
Bulan Ramadhan banyak terjadi pertempuran dan perjuangan para santri, kiai dan ulama (Ilustrasi: NU Online)
Wahyu Iryana
Penulis
Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah bagi kaum Muslim di Nusantara. Dalam perjalanan sejarah, bulan suci ini sering kali menjadi titik balik perlawanan terhadap penjajah. Di bulan yang penuh keberkahan ini, semangat jihad fi sabilillah berkobar di pesantren-pesantren, di surau-surau, di tengah masyarakat yang merindukan kebebasan.
Kaum santri tidak sekadar menundukkan kepala dalam doa, tetapi juga mengangkat kepala menantang ketidakadilan. Dari Aceh hingga Jawa, dari Kalimantan hingga Sulawesi, mereka menuliskan sejarah dengan darah dan doa.
Santri dan Perlawanan: Dari Abad ke Abad
Sejarah mencatat, sejak era kolonialisme VOC hingga pendudukan Jepang, ulama dan santri selalu menjadi elemen penting dalam perlawanan. KHÂ Zainal Mustafa di Sukamanah, KH Hasyim Asy'ari di Jombang, hingga KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, mereka bukan hanya pendakwah, tetapi juga pemimpin perjuangan.
Ramadan menjadi momen berkumpul, mengatur strategi, sekaligus menguji kesabaran. Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825 Sampai 1830), yang banyak melibatkan kaum santri, berawal dari kezaliman Belanda terhadap tanah wakaf. Di Aceh, Teungku Cik Ditiro memimpin perang suci melawan Belanda, berpuasa sambil menggenggam pedang.
Ramadan dan Kemerdekaan: Takdir atau Keajaiban?
Ada sesuatu yang istimewa pada 17 Agustus 1945. Hari itu bertepatan dengan tanggal 9 Ramadan 1364 Hijriah. Sebuah kebetulan? Atau memang Ramadan adalah bulan yang dipilih Tuhan untuk memerdekakan Indonesia?.
Dua hari sebelum proklamasi, tepatnya malam 7 Ramadan, KH Wahid Hasyim bersama Bung Karno dan Bung Hatta terlibat dalam diskusi serius. Ulama muda ini memastikan bahwa kemerdekaan Indonesia mendapat restu dari kalangan pesantren.
Sejak itu, Ramadan tidak hanya bulan suci, tetapi juga bulan kebebasan. Semangatnya berkobar dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945 menjadi pemicu perlawanan santri dan rakyat. Mereka berperang dalam keadaan berpuasa, menjadikan Ramadan sebagai saksi perjuangan mereka.
Puasa, Perlawanan, dan Spirit Kebangsaan
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan ketakutan. Dalam sejarah perlawanan, Ramadan menjadi bulan penuh tantangan sekaligus ujian keimanan.
Saat agresi militer Belanda, Ramadan kembali menjadi medan tempur. Di Jawa Barat, KH Sanusi dan para santrinya bergerilya di hutan-hutan Tasikmalaya. Di Lampung, Sumatera bagian Selatan, KH Ahmad Hanafiah gugur di Sungai Ogan dalam bulan puasa, menjadi syuhada yang namanya kini tertulis dalam sejarah.
Kaum santri mengerti, jihad bukan hanya soal pertempuran fisik, tetapi juga mempertahankan akidah dan martabat bangsa. Itulah mengapa pesantren menjadi benteng terakhir kebudayaan Nusantara yang tidak bisa dijajah.
Penulis mencoba membuat Syair tentang Ramadhan dan Kemerdekaan
Hari itu Ramadan,
orang-orang berwudhu dengan air mata,
azan berkumandang di tengah dentuman meriam,
dan doa-doa melayang ke langit,
menjadi saksi bahwa kemerdekaan ini,
bukan sekadar hadiah dari sejarah,
tetapi buah dari kesabaran panjang.
Dalam sunyi, santri menghafal ayat-ayat perlawanan,
di antara lembaran mushaf dan peluru,
mereka tahu bahwa puasa bukan hanya lapar dan haus,
tetapi keteguhan hati menghadapi penjajahan.
Ramadan adalah pertempuran,
dan kemerdekaan adalah kemenangan yang dijanjikan,
bukan oleh manusia,
tetapi oleh sejarah yang tak pernah melupakan,
bahwa santri adalah garda terakhir,
yang berdiri, bahkan saat dunia runtuh.
Santri dan Tantangan Zaman
Hari ini, perlawanan santri tidak lagi di medan perang fisik, tetapi dalam mempertahankan nilai-nilai bangsa. Pesantren tetap menjadi benteng, tetapi musuhnya berbeda. Penjajahan gaya baru datang dalam bentuk budaya, ekonomi, dan ideologi.
Namun, satu hal yang tetap sama: Ramadan tetap menjadi bulan perjuangan. Ia mengajarkan kesabaran, keikhlasan, dan keberanian—tiga hal yang selalu menjadi senjata utama kaum santri.
Sejarah telah berbicara. Kemerdekaan ini lahir di bulan suci, disuburkan oleh doa dan perjuangan. Dan jika suatu saat ada yang mencoba merenggutnya, sejarah juga mengajarkan bahwa santri tidak akan tinggal diam.
Karena Ramadhan bukan hanya tentang ibadah, tetapi juga tentang kemerdekaan.
Wahyu Iryana, Sejarawan dan Penyair UIN Raden Intan Lampung
Terpopuler
1
3 Amalan Malam Nuzulul Qur'an, Ahad 16 Maret 2025
2
Bolehkah Shalat Tahajud Setelah Shalat Witir
3
Bacaan Qunut Witir pada Separuh Akhir Ramadhan, Arab, Latin dan Terjemah
4
Nuzulul Qur'an: Berikut 5 Fadilah Membaca Al-Qur'an pada Malamnya
5
Kisah Sayyidah Khadijah ra dan Hari-Hari Menjelang Turunnya Al-Qur’an
6
Berikut Keutamaan Lailatul Qadar pada Bulan Ramadhan
Terkini
Lihat Semua