5 Kategori Orang yang Wajib Membayar Fidyah Puasa Ramadhan
Selasa, 21 Januari 2025 | 17:01 WIB
Bagi orang yang tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan, salah satu cara untuk menggantinya adalah membayar fidyah. Fidyah dapat diartikan sebagai denda (biasanya berupa makanan pokok) yang harus dibayar oleh seorang Muslim karena melanggar salah satu ketentuan dalam ibadah puasa, misalnya karena penyakit menahun atau penyakit tua yang menimpa dirinya.
Sebagaimana diketahui, ada enam golongan orang yang diperbolehkan membatalkan puasanya pada siang hari di bulan Ramadhan. Mereka adalah musafir, orang sakit, orang jompo (tua yang tak berdaya), wanita hamil, orang yang tercekik kehausan atau kelaparan tak terperikan, dan wanita menyusui.
Dari enam golongan tersebut, berikut orang yang wajib membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkannya.
Pertama, orang tua renta Â
Orang yang tua renta (jompo) yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, tidak terkena tuntutan berpuasa. Kewajibannya diganti dengan membayar fidyah satu mud makanan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.Â
Batasan tidak mampu di sini adalah sekiranya dengan dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah) yang memperbolehkan tayamum. Orang dalam jenis kategori ini juga tidak terkena tuntutan mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, halaman 428). Â
Kedua, orang sakit parah Â
Orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak sanggup berpuasa, tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadhan. Sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah. Seperti orang tua renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan apabila ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum. Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ada’ (dalam bulan Ramadhan) maupun qadha’ (di luar Ramadhan). Â
Lain halnya dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 2, halaman 397). Â
Ketiga, wanita hamil atau menyusui. Â
Ibu hamil atau wanita yang tengah menyusui, diperbolehkan meninggalkan puasa bila ia mengalami kepayahan dengan berpuasa atau mengkhawatirkan keselamatan anak/janin yang dikandungnya. Di kemudian hari, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, baik karena khawatir keselamatan dirinya atau anaknya.Â
Mengenai kewajiban fidyah bagi ibu hamil, jika ia khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak/janinnya, maka tidak ada kewajiban fidyah. Jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib membayar fidyah.Â
Keempat, orang meninggal dunia.
Dalam fiqih Syafi’i, orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang utang puasa dibagi menjadi dua: Â
1. Orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai meninggal. Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa. Â
2. Orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa. Menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.Â
Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit. Menurut pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit. Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit. Â
Qaul qadim dalam permasalahan ini lebih unggul daripada qaul jadid, bahkan lebih sering difatwakan ulama, sebab didukung oleh banyak ulama ahli tarjih.Â
 Â
Ketentuan di atas berlaku apabila tirkah (harta peninggalan mayit) mencukupi untuk membayar fidyah puasa mayit, bila tirkah tidak memenuhi atau mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, maka tidak ada kewajiban apa pun bagi wali/ahli waris, baik berpuasa untuk mayit atau membayar fidyah, namun hukumnya sunnah (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 221-222). Â
Kelima, orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan.
Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadhan—padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha—sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan.
Demikian lima kategori orang yang harus membayar fidyah karena membatalkan puasa di bulan Ramadhan, dilansir dari NU Online. Semoga dapat menambah khazanah keislaman kita.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Bulan Syawal, saatnya Mengenang Sejarah Perjuangan Umat Islam
2
Mulai 1 Mei 2025, Pemprov Lampung Lakukan Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor
3
Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam
4
Talkshow Indonesia Gelap, Fatikhatul Khoiriyah: Ruang Berekspresi Mahasiswa, Indikator Utama Sehatnya Demokrasi
5
Optimalisasi Zakat Digital, LAZISNU PWNU Lampung Gelar Bimtek Pengelolaan ZIS Berbasis Web
6
PMII Lampung Timur Gelar PKL Perdana, Siapkan Kader Pelopor Perubahan Sosial
Terkini
Lihat Semua