• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Pernik

Santri, Sebagai Identitas Diri dan Jalan Hidup

Santri, Sebagai Identitas Diri dan Jalan Hidup
Santri, Sebagai Identitas Diri dan Jalan Hidup (Foto: Istimewa)
Santri, Sebagai Identitas Diri dan Jalan Hidup (Foto: Istimewa)

Santri merupakan individu atau kelompok yang mempelajari ilmu agama di suatu madrasah atau pondok pesantren. Secara istilah, kata santri terbagi menjadi dua, santri mukim dan non-mukim (kalong). 


Santri mukim ditujukan bagi pelajar yang mengaji sekaligus tinggal di pesantren. Sedangkan santri kalong hanya mengaji dan tidak tinggal di pesantren. Kata santri sendiri mulai masyhur setelah Islam era Wali Songo hingga Mataram Islam. 


Setelah itu julukan santri menjadi identitas yang ekslusif bagi para pencari ilmu agama di pondok pesantren. Sejak 2015, tren santri mulai menggaung pesat di Nusantara, mengikuti slogan ‘Ayo mondok’ dan diresmikannya Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo. 


Santri dengan berbagai produknya muncul di setiap media sosial yang dipakai oleh para santri dan pondok pesantren. Mulai dari WhatsApp (WA), Instagram (IG), Facebook (FB), Twitter, YouTube, dan Tiktok. 


Sehingga apa itu santri, sangat mudah diklik dan ditelusuri asal usul dan aktivitasnya. Semua orang dengan berbagai latar belakangnya dengan sangat mudah mencari dan berbagi informasinya. Mulai dari petani, pedagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru, pejabat partai, dan sebagainya. 


Untuk zaman sekarang, nama santri sudah sangat kuat, sekuat suara partai politik, dan sangat terkenal di setiap aspek kehidupan umat Islam. Bahkan ada yang sangat ingin diakui sebagai santri, meski selama hidupnya tidak pernah mengenyam pendidikan di madrasah diniyyah maupun pondok pesantren. 


Hal ini tentu sangat berbeda dengan santri era sebelum 2000-an yang kebanyakan hanya digemari oleh kaum petani dan pedagang dari desa. Dan nama lembaga pondok pesantren belum semarak era media sosial. Jadi wajar jika julukan santri hanya terbatas.


Dalam acara resmi keagamaan dan sosial, bersarung mulai menjadi identitas penting untuk dikenakan, mulai dari panitia, peserta, dan tamu kehormatan. Seperti perayaan hari santri, kunjungan politik di pondok pesantren, serta acara yang berkaitan keagamaan dan kepesantrenan. 


Mungkin dahulu, orang bersarung hanya sebatas identitas dari bapak-bapak di kampung, ketika sore hari mereka sudah mandi dan menunggu shalat Maghrib. Dan kostum anak-anak sampai remaja menggunakan celana panjang. 


Akan tetapi, bersarung untuk sekarang sudah mulai semarak. Dan anak yang mondok sudah banyak dari kalangan anak-anak Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). 


Orang mengaku menjadi santri sudah banyak, mulai dari orang biasa sampai pejabat kenegaraan. Dan memang sudah banyak juga santri era 70 dan 80-an yang menjadi pejabat. Sehingga identitas mereka menjadi terkenal, mempengaruhi arus publik politik.


Selain sebagai identitas diri, santri juga sudah mulai menjadi jalan hidup, atau hidup ala santri. Seperti maraknya masyarakat sowan (datang meminta doa dan restu) kepada kiai. Salah satunya para pejabat keagamaan dan kenegaraan. 


Selain itu pengajian kitab rutin pesantren, haul ulama dan acara keagamaan pesantren, menjadi meluas diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat. 


Kehidupan santri menjadi oase di padang tandusnya kehidupan modern. Sehingga saking hausnya dan gersang, banyak masyarakat yang menitipkan anak-anaknya ke pesantren demi mendinginkan keluarga dan masyarakatnya. 


Pesantren juga membatasi santri untuk bermedia sosial, dan diperbolehkan menggunakannya ketika menunjang kecerdasan dan kreativitas para santri. Maka, wajar jika pesantren melarang para santri untuk membawa ponsel, dan pesantren akan menyediakan ponsel di bawah pengawasan pengurus pesantren. 


Pesantren akan membatasi pergaulan para santri, sehingga tidak diperkenankan jika hanya menimbulkan madlarat (penyakit atau maksiat) dan membuang-buang waktu.


Pesantren juga menekankan kehidupan yang agamis, shalat jamaah di masjid, puasa sunnah, tirakat, mengaji Al-Qur’an setiap waktu, sowan kepada ahli ilmu, sangat menghormati guru, dan hidup secara sosial. 


Sehingga diharapkan, gaya hidup para santri di pondok pesantren yang bersumber dari gaya hidup Nabi, tetap dipertahankan hingga mereka lulus dan hidup di tengah masyarakat. Biarkan para santri memfilter mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang maslahat mana yang madlarat.

(Yudi Prayoga)
 


Pernik Terbaru