Terstruktur

Wahid Hasyim adalah figur langka: saleh tapi rasional, tradisional tapi progresif, ulama sekaligus negarawan. Dalam catatan A Mustofa Bisri, Wahid menulis: “Tugas orang beriman bukan memaksa, tapi membimbing; bukan menghardik, tapi menerangkan.” Prinsip ini terlihat dari keberaniannya membuka ruang bagi perempuan NU untuk menempuh pendidikan tinggi dan keterlibatan santri dalam ruang publik, parlemen, dan birokrasi.

 

Ia bukan pemburu popularitas. Ia membangun sistem. Kesalehannya bukan pada jubah atau retorika, tetapi dalam tindakan konkret memperjuangkan keberadaban dan keadilan.

 

Jejak yang Diteruskan

KH Wahid Hasyim gugur sebelum melihat banyak buah dari gagasan-gagasannya. Namun putranya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), melanjutkan jejak intelektual itu dalam bentuk pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Lebih dari sekadar ayah dari Gus Dur, Wahid Hasyim adalah fondasi bagi narasi besar Islam Indonesia yang ramah dan beradab.

 

Pengakuan negara atas jasanya datang kemudian. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 175/TK/1960, sebuah penghormatan formal atas kontribusi substansialnya dalam bidang pendidikan, agama, dan negara.

 

Paradigma Etika Kebangsaan

Di tengah meningkatnya eksklusivisme keagamaan dan pengerdilan nalar publik, keteladanan KH Wahid Hasyim menjadi oase. Ia tidak mewariskan slogan, tetapi etika. Ia tidak membangun ormas dengan gimik, tapi membangun sistem dengan landasan ilmu dan integritas.

 

Dalam kerangka Islam sebagai paradigma aksi yang digagas Kuntowijoyo, Wahid Hasyim adalah simbol Islam yang bergerak. Ia menyusun ulang cara berpikir umat, mengarahkan agama sebagai jalan keluar, bukan sumber konflik. Jalan sunyi yang ia tempuh adalah jalan panjang, namun menyelamatkan.

 

Mewarisi Jalan Sunyi

Kini, jalan Wahid Hasyim menunggu penerus. Bukan hanya di pesantren, tetapi di ruang-ruang publik. Bukan hanya di atas mimbar, tetapi dalam lembaga, sistem, dan kebijakan. Sosok yang tak hanya paham kitab, tetapi juga konstitusi. Tak hanya berdoa, tetapi juga membangun.

 

KH Wahid Hasyim telah mengajarkan kita satu hal: bahwa kebangsaan dan keislaman bukan dua jalan berbeda. Dalam kepribadiannya, keduanya menyatu menjadi bangunan etika kebangsaan yang luhur. Sejarah telah memberikan contoh. Sekarang giliran kita.

 

Daftar Rujukan:

 

Arsip Nasional RI: Surat KH Wahid Hasyim kepada KH Hasyim Asy’ari (1934)

Risalah Kementerian Agama RI, edisi 1950–1952

Yusuf Maulana. KH Wahid Hasyim: Peletak Dasar Pendidikan Islam Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Notulen BPUPKI & PPKI (1945), Kementerian Sekretariat Negara

A Mustofa Bisri. Fragmen Kemanusiaan dalam Politik Santri, Pidato Budaya TIM, 2015

Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan, 1991

Keppres RI No. 175/TK/1960 tentang Penetapan Pahlawan Nasional.

 

H Wahyu IryanaWakil Ketua Lakpesdam PWNU Lampung 2024-2029