• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Pernik

Alasan Santri Harus Selalu Memuliakan Kitab

Alasan Santri Harus Selalu Memuliakan Kitab
Santri harus memuliakam kitab baik yang sedang dibaca maupun yang sudah dibaca (Foto: Yudi Prayoga)
Santri harus memuliakam kitab baik yang sedang dibaca maupun yang sudah dibaca (Foto: Yudi Prayoga)

Dunia pembelajaran di pondok pesantren tidak akan pernah terlepas dengan sarana ilmu bernama kitab. Sama halnya di dunia pendidikan modern yakni dengan buku cetak atau Lembar Kerja Siswa (LKS).

 

Kitab-kitab tersebut menjadi jembatan bagi para santri untuk lebih mudah memahami ilmu yang sedang dipelajari. 

 

Kitab di pondok pesantren, berbeda dengan buku di sekolah umum, karena kitab di pesantren itu seperti keramat bagi para santri. Sehingga santri yang akan mempelajari kitab tersebut harus memiliki adab atau tatakrama tersendiri. 

 

Salah satu adab santri terhadap ilmu adalah memuliakan kitabnya, karena kitab merupakan wadah dari ilmu. Ketika santri memuliakan kitabnya, maka ilmu yang ada di kitab akan tetap bermanfaat kepada santri tersebut. 

 

Pemahaman tentang adab seorang santri kepada kitabnya ini dibahas dalam cabang ilmu tersendiri, bernama akhlak. Salah satu kitab yang membahas adab tersebut seperti kitab Ta'limul muta'alim karangan Syekh Zarnuji. 

 

Di dalam kitab tersebut diterangkan, jika seorang santri ingin sukses menuntut ilmu, salah satunya wajib menghormati dan memuliakan kitabnya/bukunya. 

 

Karena jika seorang santri memuliakan kitabnya maka kitabnya akan memuliakannya. Dan juga sebaliknya. Bisa dikatakan bahwa hal tersebut merupakan simbiosis mutualisme yang sifatnya ruhaniyah, karena berkaitan dengan ilmu yang sifatnya tersembunyi. 

 

Salah satu adabnya santri terhadap kitabnya di pondok pesantren adalah dengan memberi nama dan tanda lainnya. Tujuannya agar tidak tertukar dengan temannya atau juga di-ghosob (meminjam barang orang lain tanpa izin terlebih dahulu, dan tidak ada keinginan untuk memilikinya) yang mengakibatkan terlantar.

 

Jika sebuah kitab ada nama pemiliknya maka ketika dipinjam atau di-ghosob, akan lebih mudah untuk dikembalikan, karena identitasnya sangat jelas.

 

Dan tidak diperkenankan memberikan identitas yang menyalahi syara' dan sopan santun, seperti hal-hal negatif, diberi gambar-gambar yang mengotori isi kitab, dan sebagainya. 

 

Kemudian, kitab tidak diperkenankan ditaruh di lantai atau ditempat umum atau terbuka yang jaraknya dibawah pinggul atau pantat. Berbeda jika di dalam lemari yang tertutup, maka diperbolehkan. Karena menaruh di dalam lemari itu sudah bagian dari penghormatan. 

 

Begitupun dengan membawa kitab, santri tidak diperkenankan untuk membawa buku di buku di bawah pinggul, apalagi sampai menekuk buku dan diselipan saku celana paling belakang. Hal ini sudah dianggap suul adab (tidak memiliki sopan santun). 

 

Sebaiknya, kitab dibawa dengan tangan dan dirapatkan ke tubuh tanpa diayun. Atau bisa juga umumnya santri membawa kitab dengan ditempelkan di dada. 

 

Memuliakan kitab, juga tidak diperkenankan melempar dan membanting kitab di meja, lantai atau dimanapun. Karena hal tersebut bisa membuat rusaknya kitab dengan cidera sobek, tertekuk atau terlepas. 

 

Untuk membacanya, santri dianjurkan untuk bersuci dari hadas besar (junub) dan hadas kecil (keluarnya sesuatu dari lubang dubur/kemaluan), membaca basmalah, shalawat kepada Nabi dan hadarah silsilah kepada pengarang kitab dan guru yang mengajarkan kitab tersebut. 

 

Setelah selesai khatam mempelajari suatu kitab, santri dilarang untuk menelantarkan kitabnya dengan cara ditinggalkan di pesantren ketika sudah lulus, dan menjualnya dengan cara dikilokan. Andaikata santri tersebut terpaksa, karena sudah tidak memiliki uang sama sekali, maka juallah dengan harga mahal dan sifatnya perorangan, karena butuhnya pembeli ingin mempelajari kitab tersebut. Sehingga kitab tersebut akan tetap dimuliakan oleh pembeli tersebut. 

 

Sangat berbeda ketika dijual dengan cara dirongsokkan atau dikilokan, hal tersebut tidak akan memuliakan sama sekali. Karena apa, ilmu itu sangat mahal, mencarinya sangat lama dan butuh perjuangan, sehingga jangan sampai mencampakkan begitu saja. 

 

Anggap saja, kitab yang dipelajari selama di pondok pesantren itu menjadi manuskrip kuno perpustakaan pribadi santri, karena mungkin ada tulisan dan maknanya yang sulit dibaca. Atau menjadi koleksi museum pribadi untuk cerita di hari tua. 

 

Jangan sampai santri memusnahkan kitab yang sudah pernah dibaca atau tak lagi dibaca. Karena dari kitab-kitab yang sudah pernah dipelajari itulah,  seorang santri bisa menjadi alim. 

(Yudi Prayoga)


Pernik Terbaru