• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Syiar

Inilah Takaran dan Hukum Membayar Fidyah dengan Uang

Inilah Takaran dan Hukum Membayar Fidyah dengan Uang
Inilah Takaran dan Hukum Membayar Fidyah dengan Uang
Inilah Takaran dan Hukum Membayar Fidyah dengan Uang

Batal puasa terjadi akibat seseorang dengan sengaja makan atau minum ketika waktu puasa dilaksanakan, maupun tidak dapat melaksanakan puasa akibat hamil dan menyusui, serta orang yang sudah tua renta. 


Maka karena hal tersebut, sebagian kaum muslimin tidak dapat melaksanakan puasa ramadhan, dan harus membayar fidyah dengan memberikannya kepada fakir miskin. 


Bagi orang yang tidak mampu berpuasa secara permanen, seperti orang tua renta, orang sakit parah yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, dan lain sebagainya, mendapat keringanan untuk tidak melaksanakan puasa Ramadhan. Selain itu, mereka juga tidak wajib mengqadha di lain waktu. Sebagai gantinya, mereka harus membayar fidyah atau kafarat (denda).  Di era milenial yang serba praktis seperti sekarang, apakah boleh membayar fidyah dengan uang? Mengingat mayoritas ulama (jumhur ulama) baik dari kalangan Maliki, Syafi’i ataupun Hambali, tidak boleh menunaikan fidyah dalam bentuk uang. 


Fidyah menurut pendapat mayoritas ini harus ditunaikan dalam bentuk makanan pokok daerah setempat. Pendapat ini berlandaskan pada nash-nash syariat yang secara tegas memang memerintahkan untuk memberi makan fakir miskin, bukan memberi uang. 


Dilansir dari NU Online, Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh (9/7156) menjelaskan mengeluarkan nominal (makanan) tidak mencukupi menurut mayoritas ulama di dalam kafarat, sebab mengamalkan nash-nash yang memerintahkan pemberian makanan.


Seperti dalam takaran mazhab Syafi’i, fidyah yang wajib dikeluarkan adalah satu mud (675 gram/6,75 ons) per hari puasa yang ditinggalkan, berupa makanan pokok daerah setempat, dalam konteks Indonesia adalah beras. Bila satu bulan penuh berarti 30 mud (20.250 gram atau 20,25 kilogram) beras. Fidyah tersebut diberikan kepada fakir miskin.  


Sedangkan pendapat ulama bermadzhab Hanafi. Menurut mereka, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Ulama Hanafiyah cenderung lebih longgar memahami teks-teks dalil agama yang mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin.  


Menurutnya, maksud pemberian makanan untuk fakir miskin adalah memenuhi kebutuhan mereka, dan tujuan tersebut bisa tercapai dengan membayar qimah (nilai nominal harta) yang sebanding dengan makanan. 


Untuk alokasi pemberian fidyah per satu mud untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan merupakan ibadah yang terpisah/independen, oleh karenanya diperbolehkan mengalokasikan beberapa mud untuk beberapa puasa yang ditinggalkan kepada satu orang fakir/miskin. Semisal fidyah puasa orang mati 10 hari, maka 10 mud semuanya boleh diberikan kepada satu orang miskin.   


Berbeda halnya dengan satu mud untuk jatah pembayaran fidyah sehari, tidak diperbolehkan diberikan kepada dua orang atau lebih. Semisal fidyah puasa wanita menyusui 1 hari, maka satu mud fidyah tidak boleh dibagi dua untuk diberikan kepada dua orang fakir. Begitu juga, fidyah puasa ibu hamil 2 hari tidak cukup diberikan kepada 4 orang miskin.   


Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:


وله صرف أمداد من الفدية (إلى شخص واحد) لأن كل يوم عبادة مستقلة، فالأمداد بمنزلة الكفارات، بخلاف المد الواحد فإنه لا يجوز صرفه إلى شخصين؛ لأن كل مد فدية تامة، وقد أوجب الله تعالى صرف الفدية إلى الواحد فلا ينقص عنها 


Artinya: Boleh mengalokasikan beberapa mud dari fidyah kepada satu orang, sebab masing-masing hari adalah ibadah yang menyendiri, maka beberapa mud diposisikan seperti beberapa kafarat, berbeda dengan satu mud (untuk sehari), maka tidak boleh diberikan kepada dua orang, sebab setiap mud adalah fidyah yang sempurna. Allah telah mewajibkan alokasi fidyah kepada satu orang, sehingga tidak boleh kurang dari jumlah tersebut (Syekh Khothib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 176).  


Yang perlu diperhatikan adalah konsep makanan pokok versi Hanafiyah yang tidak sama dengan mazhab lain, baik dari segi jenisnya ataupun kadarnya. Karena itu nilai nominalnya (qimah) pun menjadi berbeda dari mazhab-mazhab lain.  Dalam perspektif Hanafiyah, makanan yang menjadi standar adalah terbatas pada jenis-jenis makanan yang dinash dalam hadits Nabi, yaitu kurma, al-burr (gandum), anggur dan al-sya’ir (jewawut). Hanafiyyah tidak memakai standar makanan pokok sesuai daerah masing-masing. 


Demikianlah penjelasan mengenai penunaian fidyah dengan uang. Yang paling inti adalah, saat mengamalkan pendapat yang membolehkan, harus juga diikuti secara utuh konsep-konsepnya, agar tidak terjadi campur aduk pendapat yang dilarang. 


 


Syiar Terbaru