Wahyu Iryana
Penulis
Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, masih saja ada orang yang mengais sisa makanan di trotoar, tidur beralaskan kardus di bawah jembatan, atau menggigil di emperan toko ketika hujan deras. Sementara di sudut lain kota, ada orang-orang yang kebingungan memilih merek mobil mewah, pusing menentukan destinasi wisata ke Eropa atau Amerika, bahkan bingung karena terlalu banyak uang di rekening.
Di tengah jurang lebar ini, Islam datang membawa satu konsep ekonomi paling manusiawi: zakat. Sebuah ajaran yang begitu sederhana—mengambil sebagian kecil dari yang berlebih, lalu menyerahkannya kepada yang kekurangan. Kalau ini dijalankan dengan benar, bukan sekadar ritual tahunan menjelang lebaran Idul Fitri, kesejahteraan itu mestinya bukan sekadar janji, melainkan realitas yang terasa di dapur-dapur kaum papa.
Kewajiban yang Sering Dianggap Pilihan
Zakat itu wajib, bukan sekadar anjuran manis dalam khutbah Jumat. Tapi, entah kenapa, masih banyak orang yang memperlakukannya seperti donasi sukarela. Kalau sedang ingat dan ada uang lebih, dikeluarkan. Kalau sedang banyak pengeluaran, ya sudahlah, Tuhan pasti paham.
Padahal, dalam Islam, zakat bukan semata-mata kewajiban spiritual, tapi juga tanggung jawab sosial. Di dalam harta kita ada hak orang lain hak fakir, miskin, yatim, dan mereka yang kehidupannya masih penuh perjuangan. Ini bukan belas kasihan, melainkan bagian dari sistem ekonomi yang dirancang untuk menyeimbangkan kehidupan sosial.
Jika kita mau jujur, banyak dari kita lebih taat membayar pajak daripada zakat. Pajak itu dipotong langsung dari gaji, kalau tidak dibayar, sanksinya jelas: bisa didenda atau kena masalah hukum. Sementara zakat? Tidak ada petugas pajak yang akan mengejar kita. Tak ada surat peringatan atau sanksi administratif. Maka, sering kali kita abai.
Dari Kewajiban Jadi Kesadaran
Seandainya setiap Muslim yang mampu menunaikan zakat dengan kesadaran penuh, berapa banyak orang miskin yang bisa terbantu? Hitung-hitungan sederhana saja: jumlah Muslim di Indonesia sekitar 230 juta jiwa. Jika 10 persen saja dari jumlah itu masuk kategori wajib zakat dan mereka benar-benar membayar zakatnya, ratusan triliun rupiah akan berputar ke kantong-kantong mereka yang membutuhkan.
Dengan uang sebesar itu, bukan hanya bisa memberi makan fakir miskin, tapi juga membangun sekolah, rumah sakit, dan pusat pelatihan kerja untuk mereka yang membutuhkan. Zakat bukan sekadar amal instan, tapi sebuah mekanisme pemberdayaan.
Sayangnya, kesadaran ini masih belum terbangun secara kolektif. Banyak orang kaya yang begitu dermawan ketika ada bencana—berlomba-lomba menyumbang, masuk TV, dan mengundang wartawan. Tapi untuk urusan zakat yang seharusnya rutin dan sistematis, entah kenapa sering dianggap remeh.
Bukan Sekadar Memberi, Tapi Mendistribusikan
Sistem zakat yang ideal seharusnya bisa mengubah struktur ekonomi, bukan hanya sekadar memberi uang kepada mereka yang miskin, tapi juga memberdayakan mereka. Islam mengajarkan, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Artinya, zakat bukan hanya memberi makan orang miskin, tapi mengubah mereka menjadi orang yang bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Bayangkan jika dana zakat yang terkumpul digunakan untuk modal usaha kecil-kecilan bagi fakir miskin. Bayangkan jika uang zakat dipakai untuk mendanai pendidikan anak-anak kurang mampu agar mereka punya masa depan lebih cerah. Dengan begitu, zakat bukan hanya sekadar memberi, tapi menciptakan siklus kesejahteraan yang lebih luas.
Mengembalikan Kepercayaan pada Lembaga Zakat
Satu masalah besar dalam sistem zakat di Indonesia adalah kurangnya kepercayaan terhadap lembaga pengelola zakat. Banyak orang lebih memilih menyalurkan zakat secara langsung daripada melalui lembaga resmi. Alasannya? Takut uangnya dipotong, takut salah sasaran, atau bahkan curiga ada korupsi.
Kepercayaan ini yang harus diperbaiki. Lembaga zakat harus dikelola dengan profesional, transparan, dan akuntabel. Kalau pajak saja bisa dikelola dengan sistem yang ketat, mestinya zakat juga bisa. Bayangkan jika sistem zakat kita setransparan laporan keuangan perusahaan besar—setiap rupiah yang masuk dan keluar bisa diaudit dan dipantau oleh publik.
Saat kepercayaan ini tumbuh, orang-orang kaya akan lebih ringan tangan menyalurkan zakatnya, dan orang-orang miskin akan lebih percaya bahwa mereka benar-benar dibantu, bukan sekadar jadi objek belas kasihan.
Zakat dan Kesejahteraan: Mungkinkah?
Dalam sejarah Islam, ada masa ketika zakat berhasil menghapus kemiskinan. Di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat didistribusikan dengan sangat efektif sampai-sampai sulit menemukan orang miskin yang berhak menerima. Ini bukan mitos, ini sejarah.
Kalau dulu bisa, kenapa sekarang tidak?
Jawabannya kembali ke kita semua. Apakah kita melihat zakat sebagai kewajiban yang harus ditunaikan dengan serius, atau hanya sebagai formalitas tahunan? Apakah kita menyalurkan zakat dengan cara yang benar, atau sekadar asal memberi agar tidak merasa bersalah?
Jika zakat bisa dikelola dengan baik, jika kesadaran kolektif kita tumbuh, maka kesejahteraan itu bukan sekadar impian kosong. Ia bisa menjadi kenyataan yang nyata—seperti udara yang kita hirup setiap hari, ada dan terasa.
Mungkin kita tidak bisa menghapus kemiskinan dalam semalam. Tapi kita bisa memulainya dari diri sendiri.
Mulailah dengan menunaikan zakat dengan penuh kesadaran, bukan sekadar kewajiban. Salurkan pada lembaga yang terpercaya, atau langsung kepada mereka yang berhak. Jangan biarkan uang kita hanya menumpuk tanpa manfaat sosial.
Karena di setiap rezeki kita, ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Dan mungkin, kesejahteraan itu tidak perlu dicari terlalu jauh, ia ada dalam genggaman kita, dalam tangan-tangan yang mau memberi, dan dalam hati-hati yang tulus berbagi.
Â
H. Wahyu Iryana, Penulis Sejarawan UIN Raden Intan Lampung
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 3 Cara Meraih Pahala yang Setara dengan Haji bagi yang Tidak Mampu
2
Anggota DPRD Lampung Minta Dinas Pendidikan Konsisten Terapkan Jalur SPMB
3
Peluncuran CV Rich Makmur International hingga Pesantren Ramah Anak Semarakkan Harlah RMINU
4
Diikuti 46 Peserta, Muli Mekhanai Asal Bandar Lampung dan Tulang Bawang Tampil sebagai Pemenang
5
Tasyakuran Harlah Ke-71 RMINU, PWNU Lampung Harap Pesantren Jadi Basis Penjaga Nilai Kebangsaan
6
Perkuat Peran di Bidang Kesehatan, PW Muslimat NU Jalin Kerja Sama dengan Dinas Kesehatan Lampung
Terkini
Lihat Semua