• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 4 Mei 2024

Warta

Pendidikan Anak Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim

Pendidikan Anak Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim
Pendidikan Anak Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim Oleh : Rahmat El-Basqy (Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Lampung)   PADA suatu hari, saudara Abdullah Ubaid datang ke rumah kami dengan dua orang dari putra beliau yang masih anak-anak. Yang bertama kira-kira berumur 7 tahun, dan yang kedua kira-kira berumur 5 tahun. Kejadian itu kira-kira pada pertengahan tahun 1936. Masih teringat benar kepada kami, bahwa ketika si anak yang kecil meminta diberikan  air  teh, maka kata beliau kepada anaknya itu. “ini air teh yang engkau minta, minumlah!” Si anak menerangkan bahwa air itu masih panas. Beliau lalu menjawab “Tuangkanlah ke tatakan (lepek :Jawa)” Si anak menjawab “Saya takut, siapa tahu nanti air teh itu tumpah” Lalu sang bapak menjawab, “ Tumpah tidak menjadi masalah.  Toh yang punya teh tidak akan marah, bukan begitu saudara?” kata Bapaknya sambil menoleh ke arah saya sebagai tuan rumah. Kami pun menjawab “Tidak jadi apa-apa (baca : tidak masalah)” Setelah si anak menuangkan air teh ke piringnya (Jawa :Lepek) dan menunggu beberapa lama, kira-kira air teh itu sudah dingin, maka sang anak berkata kepada bapaknya “ Bapak, tolonglah, minumkan teh ini kepada saya!”. Sang bapak kemudian menjawab “Minumlah sendiri, engkau telah cakap (baca :bisa) meminum. Jangan takut tertumpah!” Sang anak kemudian menjawab “ Jika tertumpah tentu akan menjadi kotor pakaianku” Sang ayah pun kemudian menjawab “Jika kotor pakaianmu, tinggal ganti saja dengan yang masih bersih” (Memang ketika itu, mereka  membawa pakaian pengganti). Akhirnya air teh itu diminum oleh sianak itu dan tidak sedikitpun yang tertumpah. (Abu Bakar Aceh :2011) Kisah di atas adalah salah satu cerita oleh KH. Abdul Wahid Hasym dalam buku yang ditulis Abu Bakar Aceh dalam rangka memperingati  meninggalnya Almarhum KH. Abdul Wahid Hasyim. Cerita tersebut berjudul “Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik”. Dari cerita tersebut, beliau menjelaskan tentang pentingnya pendidikan anak untuk melatih kemandirian anak. Selain itu, beliau meyakini sesungguhnya hasil dari pendidikan adalah percaya pada kemampuan pada diri sendiri (Abu Bakar Aceh: 793). Tahun ajaran baru 2016/2017 sekolah maupun pesantren telah berjalan dua minggu. Siswa-siswa baru masuk sekolah maupun pesantren tercatat menjadi anggota baru dunia pendidikan. Mereka bergembira ria menyambut datangnya tahun ajaran dengan status baru yang mereka miliki. Meski demikian, status tersebut tidak selamanya berdampak positif bagi perkembangan anak. Tidak sedikit orang tua yang belum ikhlas 100% melepas anaknya untuk dididik oleh guru baik di sekolah maupun di pesantren. Meski itu wajar, tak jarang hal tersebut berdampak negatif dalam perkembangan anak dan menyebabkan terjadinya masalah sosial baru di dunia pendidikan. Akhir-akhir ini, kita sering mendengar kasus hubungan guru dan orang tua murid kurang harmonis  karena anak memiliki bermasalah di sekolah atau di pesantren. Masalah tersebut bisa terkait langsung dengan pendidikan maupun tidak. Bahkan, tak jarang kasus tersebut harus diselesaikan di meja hijau. Kesadaran Orang Tua vs Tanggung Jawab Guru Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak setiap individu yang telah melekat sejak lahir. Secara universal, semua kelompok manusia mengakui adanya HAM pada setiap individu. Kelompok masyarakat profesional, keagamaan, adat atau negara mengakui adanya hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu untuk menjaga keberlangsungan hidup masing-masing. Meski demikian, akhir-akhir ini, dunia pendidikan Indonesia sering digemparkan adanya kekerasan yang dilakukan guru kepada anak didik. Tentu, masalah ini bukan tentang hubungan guru dengan anak didik, tetapi hubungan guru dengan orang tua anak. Dalam dunia pendidikan Indonesia, guru adalah penanggung jawab aktivitas dilingkungan sekolah, termasuk semua aktivitas anak didik. Apapun yang dilakukan anak didik, terutama di sekolah dasar, adalah tanggung jawab sekolah. Guru tidak hanya wajib menyampaikan materi pelajaran kepada anak didik, tetapi juga sebagai pendamping dan mengarahkan perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari agar bisa lebih baik. Seiring perkembangan zaman, sikap dan tindakan guru menghukum anak yang melanggar peraturan, baik hukuman sosial maupun fisik sering menjadi problem komunikasi antara guru dan murid, bahkan, kasus terakhir di Sioarjo, orang tua murid melaporkan guru yang telah menghukum anaknya karena melakukan kesalahan harus dibawa ke meja hijau. Tanggung jawab guru sebagai pendidik dan pendamping siswa seharusnya menjadi pertimbangan orang tua untuk menilai semua sikap guru kepada anak, terutama sikap-sikap yang dianggap melanggar prinsip-prinsip pendidikan. Cerita yang ditulis oleh KH. Abdul Wahid Hasyim memberi gambaran yang jelas bagaimana orang tua harus mampu menilai mana yang harus dibela dan mana yang harus dibiarkan sebagai bagian dari proses pemebelajaran untuk anak tersebut.   Pesantren dan Sekolah Sesungguhnya sekolah dan pesantren memiliki tujuan yang sama, yakni melakukan proses pendidikan untuk menciptakan manusia yang tangguh. Beberapa ahli menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Satu hal mendasarkan yang membedakan kehidupan pesantren dengan sekolah adalah jika siswa hanya saat belajar hadir di sekolah sedangkan siswa (baca: Santri) sepanjang 24 jam tinggal di sebuah tempat yang telah disediakan oleh pesantren. Cerita yang ditulis KH Wahid Hasyim sedikit banyak tergambar anak-anak yang belajar di pesantren. Hal ini terjadi karena setiap santri harus memenuhi kewajibannya yang telah ditentukan oleh pesantren. Letak pesantren yang jauh dari tempat tinggal orang tua, membuat mereka lebih sering bersentuhan dengan teman-temannya dibandingkan dengan orang tua sendiri. Tradisi kehidup santri yang jau dari orang tua mau tidak mampu membuat santri tidak tergantung pada orang tua. Di pesantren semuanya sudah diatur dengan jelas dan detail, termasuk hak dan kewajiban santri. Setiap pelanggaran atas ketentuan, memiliki risiko dan tanggung jawab yang harus di terima. Selain itu, santri harus tinggal di pesantren selama 24 jam dalam sehari. Hal ini adalah perbedaan mendasar antara sekolah dan pesantren. Di hukum gundul (baca: Potong rambut plontos), push up atau bersih-bersih kamar mandi adalah contoh hukuman ringan bagi santri yang melanggar peraturan. Hukuman yang diterima santri sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Meski demikian, keterlibatan orang tua dalam proses pembelajaran di pesantren sangat terbatas. Hal ini terjadi karena sebagian besar orang tua yang menitipkan anak-anaknya di pesantren menyadari pentingnya anak memiliki tanggung jawab atas semua yang dilakukan. Di sisi lain, belajar di pesantren akan membuat anak menjadi lebih mandiri dan memahami pentingnya hidup bersama-sama. (**)


Editor:

Warta Terbaru