• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Pernik

Moderasi Beragama

Indahnya Toleransi Beragama di Kecamatan Ambarawa, Pringsewu

Indahnya Toleransi Beragama di Kecamatan Ambarawa, Pringsewu
Kebersamaan umat Islam dan Hindu dalam acara ogoh-ogoh (Foto: Istimewa)
Kebersamaan umat Islam dan Hindu dalam acara ogoh-ogoh (Foto: Istimewa)

Sikap toleransi antarumat beragama banyak ditemukan di masyarakat kita. Salah satunya yang ada di Kelurahan Ambarawa Barat, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Pringsewu. 

 

Di sana terdapat keharmonisasian dan sikap toleransi yang tinggi antara umat beragama Islam dan Hindu. Selain itu, ada juga beberapa umat Katolik yang hidup saling berdampingan.

 

Gambaran toleransi yang ada di Ambarawa, sekilas akan terlihat ketika kita melintasi Jalan HM Ghardi Ambarawa. Memasuki perempatan Pasar Ambarawa, kita akan disuguhi dengan bangunan Gereja Katolik St Antonius Padua Ambarawa di sebelah kiri jalan. 

 

Maju sedikit kita akan menemukan Masjid Mujahidin di sebelah kanan jalan, kemudian Pondok Pesantren berafiliasi NU, sekolah Muhammadiyah, mushala dan rumah-rumah yang memiliki pura khas dengan agama Hindu. 

 

Itu baru satu jalan, belum lagi ketika memasuki gang lebih dalam lagi, maka akan menemukan lebih banyak keanekaragaman yang hidup dengan damai.
 

Menurut salah satu rohaniwan atau guru agama Hindu I Made Darmika Putra, toleransi antara Hindu dan Islam sudah terjalin lama, sejak keduanya hadir di Lampung dan saling berinteraksi sosial satu sama lain.

 

“Toleransi di sini mungkin sudah berjalan sejak tahun 1970-an sampai sekarang, ketika ada umat Hindu yang menetap di sini. Umat sebelumnya, yakni Islam sudah sangat terbuka dan saling membantu sama lain, seperti ada acara pernikahan, ritual keagamaan, kematian dan sebagainya,”  katanya.


Ketika umat Muslim ada kegiatan keagamaan atau sosial lainnya, biasanya Banser mengirim surat kepada tokoh Hindu untuk ikut serta berpartisipasi. Begitupun sebaliknya, ketika umat Hindu merayakan perayaan Nyepi maka mereka mengirim surat juga ke tokoh Muslim. Semuanya saling membutuhkan dan saling bekerjasama.


“Dari segi beribadah kita (umat Hindu) dan Islam memiliki cara ibadah masing-masing, tetapi dari segi kemanusiaan kita sama, sesama warga Indonesia yang dilindungi oleh undang-undang, seperti yang tergambar dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat 2, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” kata Igun, panggilan masyarakat setempat ke pada rohaniwan Hindu tersebut. 

 
Dalam Hindu ada ajaran yang disebut dengan menanam karma yang baik, sedangkan Islam memiliki juga ajaran Rasulullah saw untuk bertetangga yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Ya’la bahwa “Demi (Allah) yang nyawaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang hamba sehingga dia mencintai tetangganya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.
 

“Untuk toleransi saya tidak bisa menggambarkan berapa persennya, yang jelas toleransi di sini sangatlah tinggi, tidak ada keributan atas nama agama atau perbedaan karena agama, semua berjalan dengan baik dan semestinya. Tidak hanya ketika hari raya saja, tetapi ketika ada hajatan, nikahan, kematian, kenduri pun saling bekerjasama,” ungkap seorang tokoh umat Muslim Ambarawa Barat, Wan Rusli Hasan.
 

Sedangkan bagi Wan Rusli toleransi yang dilakukan umat Islam di sini berjalan dengan spontan saja, bahkan ketika orang tuanya wafat yang menjaga lalu lintas di jalan raya di depan rumahnya langsung pemimpin Hindunya. “Ia (pemuka agama Hindu) tidak mau diganti hingga  jenazah ayah saya dikeluarkan dari rumah dan diberangkatkan ke pemakaman baru ia mau istirahat, sebelumnya tetap kekeh tidak mau, padahal panas sekali cuacanya,” katanya.

 

Agenda rutinan yang selalu menjadi ajang kebersamaan yakni hari raya kedua belah pihak, baik Islam dengan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adhanya serta Hindu dengan Hari Raya Nyepi, Galungan dan Kuningan-nya. Selain itu, perayaan umat Islam lainnya seperti Maulid Nabi, Rajaban dan Suroan (Muharraman) juga menjadi ajang memperkuat tali silaturahim antara keduanya.


“Dari awal kerukunan umat beragama sudah terjalin dengan baik hingga sekarang. Ada sekitar 32 keluarga umat Hindu yang tinggal di Ambarawa yang juga masih menjaga kerukunan tersebut, seperti gotong royong antara umat Islam dan Hindu, baik sosial maupun keagamaan,” kata I Wayan Mangku yang juga sesepuh umat Hindu di Ambarawa.

 

Dasar Kuatnya Toleransi di Ambarawa

Di Ambarawa ada beberapa prinsip yang menjadi dasar kuatnya bentuk toleransi yang terjadi pada masyarakatnya, meski sudah bertahun-tahun berdampingan.

 

Menurut I Made Darmika Putra ada beberapa prinsip dasar yang menjadi kuatnya toleransi di Ambarawa, diantaranya dari segi sosial, etnis dan ajaran Hindu itu sendiri.


“Dari segi sosial umat kami (Hindu) memiliki hubungan kekeluargaan yang kuat satu sama lain, karena rata-rata masyarakat di sini satu keluarga besarnya tidak hanya Hindu, biasanya ada yang Islam dan yang lainnya. Begitupun dengan keluarga besar Islam sendiri. Jadi satu keluarga ada yang Muslim dan yang Hindu. Keterikatan darah inilah yang menjadikan salah satu kuatnya toleransi di sini,” paparnya.

 


Dari segi etnis, pemeluk agama Hindu di Ambarawa tidak hanya yang bersuku Bali, akan tetapi dari suku lainnya, terutama dari suku Jawa. Bahkan pemeluk Hindu di Ambarawa lebih banyak Jawanya daripada Bali-nya.

 

Para tokoh-tokoh terdahulu juga mengajarkan tentang kerukunan umat beragama, sehingga generasi penerusnya tinggal melestarikan saja. 


“Ormas NU juga sering mengadakan acara kerukunan umat beragama, yang biasanya diadakan di Gedung NU di Pagelaran, saya pernah mengikutinya, yaitu acara lintas agama,” ucap I Made.

 

Menjelang Hari Raya Nyepi, ada satu hari sebelum tahun baru Saka yang dijadikan ritual rutinan yakni ruwatan bumi, membersihkan lingkungan desa dari unsur-unsur negatif. Pada saat itu ada seni tradisi yakni ogoh-ogoh (patung bernuansa negatif) yang juga dibantu oleh umat Muslim dalam mengarak atau pawai. Sehingga umat Islam ikut dalam acara tersebut, menyaksikan bagaimana prosesnya. 

 

“Setiap ruwatan bumi, kami selalu membersihkan desa dengan gotong royong, juga membuat sebuah patung yang memiliki kekuatan negatif, yang kami gambarkan seperti Butha. Ini yang kami arak keliling desa, penjuru mata angin yang akhirnya dimusnahkan atau dibakar. Dari sanalah semua masyarakat dari berbagai agama dan etnis berkumpul menyaksikan dan ikut serta dalam perayaan, dan terlibat dalam mengamankan acara sampai selesai,” papar I Made 

 
Islam Memimpin Doa di Hajatan Hindu

Toleransi di Ambarawa cukup tinggi, hal ini tercermin dalam tradisi kenduri atau selametan suatu hajat dengan saling mendoakan meski berbeda keyakinan. Seperti seringkali umat Islam disuruh memimpin doa di rumah hajatan umat Hindu atau kegiatan yang lainnya.

 

“Seringkali Islam yang diminta memimpin doa di hajatan umat Hindu atau doa kematian. Tetapi imamnya kan sudah tahu akan niatnya. Sehingga berdoanya tetap sesuai dengan ajaran Islam dan mengedepankan kemaslahatan bersama. Karena mayoritas yang datang dan diundang merupakan umat Islam,” kata Wan Rusli.


Untuk pakaian tidak menjadi masalah. Ketika umat Islam menghadiri kenduri atau hajatan umat Hindu, mereka tetap menggunakan pakaian Muslim--baju koko, sarung dan peci--seperti biasanya.


(Yudi Prayoga)


Pernik Terbaru