Warta

Mengenang Gus Dur dan Perjuangan Pembelaan HAM

Selasa, 30 Agustus 2016 | 15:18 WIB

Mengenang Gus Dur dan Perjuangan Pembelaan HAM Oleh: Buchari Fadli, SHI (Kader PMII Lampung) Onci Fadhli“Jangan pernah melihat, mamandang dan menilai seseorang berdasarkan suku, agama, kulit, dan bahasanya, Tapi lihatlah seseorang berdasarkan apa yang diperbuatnya.” Itulah salah satu petuah yang pernah diucapkan oleh KH. Abdurahman Wahid. Mantan presiden ke empat Republik Indonesia ini memang merupakan tokoh nyentrik di kalangan pesantren, dan juga sosok yang sering diperbincangkan berbagai tokoh baik di kancah nasional maupun internasioanal. Betapa tidak, beberapa statement dan pemikiran Gus Dur -sapaan akrabnya- terkadang dianggap kontroversial oleh beberapa kelompok masyarakat yang belum mengenal jalan pikirannya dengan baik. Ambil saja contoh statement Gus Dur tentang goyang “ngebor” Inul Daratista yang sempat heboh pada tahun 2003 silam, bahkan ada bebarapa orang yang sempat ingin melakukan pencekalan penanyangan Inul saat itu, namun Gus Dur dengan santai menanggapinya "Jika suka, silakan lanjutkan dan jika tak suka, silakan pindahkan channel televisi kita, dan Inul akan tamat dengan sendirinya tanpa dicekal,". Sebenarnya stetament di atas bukan bertitik pijak pada halal atau haramnya goyang ngebor Inul, namun lebih bertumpu pada kebebasan, kemerdekaan serta kesetaraan hak bagi tiap-tiap warga negara termasuk Inul. Perjuangan Gus Dur dibidang HAM bukanlah hal yang ringan. Dalam beberapa pemikiran dan pembelaannya terhadap HAM seringkali disalahpahami dan bahkan bertentangan dengan arus utama pemikiran keagamaan legal formalistik, bahkan tak jarang ia sering dihujat oleh kelompok islam yang berpikiran tertutup. Padahal keberhasilannya merumuskan pemikiran agama yang berpresfektif HAM merupakan sumbangan yang sangat besar bagi peradaban manusia modern, khususnya bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang mutikultur. Kendati demikian, pemikiran Gus Dur tentang HAM bukanlah hal yang baru, pemikiran tersebut sudah lama hidup di kalangan ulama Islam Klasik (ulama madzhab), hanya ada beberapa modernisasi dan kontektualisasi yang dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan zaman yang selalu berubah. Sebagaimana ulama klasik terdahulu Gus Dur memahami bahwa agama (Islam) diturunkan dengan maksud untuk memuliakan manusia, mewujudkan kemaslahatan, dan kesejahteraan diantara mereka, serta memberi kemudahan dalam kehidupannya. Agama bukan hadir untuk memberi intimidasi, ancaman, kegelisahan, teror dan kesulitan-kesuliatan dalam hidup manusia. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, agama memberikan jaminan dasar yang meliputi lima hal (al kulliyat al khamsah) yakni jaminan atas keselematan beragama atau berkeyakinan (hifzh ad-din), jaminan atas keselamatan jiwa dan fisik (hifzh an-nafs), jaminan atas kebebasan berpikir (hifzh al-‘aql), jaminan atas keselamatan keluarga dan keturanan (hifzh an-nasl), dan jaminan atas profesi dan hak milik pribadi (hifzh al-mal). Para ulama terdahulu merumuskan kelima hal tersebut diatas atadalah tujuan dari syariat (maqasid as syari’ah). (Ismail Muhammad Syah : 1992). Sehingga segala tindakan yang bertujuan untuk menegakkan kelima hal tesebut merupakan ajaran agama yang hakiki, sementara segala tindakan yang mengingkari kelima hal tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Pemikiran Gus Dur tentang keagamaaan dan sosial kemasyarakatan umumnya dibangun berdasarkan teori maqasid as-syari’ah tersebut, sehingga baginya agama Islam sangat melindungi HAM dan sangat menentang tindakan-tindakan pelanggaran HAM, termasuk diskriminasi, serta pemaksaan kehendak terhadap orang lain. Yang menarik dari modernisasi Gus Dur terhadap teori di atas, ialah jika ulama terdahulu menempatkan jaminan atas keselamatan agama dan keyakinan (hifzh ad-din) ditempatkan pada posisi pertama, sementara Gus Dur menempatkan jaminan keselamatan jiwa dan fisik (hifzh nafs) di posisi yang pertama. Sebagaimana ulama terdahulu, Gus Dur tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa jaminan keselamatan jiwa dan fisik lebih penting dari yang lainnya sebab kelima hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun saat orde baru Gus Dur melihat ancaman terhadap keselamatan jiwa dan fisik sangat terasa, sehingga ia menempatkan jaminan tehadap keselamatan jiwa dan fisik sebagai tujuan syariat yang pertama. Sebagai manifestasi dari komitmennya dalam memperjuangkan HAM, ketika menjadi Presiden, Gus Dur mempelopori penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan mengeluarkan Inpres No.6/2000 tanggal 17 januari 2000, yang mencabut Inpres No 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China. Gus Dur juga mengeluarkan keputusan presiden (Keppres) No 38/2000 yang mencabut Keppres No.29/1998 tentang Bakorstanas dan Keppres No 16/1990 tentang litsus. Kedua lembaga ini dinilainya lebih banyak menimbulkan keruwetan daripada kemanfaatan dan secara jelas merugikan nilai nilai HAM. (Muhaimin Iskandar : 2004) Saat ini acaman terhadap lima jaminan tesebut tentu sudah mengalami beberapa perubahan bentuk dari yang terjadi pada masa Gus Dur, maka dibutuhkan pemikiran-pemikiran kegamaan yang kreatif agar mampu melakukan berbagai terobosan sehingga kontekstualisasi pemikiran kegamaaan tetap berjalan dan menghasilkan suatu rumusan yang sesuai dengan kebutuhan dimasa kini maupun mendatang. Kalau hal itu bisa dilakukan secara kolektif sudah barang tentu pemikiran keagamaan dan kehidupan beragama akan semakin maju dan kreatif, akan ada proses dinamisasi dan kontektualisasi yang tiada henti. Pada saat yang sama kehidupan bangsa yang multikultur akan semakin matang dan dewasa karena kontekstualisasi juga merupakan pengayaan dan pematangan pemikiran dan sikap keberagaman masyarakat. (Muhaimin Iskandar : 2010) Pemikiran dan perjuangan Gus Dur sangat besar karena sifatnya yang melampaui batas-batas agama, etnis, budaya, dan bangsa. Pemikiran dan perjuangannya merangkum gagasan-gagasan besar dari berbagai agama, tradasi, budaya dan peradaban manusia, sehingga ia bersifat memayungi semua aspirasi dan kepentingan kelompok masyarakat dari bebagai keyakinan. Itulah sebagian kontribusi dan warisan besarnya untuk bangsa ini. Beliau telah merintis suatu tata kehidupan masyarakat bangsa yang demokratis berbasis pandangan keagamaan terbuka. Suatu sumbangan dan warisan yang sangat berharga bagi bangsa yang majemuk ini. Gus dur dan tantanganya memperjuangkan HAM tidak gampang, dan sekarang ini menjadi tugas kita semua untuk meneruskannya. Wallahu A’lam. (*)     REFRENSI :  
  1. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi aksara, 1992, cet I. hlm.67.
  2. Muhamin Iskandar, Gusdur Yang Saya Kenal : Catatan Transisi Demokrasi Kita, Yogyakarta Lkis Printing Cemerlang, 2004 , cet I, hlm. 42.
  3. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gusdur, Yogyakarta : Lkis printing cemerlang , 2010, cet I, hlm. 29